15 Oktober 2020
'Blackpink: Light Up the Sky' Memperlihatkan Kehidupan Pribadi Para Personel Blackpink

Anda tidak harus menjadi Blink dan tergabung dalam komunitas penggemar Blackpink untuk menonton Light Up the Sky. Film dokumenter yang mengisahkan kebangkitan grup vokal perempuan asal Korea Selatan tersebut sejatinya ialah tentang kerja keras, atas sebuah mimpi seiring realitas.
Narasinya mengikuti perjalanan Blackpink merengkuh kesuksesan di dunia musik. Mulai dari masa awal pelatihan idol hingga menjadi grup vokal pemecah rekor yang merajai tangga lagu di seluruh dunia, dan mendapatkan tempat di panggung festival musik internasional. Cerita dibuka pada hari di mana YG Entertainment memperkenalkan Blackpink kepada publik, tujuh tahun silam, sebagai grup vokal perempuan baru di bawah naungannya.

Alurnya kemudian ditarik mundur ke masa sebelum debut Blackpink. Arsip rekaman latihan Blackpink di akademi YG Entertainment pun diungkap. Namun alih-alih menyuguhkan serangkaian drama pertunjukan sebuah akademi pencarian bakat—seperti American Next Top Model—diiringi narasi suara, sutradara Caroline Suh menggunakan pendekatan lebih intim. Suh mendudukkan keempat personel Blackpink di sebuah bioskop kecil untuk bersama-sama menonton arsip video mereka. Hasilnya, celoteh jujur dari mulut Jennie Kim, Kim Ji-Soo, Lisa Manoban, dan Roséanne Park tergelak mengomentari masa muda. Ketika penonton berpikir bahwa perjalanan transformasi mereka sebagai memori indah, Suh mengarahkan diskusi keempat perempuan lebih mendalam.

Wawancara pribadi digelar terpisah untuk menggali tantangan dibalik layar pelatihan. Anda akan mengetahui bagaimana Blackpink, yang selalu bersemangat menari sembari menyanyikan lirik-lirik satire feminisme, kesulitan menemukan rasa percaya diri saat menjalani pelatihan. “Mereka mengharapkan kami memenuhi standar yang ditetapkan di setiap kelas latihan. Ketika saya diberi tahu bahwa saya tidak cukup kompeten dan berusaha tetap tegar saat mendengarnya adalah masa-masa yang berat,” cerita Jennie.
“Ada banyak aturan; apa yang mereka (direktur dan produser) suka dan tidak. Saya selalu merasa salah setiap melakukan sesuatu,” kata Rosé. “Saya hampir dikirim pulang dan harus berlatih sepanjang akhir pekan,” ungkap Ji-soo. Pembicaraan kian mendalam saat membahas harga yang harus mereka bayar atas sebuah ketenaran dalam waktu singkat. Lisa merenungkan bagaimana ia mengalami banyak perubahan dalam diri, dan merasa kewalahan dengan atensi publik yang melimpah. Di sisi lain, Rosé menemukan dirinya sulit berekspresi ketika menulis musik sendiri.
Photo courtesy Roséanne Park via Instagram.com/@roses_are_rosie Photo courtesy Lisa Manoban via Instagram.com/@lalalalisa_m
Tetapi filmnya bukan sekadar dokumenter belakang panggung. Plot yang dibagi ke dalam empat babak turut membedah kehidupan personal tiap personel Blackpink. Penonton dibawa menjelajah waktu lebih jauh ke masa kecil mereka lewat video rumahan yang direkam secara amatir. Jennie membuka periode hidupnya yang kerap berpindah-pindah negara bersama sang ibu hingga akhirnya menetap di Selandia Baru. Lisa membawa penonton mengunjungi kampung halamannya di Bangkok, Thailand; sementara Rosé memberi gambaran kehidupan keluarganya di Australia. Ji-soo yang lahir dan tumbuh besar di Korea Selatan—tidak seperti ketiga koleganya yang memiliki beragam latar belakang—menceritakan dinamika kehidupan perempuan remaja di Korea. “Saat remaja, saya kerap dipandang seperti orang buangan karena tidak memiliki wajah cantik. Mereka memanggil saya dengan sebutan monyet,” kisah Ji-soo yang kini menjadi brand ambassador global lini kecantikan Dior Beauty.
Photo courtesy Kim Ji-soo via Instagram.com/@sooyaaa__ Photo courtesy Jennie Kim via Instagram.com/@jennierubyjane
Light Up the Sky mengemas perjalanan mimpi dan realitas secara imbang. Tidak membuai penonton larut dalam kisah perjuangan sarat air mata atau jalan keberuntungan. Bahkan di akhir film, Suh tidak menyuguhkan akhir bahagia yang subtil. Esensi mimpi kembali ditonjolkan. Menggugah personel Blackpink untuk memikirkan di mana mereka akan berada 10 hingga 15 tahun mendatang. Pikiran realistis diungkap masing-masing perempuan ketika mereka tak lagi lincah menari dan tidak sanggup melakukan tur keliling dunia.