14 Oktober 2025
Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) ke-15 Bertajuk “Earth Society” Merayakan Ingatan Kolektif Manusia dan Alam
PHOTOGRAPHY BY doc. Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD)

Jakarta sore itu terasa lebih teduh dari biasanya. Di jantung Kemang, kawasan yang selama bertahun-tahun menjadi tempat tumbuhnya percakapan kreatif, derap langkah para pengunjung menggema di lobi grandkemang Hotel. Mereka datang bukan sekadar untuk “melihat pameran,” melainkan untuk ikut menyelami sebuah percakapan besar tentang bumi, keberlanjutan, dan keberadaan manusia itu sendiri.
Hari itu, 10 Oktober 2025, Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) resmi membuka edisi ke-15-nya. Bertajuk “Earth Society,” pameran ini menghampar hingga 9 November mendatang mengundang publik untuk merenung, berdialog, dan mungkin, mempertanyakan kembali bagaimana kita hidup bersama alam.
Membaca Ulang Relasi Manusia dan Bumi
“Earth Society menjadi tempat bagi para seniman, desainer, dan berbagai praktisi kreatif dari dalam maupun luar negeri untuk membaca ulang relasi kita dengan alam dan komunitas di sekitar kita,” tulis kurator Prananda L. Malasan dan Jerrey David Aguilar dalam teks kuratorial mereka. Tema ini lahir dari kegelisahan kolektif: dunia berubah terlalu cepat, ruang hidup menyempit, dan alam kian kehilangan bahasa aslinya.
Edwin Nazir, Festival Director ICAD, menggarisbawahi esensi festival ini bukan semata pada karya yang terpajang, tetapi pada pertemuan gagasan. “ICAD selalu menjadi ruang pertemuan antara seni, desain, dan masyarakat. Di ICAD 15, kami ingin menegaskan kembali semangat kebersamaan dan kolaborasi, bukan hanya dalam merayakan kreativitas, tapi juga dalam berdialog tentang masa depan kita bersama,” ujarnya dalam sambutan pembukaan.
Di tengah arus deras informasi dan industrialisasi, ICAD tahun ini mengajak publik untuk “melambat” untuk mendengar kembali suara tanah, angin, laut, dan makhluk yang sering kali kita abaikan.
Lebih dari 50 Narasi dalam Lima Babak
ICAD 15 menghadirkan lebih dari 50 partisipan dari berbagai negara dan lintas disiplin. Mereka terbagi dalam lima kategori kurasi: Special Appearance, In Focus, Featured, Collaborations, dan Open Call yang bersama-sama membentuk mosaik narasi tentang bumi dan kehidupan.
Salah satu sorotan tahun ini adalah karya terbaru Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden keenam Republik Indonesia, yang memaknai “Earth Society” melalui pendekatan personal dan reflektif. Ada pula Prof. Emeritus Imam Buchori Zainuddin, pelopor desain produk Indonesia, yang tampil dalam Special Appearance dengan rangkaian arsip, gagasan, dan kisah panjang perjalanannya.
Pada kategori In Focus, perhatian publik tertuju pada patung-patung Yani Mariani Sastranegara yang menyerupai lanskap rapuh, dan karya mode Ghea Panggabean yang memadukan warisan tekstil Nusantara dengan narasi ekologis.
Featured menjadi panggung lintas negara. Dari Thailand, seniman-aktivis Wishulada Panthanuvong mengubah material bekas menjadi karya monumental, mengingatkan kita bahwa sampah, di tangan yang tepat, bisa menjadi bahasa baru. Dari Indonesia, studio kreatif Kreaby, yang memberdayakan seniman autistik, menghadirkan karya yang berbicara lembut namun tajam tentang hilangnya ruang hijau di kota.
Panggung Kolektif dan Negosiasi Perbedaan
ICAD selalu punya cara khas mengaburkan batas antara karya, ruang, dan penonton. Tahun ini, lobi hotel berubah menjadi ruang komunal berkat rancangan arsitek dan skenografer Trianzani Sulshi. Panggung ini tak hanya berfungsi sebagai tempat talkshow atau pertunjukan, tapi juga sebagai metafora: kolektivitas lahir dari negosiasi atas perbedaan.
Program publik seperti workshop “Knowing Co-Existence” oleh MOTE mengajak pengunjung membuat petridish art mereka sendiri, sebuah bentuk “bermain” sains dan seni untuk mengingatkan bahwa keberadaan kita selalu berkelindan dengan makhluk hidup lain.
Talkshow, performance art, dan pemutaran film turut memperkaya lanskap pengalaman ini. Tidak ada satu suara dominan; semua narasi saling bersahutan, membentuk paduan yang tidak selalu rapi, tapi justru jujur.
Seni yang Merespons Zaman
ICAD bukan festival yang lahir kemarin sore. Sejak 2009, ia menjadi ruang penghubung antara seniman, desainer, arsitek, pembuat film, pelaku mode, hingga pemikir dari berbagai disiplin. Selama 15 tahun, ICAD telah bekerja sama dengan lembaga budaya dunia—dari Prancis, Italia, Jepang, Malaysia, hingga Qatar—dan membawa nama Indonesia ke kancah global, termasuk Milan Design Week, Venice Art Biennale, dan London Design Biennale.
Dalam sejarah seni kontemporer Indonesia, kehadiran ICAD menjadi salah satu momentum penting. Jika pada dekade 1970-an hingga 1990-an seni kontemporer sering berada di ruang eksklusif galeri dan kampus seni, ICAD hadir untuk membuka ruang, secara literal dan kultural. Seni tidak lagi hanya untuk mereka yang “paham”, tapi untuk siapa pun yang mau ikut mendengar dan bertanya. Di tengah segala ketidakpastian zaman, mungkin kita memang membutuhkan ruang seperti ICAD, tempat seni dan desain bukan sekadar tontonan, melainkan pengingat lembut bahwa dunia ini bukan hanya milik kita.
Anekdot dari Masa Depan
Seorang anak sekolah dasar tampak menggenggam buku catatannya erat saat mengikuti ICAD Student Tour, salah satu program tahunan yang melibatkan lebih dari 20 sekolah. Matanya menyala ketika melihat patung logam berlumut karya salah satu seniman tamu. “Ini kayak bumi di masa depan,” katanya lirih. Mungkin ia belum sepenuhnya memahami isu krisis iklim atau urbanisasi. Tapi dari tatapan matanya, seni telah melakukan tugasnya: membangkitkan rasa ingin tahu.
ICAD 15: “Earth Society”
🗓️ 10 Oktober – 9 November 2025
📍 grandkemang Hotel, Jakarta Selatan