15 Mei 2025
Menafsir Emosi Lewat Lensa: “PROPHECY” dan Perjalanan Sunyi Mikael Aldo
PHOTOGRAPHY BY doc. Mikael Aldo

Di tengah panas terik Jakarta yang kerap menggoda siapa pun untuk berlindung di balik tirai, seorang seniman muda memilih jalan sebaliknya: menyibak lapisan demi lapisan perasaannya dan membingkainya dalam diam. Mikael Aldo, fotografer dengan sentuhan visual yang halus dan atmosferik, meluncurkan photobook perdananya yang bertajuk PROPHECY. Ini bukan sekadar koleksi gambar, melainkan perjalanan batin yang dibukukan. Sebuah eksplorasi visual yang menghadirkan emosi bukan sebagai kesimpulan, tapi sebagai lanskap.
Ada 80 foto dalam PROPHECY, namun jangan harap menemukan narasi linier. Yang Anda temui adalah fragmen—detik-detik rapuh, jeda sunyi, dan letupan rasa yang terekam tanpa niat mengurainya secara utuh. “Foto-foto ini bukan cerita dengan awal dan akhir,” kata Aldo, “melainkan serpihan yang membentuk lanskap batin saya. Kadang samar, kadang tajam.”
Sebagian besar karya dalam PROPHECY terasa kabur, nyaris seperti mimpi yang tak ingin kita lupakan meski sulit diingat. Estetika hazy dan atmosfer deep yang menjadi ciri khas Aldo tetap terjaga, namun dalam buku ini ia menyelami lebih dalam: memadukan teknik konseptual, portraiture, still life, dan lapisan surrealisme, sebagai medium untuk menggambarkan emosi yang rumit dan tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia menolak terjebak pada satu gaya visual, dan lebih memilih menjelajah berbagai bentuk penyampaian agar setiap emosi punya ruangnya sendiri.
Aldo mengakui, warna-warna gelap dalam foto-fotonya bukan ajakan untuk larut dalam kemurungan. Sebaliknya, itu adalah cara ia mendekati emosi secara retrospektif—melihat ke belakang, merekam dari kejauhan, atau bahkan sekadar membayangkannya. Dalam pandangannya, karya fotografi adalah upaya terus-menerus untuk memahami dunia dan diri sendiri, serta apa pun yang hadir di antara keduanya. Di sinilah PROPHECY menjadi ruang untuk membingkai kompleksitas itu: sebagai potret diri, dan sekaligus cermin bagi siapa pun yang melihatnya. “Fotografi saya bukan hanya tentang menangkap momen, tetapi juga tentang mengerti dunia dan diri saya sendiri, satu bingkai dalam satu waktu,” ujarnya pelan.
Peluncuran PROPHECY turut dirayakan lewat sebuah pameran fotografi imersif yang digelar selama seminggu mulai 14 Mei hingga 20 Mei di artsphere Gallery, Dharmawangsa. Tidak seperti bukunya yang mengajak pembaca menyusuri emosi secara perlahan dari halaman ke halaman, pameran ini justru memberi kesempatan bagi pengunjung untuk mengalami karya secara langsung dan menyeluruh. Sejumlah 17 foto terpilih dari seri ini dipresentasikan dalam format spasial, membentuk emotional architecture—bukan sekadar ruang galeri, tapi tempat berdiam dan berdialog dengan rasa.
“Melalui pameran ini, saya ingin menciptakan ruang bersama di mana emosi-emosi batin bisa diresapi secara berbeda,” ujar Aldo. “Setiap karya membawa kita melalui transisi: dari keterasingan menuju harapan, dari kerentanan menuju pemulihan, dari kecemasan menuju kedamaian yang rapuh.” Emosi, menurutnya, tidak pernah datang sendirian. Mereka saling bertabrakan, saling menggeser, saling membentuk. Dan dalam tatanan itulah, pameran ini berdiri bukan sebagai ringkasan buku, tapi sebagai ekspansi dari dunia yang ia bangun di dalamnya.
Tak semua karya dalam PROPHECY lahir dari perencanaan matang. Banyak yang justru muncul dalam momen yang tak terduga. Aldo mengenang sebuah perjalanan ke Gunung Lawu, ketika ia mendaki hanya untuk menikmati udara dan waktu sendiri. “Saya tak berniat memotret untuk proyek ini,” ujarnya, “tapi ada suasana yang membuat saya merasa harus mengangkat kamera.” Foto yang tercipta dari momen itu kemudian menjadi bagian penting dalam bukunya—sebuah bukti bahwa spontanitas pun bisa menjadi bagian dari narasi konseptual yang ia bangun. Ia juga menjelajah hingga ke Kerinci dan pesisir Pantai Sawarna, membiarkan lanskap-lanskap tersebut memengaruhi nada emosional fotonya.
Di balik kekuatan visualnya, PROPHECY juga dikuatkan oleh kolaborasi dengan sejumlah sosok kreatif tanah air: aktor Muhammad Khan, fotografer Meidiana Tahir dan Nadia Rompas, serta stylist Hafiz Akhbar. Kolaborasi ini bukan hanya soal estetika, melainkan bagian dari upaya Aldo membangun dunia emosional yang kompleks, penuh lapisan, dan hidup.
Meski terasa monumental, Aldo menyebut buku dan pameran ini bukan sebagai puncak, melainkan sebuah awal. “Saya tidak ingin terburu-buru,” ungkapnya. “Saya percaya, karya yang lahir dari proses yang perlahan dan jujur adalah yang paling bermakna. Fokus saya adalah kembali ke akar: menciptakan ruang di mana perasaan bisa tinggal.” Ia ingin terus merangkai dunia-dunia emosional—tempat orang lain bisa menemukan potongan dirinya sendiri, dan dirinya pun bisa terus mencari.
Perjalanan artistik Mikael Aldo dimulai lebih dari satu dekade lalu, saat ia menjalankan 366 Project—sebuah proyek foto harian yang ia unggah di Flickr pada 2012. Proyek itu membuatnya dikenal luas, termasuk oleh Adobe Photoshop dan My Modern Met. Pada usia 18 tahun, Aldo sudah menjadi fotografer profesional, membangun bahasa visual khas yang memadukan fotografi, komposisi digital, dan narasi emosional.
Kini, melalui PROPHECY—photobook pertamanya sekaligus pameran tunggal perdananya— Aldo menyingkap karya paling personal dan paling sunyi dalam perjalanannya sejauh ini. Dan siapa pun yang membacanya, atau berjalan di antara foto-foto dalam ruang pamer, akan tahu bahwa ini bukan sekadar buku atau pameran. Ini adalah dunia yang terbuka—tempat kita semua bisa menaruh sepotong dari rasa kita sendiri di antara bayang dan cahaya.