CULTURE

16 Agustus 2018

Nyoman Nuarta: Mengantar Garuda Mengangkasa


Nyoman Nuarta: Mengantar Garuda Mengangkasa

Hampir 3 dekade lalu, pematung Nyoman Nuarta bermimpi membangun Garuda Wisnu Kencana (GWK), sebuah monumen dengan patung berukuran gigantis untuk menjadi penanda pariwisata yang dapat dikenang sepulang para wisatawan mengunjungi Bali. Ia bayangkan patung itu akan menjadi ikonik seperti Patung Liberty di Amerika yang kepadanya banyak orang datang untuk melihat dan mengapresiasi. Desain dibuat, dan pembangunan patung bertinggi 121 meter itu pun dimulai 28 tahun silam, tepatnya pada 1993 di Desa Ungasan, Bali. Pembangunan yang diperkirakan hanya akan berlangsung beberapa tahun saja, mulur hingga mencapai 28 tahun. Dua dekade lebih itu tentu bukan waktu yang pendek untuk sebuah proses pembangunan yang menguras begitu banyak biaya, tenaga, pikiran, perasaan. Harapan seperti sebuah lintasan jet coaster, yang membawa Nyoman dalam sebuah permainan –bila tak menyebutnya sebagai perjalanan- yang amat fluktuatif. Pelan-pelan menanjak tinggi untuk dalam waktu sekejap terhempas ke titik terendah, lalu naik lagi, berputar, terjungkir, melintasi landaian lalu kembali menajak dan terhempas seperti ingin menguji nyali dan keteguhannya mewujudkan impian. Proses pembuatan GWK melewati pula beberapa kali pergantian kepala negara di Indonesia, bergerak menari bersama berbagai masa krisis dan era transisi. Melewati berbagai tantangan itu, bagi Nyoman Nuarta, pembangunan GWK akhirnya lebih terasa sebagai sebuah proses penyucian jiwa ketimbang sekadar proses mewujudkan karya. “Dari rasa yang begitu yakin dan penuh ambisi membangun landmark yang spektakuler di Bali, saya akhirnya sampai pada titik kepasrahan yang mendalam, menyerahkan semua rencana pada semesta dan hanya ingin karya itu bisa terwujud sebagai persembahan saya pada tanah kelahiran,” kata Nyoman dalam sebuah bincang-bincang dengan media ketika proses pembangunan GWK mulai kembali dilanjutkan pada 2013 lalu. Saat mengawali proses pengerjaan GWK pada paruh awal dekade 90-an, hatinya sempat bungah dan amat yakin pembuatan GWK akan berjalan lancar dan segera selesai karena dukungan besar yang ia terima dari pemerintah kala itu. Restu dari kepala negara diberikan lewat secarik kertas bertulis “dilanjutkan”. Ia juga belajar berbesar hati ketika akhirnya, GWK terpaksa dilepasnya pada pengembang Alam Sutra yang kini menjadi partner utama pengelola Garuda Wisnu Kencana Park di Ungasan. Mimpi pematung yang pada awal April tahun 2018 menerima penghargaan Padma Award dari Presiden India Shri Ram Nath Kovind, akhirnya diresmikan pada 4 Agustus 2018 mendatang.   Apa yang menjadi pemicu munculnya gagasan mendirikan GWK? "Saya bikin GWK sebagai upaya penghormatan pada Dewa Wishnu, dewa kehidupan yang dipuja di Bali. Orang Bali percaya pada tiga dewa yakni Brahma yang merupakan dewa kelahiran, Wishnu dewa kehidupan dan Syiwa, dewa kehancuran yang sekaligus merupakan permulaan lagi yang disebut orang Bali sebagai pramalina atau penghapus. GWK itu Wishnu yang menunggang Garuda. Wishnu merupakan dewa pelindung kehidupan. Dewa yang banyak disembah adalah Wishnu karena dekat dengan keseharian dan simbol-simbolnya air. Kehidupan kerap disimbolkan sebagai air. Kami di Bali bersembahyang setiap hari, menggunakan air, memuja Wishnu yang merupakan perlambang kehidupan tapi sambil mengotori air yang kita punya. Menurut saya, penghormatan kita seharusnya tidak hanya di mulut saja, tapi harus dengan perbuatan nyata sehari-hari. Saat saya memulai pun, isu lingkungan sudah mulai mencuat dan simbol-simbol purba seperti GWK itu ternyata bisa mewakili kehidupan modern." Apakah juga karena ada garuda di dalam GWK? "Kebetulan garuda adalah lambang negara kita. Jadi ada korelasinya. Saya membayangkan kita semua, bangsa Indonesia, seperti garuda yang setia pada kehidupan dan memangku tanggung jawab untuk merawat alam semesta." Mimpi apa yang Anda bayangkan dapat dipenuhi GWK manakala ia selesai dibuat? "Patung ini harus bagus secara makna maupun estetika. GWK ini boleh dibilang merupakan ikonologi Bali yang sangat modern misinya dan tetap relevan dengan keadaan masa kini. Ia harus jadi sesuatu yang menyebabkan siapa saja yang melihat merasa benar kemegahan dan keagungannya sehingga ada detail yang harus diperhatikan, tidak sekadar tinggi dan besar saja." Hal-hal apa yang menjadi perhatian terbesar Anda kala membangun GWK ? "Ketinggian mencapai 271 meter dari permukaan tanah dan ukurannya yang gigantis itu, pertimbangan saya lebih pada persoalan estetika. Saya ingin dari kejauhan dan ketinggian, siluet GWK bisa terlihat. Ia harus membangun kekaguman, baik dari sosoknya maupun misinya. Jadi bukan hanya ingin balapan tinggi-tinggian dengan patung-patung lain sebab kita terbatas pula dengan aturan lalu lintas udara. Jarak pandang idealnya juga harus diperhatikan. Bagaimana GWK memenuhi syarat sebagai obyek wisata yang aman serta tahan terhadap angin kencang. Saya bahkan memikirkan sampai bagaimana GWK juga aman dari petir. Kami memakai banyak ahli untuk membuat GWK aman secara teknis. Total lantai yang dimiliki GWK sekitar 23 lantai. Cita-cita saya, GWK bisa menjadi patung terbaik, baik dalam bentuk maupun pesan yang dibawanya." Dalam pembangunan GWK, adakah pendekatan dan teknik berbeda yang Anda terapkan? "Saya menemukan teknologi modul yang sudah saya patenkan tentang bagaimana mengerjakan patung-patung besar dengan hasil yang presisi. Itu saya temukan pada awal-awal keluarnya autocad. Memang autocad itu dulu lebih banyak digunakan untuk arsitektur dan aviasi, membangun gedung dan membuat pesawat. Walaupun saya dulu tidak berani pegang komputer karena takut meledak, saya yakin sekali, sistem autocad bisa digunakan untuk membantu pembuatan patung. Saya dulu punya ambisi untuk membuat patung besar secara presisi dengan biaya relatif murah dan yakin jadi. Kalau membuat lukisan besar kan sudah ada caranya, pakai pantograph, atau proyektor. Tapi untuk karya tiga dimensi, saat itu belum ada. Juga, patung yang begitu besar, biaya besar, melibatkan tim kerja yang besar, tanggung jawabnya juga luar biasa besar. Kalau salah hitung bisa sengsara kita. Kalau bisa presisi dan terukur semua bisa dikerjakan dengan aman. Hanya saja untuk GWK ini, saya menyederhanakan ornamen-ornamennya supaya kelihatan pas. Itupun sudah cukup rumit karena detailnya patung aslinya benar-benar sangat tidak sederhana." Seniman sering abai soal paten dan hak cipta. Tapi Anda sudah memiliki kesadaran untuk mendaftarkan hak cipta. "Ini perlu disadari oleh seniman-seniman. Harus mendaftarkan copyright. Kalau hak paten lebih soal menyangkut teknologi. Karena copyright dilindungi oleh negara dan undang-undang. Juga tidak boleh diperjualbelikan." Apa yang membuat proses pengerjaannya terentang dalam waktu yang demikian panjang, apa yang sebetulnya terjadi? "Pengerjaan sebenarnya bisa cepat. Tapi terbentur soal biaya. Tidak semua orang bisa percaya bahwa patung ini akan menghasilkan uang. Ini yang harus diyakini. Alam Sutra yang terlibat ini percaya pada hal itu. Memang menyesuaikan pandangan orang yang biasa membuat bangunan yang dari gambar saja bisa langsung dijual untuk mengerjakan bangunan seperti GWK yang lebih seperti investasi. Saya sangat menghargai pihak-pihak yang mau terlibat. Yang menggembirakan, GWK ini juga ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Karena ini bukan simbol keagamaan, melainkan kebudayaan." (Teks: Indah Ariani, Foto: Dok. Nyoman Nuarta)