16 Mei 2025
Chicco Jerikho Mengontemplasi Gerak Sinematiknya Untuk Berkarya Lebih Variatif
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

styling Ismelya Muntu; fashion Alexander McQueen; makeup Ryan Ogilvy; hair Iwan Taufik
Saya tidak keliru, Chicco Jerikho memang sedang bermain sinetron. Awalnya saya pikir mata saya silap mengenali orang lain sebagai sosoknya di antara kilasan gambar yang bertransisi seiring jari menekan tombol remot saluran televisi. Sebab, sudah lama sejak kali terakhir Chicco tampil dalam sinetron. 12 tahun silam, benak saya berhitung. Namun, di sanalah ia dengan rambut berpotongan cepak terpampang jelas memenuhi layar, saat akhirnya saya menemukan kembali salurannya. Kala itu diputar adalah sekitar pertengahan bulan Februari 2025. Tetapi saya merasa seolah-olah dibawa oleh mesin waktu, menjelajah masa ke awal dekade 2000-an. Bila Anda tidak memiliki memori akan siaran televisi nasional di era tersebut, izinkan saya sejenak mendeskripsikan bagaimana perihal ini membangkitkan nostalgia.
Sebelum namanya termasyhur di layar lebar, Chicco Jerikho lebih dulu meraih ketenaran melalui televisi. Ia mulai kiprah keaktorannya dari sebuah peran kecil di sinetron Bulan dan Bintang pada tahun 2003. Empat tahun keluarmasuk set tiap satu atau dua minggu selang debut, sosoknya mulai dikenal lebih luas usai tampil stripping memerankan tokoh laki-laki utama dalam Cinta Bunga karya produksi MD Entertainment. Sandiwaranya mengisahkan dilema antara memenangkan cinta sejati atau mewujudkan kebahagiaan sang paman menjelang penghujung hayat berhasil menarik simpati para penonton, terutama pengadeganan romansanya yang penuh penghayatan bersama Laudya Chintya Bella (aktor pemeran Bunga). Reputasi Chicco bergema keras, hingga melambungkan personanya ke jajaran aktor televisi paling digemari pada masa itu. Terhitung sekitar 17 judul sinetron menggurat portofolio peran Chicco Jerikho dalam dekade pertama perjalanan kariernya. Gajah Mada yang rilis tahun 2013 menjadi drama televisi terakhir sebelum bertransisi ke film layar lebar.
Kembali ke tahun 2025. Sinetron teranyar yang menampilkan Chicco Jerikho berjudul Ikrar Cinta Suci. Lakonnya bercerita tentang pergumulan seorang laki-laki akan duka kehilangan calon buah hati, trauma masa lalu, dan konflik emosional rumah tangga. Reliabilitas sang aktor dalam mengeksekusi gestur sentimental khas sinetron belum berkarat, saya pikir, bagaimanapun juga ia adalah salah satu aktor pemenang penghargaan ajang Festival Film Indonesia, Piala Maya, dan Indonesian Movie Actors Movies. Kredibilitas aktingnya bukan untuk diragukan. Walau begitu, siapa saja dapat menghadapi kesulitan saat menjalankan kebiasaan lama usai berhenti sekian waktu. Terlebih, saya selalu merasa sesungguhnya ada perbedaan cara berperan antara film dan sinetron kendati keduanya merupakan bidang seni yang serupa. “Membawakan naskah sinetron dengan cerita yang terus berkembang setiap harinya masih tetap menjadi proses yang membakar adrenalin. Tidak ada proses reading bersama. Latihan dilakukan langsung di set, dan dalam waktu singkat. Tidak terhitung berapa kali improvisasi yang saya lakukan,” ujarnya tergelak, “Oh, sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menerima naskah harian.”
fashion Gucci (jaket, kemeja, dan celana denim).
Saya pergi menemui Chicco beberapa minggu setelah penayangan episode terakhir sinetronnya mengudara pada 25 Februari silam. Tanpa malu-malu, saya segera menumpahkan rasa penasaran atas kembalinya ia ke panggung sinetron masa kini, atau yang ia sebut sebagai “manifestasi ungkapan ‘forty is the new twenty’.” Di sejumlah budaya masyarakat modern, konon, perilaku manusia cenderung eksploratif dan kompetitif kala usia 20-an; berinovasi semasa 30-an; dan memasuki fase kontemplatif pada periode 40-an sebagai refleksi terhadap perjalanan hidup yang telah lalu. “Dulu ketika merintis karier seni peran, saya berhasrat mengeksplorasi segala peluang bermain peran, menjajal tantangan baru, dan memperkaya keterampilan serta pengalaman wawasan saya sebagai aktor. Pun perihal itu sejatinya belum berubah meski telah saya tekuni selama separuh usia hidup; hanya sekarang saya bergerak dengan disertai dorongan keinginan menciptakan karya yang bervariasi, baik secara muatan cerita maupun segi mediumnya, agar dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat,” katanya.
Aspirasi Chicco untuk berkarya lebih variatif terpantik secara berangsur setiap kali ia terlibat proyek pembuatan film yang mengambil lokasi di daerah-daerah pelosok Indonesia, di mana ia menemukan kegetiran para penduduk setempat dalam mengakses bioskop. “Belum semua wilayah di Indonesia punya fasilitas bioskop, sehingga masyarakat perlu menempuh jarak cukup jauh kalau mau menonton film baru. Bahkan ada yang harus sampai lintas kota. Beruntunglah mereka yang dapat memanfaatkan layanan OTT sebagai alternatif. Namun, tidak semua film baru di bioskop tersedia di OTT, dan ada jeda waktu tunggu hingga beberapa bulan sehabis masa penayangan di bioskop berakhir,” Chicco bercerita, “Saya berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk berkontribusi menyajikan hiburan kepada mereka yang belum bisa datang ke bioskop. Dari berbagai pilihan yang ada, televisi tampaknya jadi medium yang paling terjamah buat mereka menonton sehari-hari. Maka, di sanalah saya berperan.”
fashion Louis Vuitton (jaket tweed dan celana denim).
Ajakan untuk kembali bermain sinetron rupanya sudah lama menghampiri Chicco. “Ada beberapa tawaran cerita yang pernah datang sebelumnya,” katanya. Namun, panggilan itu baru berkesempatan ia realisasikan di awal tahun ini. Momentum jadi salah satu lataran faktor, sebagaimana ia ungkap, “Proposal Ikrar Cinta Suci datang di waktu yang tepat. Ketika itu saya di penghujung menyelesaikan produksi film Perang Kota, dan tengah menyeleksi sejumlah naskah baru untuk proyek selanjutnya. Dari semua tawaran yang masuk, usulan sinetron ini memang yang paling menarik minat saya.”
Jalan cerita Ikrar Cinta Suci dipecah ke dalam 54 episode berformat stripping. Anda tahu apa yang berkorelasi dengan stripping alias produksi kejar tayang? Jam kerja yang sangat panjang. “Saya merasakan adanya sejumlah perubahan dalam iklim produksi sinetron di Indonesia saat ini. Salah satunya perihal jam kerja yang lebih terarah,” ia berujar, “Dulu, saya bisa menghabiskan waktu di lokasi syuting dari pagi sampai matahari terbit lagi keesokannya untuk menyelesaikan satu episode, dan itu menjadi rutinitas setiap hari. Sementara di usia ini, tidak mungkin lagi saya bekerja dengan pola seperti itu. Ada tanggung jawab yang tak kalah penting dan membutuhkan perhatian saya.”
Tanggung jawab yang ia maksud meliputi keluarganya. Sejak tahun 2018, Chicco telah membangun rumah tangga bersama pujaan hatinya, aktor kenamaan Putri Marino. Dari pernikahan mereka, lahirlah seorang anak perempuan bernama Suri (kini berusia 7 tahun). Membiarkan Suri tumbuh tanpa memori akan kehadiran orangtua dalam hidupnya adalah hal terakhir yang diinginkan oleh keduanya. “Sesibuk apa pun, kami selalu memastikan punya waktu untuk Suri. Jika tidak memungkinkan untuk hadir berdua, kami mengatur jadwal secara selang-seling, agar bisa bergantian menemaninya dan memastikan Suri tidak pernah merasa sendirian,” katanya.
fashion Prada (kemeja).
Di sela kewajiban domestik, hari-hari Chicco turut semarak dengan rangkaian kegiatan berwirausaha. Ia adalah dalang di balik agensi hiburan Kite Entertainment, yang memayungi sederet aktor berbakat di antaranya Putri Marino, Ganindra Bimo, Jefri Nichol, Aghniny Haque, dan Lutesha. Bersama rekan sesama aktor, Rio Dewanto, ia membesarkan jaringan F&B Filosofi Kopi sejak tahun 2015 hingga kini telah menjalar ke berbagai kota besar di Indonesia. Sadar akan gaya hidup yang berdampak positif bagi kesehatan, ia pun menggagas ide bisnis di bidang wellness. Tahun 2022 silam, U by CJ dihadirkan sebagai pusat kebugaran berfasilitas lengkap dengan dukungan tenaga ahli profesional yang siap membantu masyarakat untuk berolahraga secara aman.
Tak ingin warisan hidupnya hanya dikenang sebatas karya komersial semata, Chicco memanfaatkan eksistensinya selaku medium untuk memperdengarkan suara-suara kaum yang terabaikan. Secara spesifik, ia berkisah, “Di bawah naungan Kite Entertainment, saya tengah menjalankan proyek pribadi berupa film pendek berjudul Berbagi Ruang, yang merupakan serial dokumenter jangka panjang untuk menyoroti persoalanpersoalan terkait kesejahteraan gajah dan habitatnya di Indonesia.” Chicco menjadi kian mendalami isu tersebut sejak mengambil peran sebagai elephant warrior untuk WWF di tahun 2018. “Proyek ini sebetulnya mengembangkan kampanye yang pernah saya lakukan bersama WWF tujuh tahun silam. Namun kali ini saya berupaya lebih jauh mengkritisi akar permasalahannya dari cakupan aspek yang lebih luas.” Dua episodenya sudah dirilis melalui YouTube. Bulan April ini, rencananya ia akan bertolak melakukan ekspedisi ke Aceh untuk merekam episode ketiga.
Sebagaimana yang telah ia sampaikan sehubungan kontemplasinya di awal pembicaraan kami; ia betul-betul merealisasikan hasrat berkarya yang lebih variatif. Tahun ini—jika tak ada aral melintang—Chicco akan berpartisipasi dalam sebuah proyek film horor. “Ini akan menjadi film horor pertama saya,” katanya. Sebentar, saya memotongnya, bukankah penampilan debutnya di layar lebar 13 tahun silam ditandai dengan film horor? “Tidak salah. Waktu itu saya berperan sebagai kameo ‘cowok diskotik’ yang bahkan wujudnya tidak memiliki nama, hahaha. Sejak itu saya belum pernah lagi bermain horor, sehingga film ini akan menjadi proyek besar perdana saya,” ujarnya antusias, namun ia tidak bisa bercerita banyak. Prinsipnya, pemali membesar-besarkan sesuatu yang belum terjadi.
fashion Burberry (mantel dan celana).
Yang sudah terjadi dan siap dilepas ke pasar di bulan April 2025 adalah Perang Kota, judul film teranyarnya karya sutradara Mouly Surya. Diadaptasi dari novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbitan tahun 1952, Chicco berperan menjelmakan sang tokoh utama: seorang guru sekolah, pemain bola, mantan veteran perang, suami impoten, yang terlibat dalam upaya gerilyawan melawan kaum penjajah kemerdekaan Indonesia. “Isa (nama karakternya) adalah salah satu karakter yang menarik untuk dihidupkan. Emosi Isa yang berlapis-lapis membuat perangainya begitu rumit; saya tidak bisa terlalu ekspresif menampilkannya, harus subtil, sehingga banyak luapan perasaan yang tertahan,” ia menceritakan proses pendalaman perannya, “Tapi di atas segalanya, Isa mengajarkan saya makna kebebasan dan kebahagiaan seorang manusia.”
Dalam perenungan laki-laki kelahiran Jakarta tahun 1984 ini, dunia seni peran layaknya sebuah sekolah. Kurikulum yang diajarkan adalah filsafat, antropologi, sosiologi, budaya, politik, bahkan olahraga; pada dasarnya, segala bentuk tentang kehidupan. “Saya belajar sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia pada zaman transisi lewat Perang Kota. Jadi bisa main bola, bicara bahasa Ambon, dan paham konflik budaya masyarakat Maluku karena Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Dibawa memahami kesehatan mental di Heartbreak Motel. Lalu dari Filosofi Kopi, saya belajar seluk-beluk perkopian sampai mahir menyeduhnya sebagai minuman berkafeina; saya bahkan menggenggam sertifikasi barista di tangan,” ujarnya.
Saat menjiwai sebuah peran, ia tak pernah ragu-ragu meleburkan diri ke dalam dunia sang karakter. “Saya pikir, penting bagi seorang aktor dapat merasa, lebih peka, dan seutuhnya, agar dapat tumbuh empati terhadap karakter yang dimainkan. Bagaimana caranya? Observasi, turun langsung ke lapangan, untuk menempatkan diri di titik kehidupannya. Setidaknya, begitulah yang kerap saya lakukan,” kata Chicco. Ia kemudian berkisah lebih banyak akan momen balik layar Perang Kota, bagaimana ia menemukan cara bicara Bahasa Indonesia yang baku, tanpa kaku, dengan sisipan logat Padang; hingga berlatih biola siang-malam demi terampil membawakan dua lagu secara langsung saat mewujudkan Isa. Dilanjutkan mengenang kembali pengalamannya berbulanbulan tinggal di tanah Maluku saat mentransformasikan perannya sebagai warga lokal. “Saya senang bagaimana dengan melakukan observasi langsung meninggalkan bekas yang mendalam bagi pribadi saya. Saya merasa dunia peran bukan sekadar mendidik saya menjadi aktor yang baik, tapi sekaligus manusia yang lebih baik,” pungkasnya mengakhiri renungan—yang sekaligus menutup perbincangan kami.