CULTURE

28 Oktober 2024

Ekspresi Radikal Ruth Marbun dalam Mengkritisi Ideologi Estetika yang Menantang Persepsi Masyarakat


Ekspresi Radikal Ruth Marbun dalam Mengkritisi Ideologi Estetika yang Menantang Persepsi Masyarakat

Ragam perilaku manusia dan gerak-gerik masyarakat urban adalah pemandangan yang selalu menginspirasi Ruth Marbun sebagai seniman yang hidup di Jakarta. Hal ini terutama dipengaruhi lewat perjumpaannya dengan berbagai karakter yang ditemui secara selintas, lalu mengendap dalam imaji atau alam bawah sadarnya. Beragam karakter individu ditampilkan dari berbagai sosok dalam keseharian, seperti seseorang yang sedang duduk di sebelah meja Anda di restoran, tukang nasi goreng yang berjualan tak jauh dari tempat tinggal Anda, bapak tua ramah di gerbang kompleks rumah, pegawai kantoran yang duduk di transportasi umum pada suatu pagi, ibu rumah tangga yang juga teman baik sejak kecil, serta pedagang sayur yang rutin ditemui setiap hari Sabtu. Menelusuri karya-karya Ruth Marbun layaknya mengelilingi petak-petak pemukiman yang setiap sisinya menampilkan berbagai perilaku manusia. Dari kata-kata, gestur, hingga raut wajah digambarkan secara instingtif ke dalam semesta dwimatra lukisannya. Lewat seni rupa, Ruth membahasakan idiom-idiom visual dengan medium lukisan cat air di atas kertas dan cat akrilik di atas kanvas yang disusun sebagai gugusan karya yang mengambang dan menepi.

Little They Know (2024)

Alih-alih menghadirkan karya yang menggambarkan potret secara utuh, Ruth Marbun justru melukiskan sosok-sosok yang samar. Dalam seri karya berjudul Teka-Teki Tokoh, sang seniman menampilkan figur karakter misterius dalam dominasi warna monokrom. Tak lupa menyisipkan kalimat-kalimat jenaka nan absurd yang justru memberi perspektif baru dan elemen kejutan dari karya visualnya, seperti ‘orangnya sangat serius, tidak ada yang tahu berapa jumlah giginya’. Kalimat ini ternyata memiliki sambungan teks ‘atau gajinya’. Melalui narasi kalimat yang kadang bertentangan atau keluar dari paradigma bahasa, bahkan kerap saling melengkapi goresan visual untuk nuansa yang unik, Ruth Marbun seolah menciptakan ruang kamufl ase saat dia bermain-main dengan unsur ambiguitas dari goresan visualnya. Karya-karyanya Ruth Marbun. menantang persepsi bahwa ketika ada sesuatu yang dianggap lumrah, maka akan selalu ada anasir-anasir mengejutkan yang menyertainya apabila diperhatikan dengan seksama.

Dalam sejarah seni rupa modern, lukisan-lukisan kanvas memang cenderung mendapatkan perhatian lebih dibanding karya dengan medium kertas. Namun Ruth Marbun sepertinya tak ingin terjebak pada konstruksi tersebut. Semangat perlawanan itu dapat dilihat dari salah satu karya berjudul Bata(s) i (2023) yang menggunakan medium acrylic and pastel on canvas dan menantang pola konstruksi yang berlaku di kalangan seniman. Dalam karya tersebut, Ruth menghadirkan narasi kecil yang menggelitik lewat tulisan ‘Naikkan Derajat Ikan Kembung’ yang menjadi bentuk tanggapan sang seniman terhadap hasil riset pangan bahwa kandungan Omega 3 ikan kembung lebih tinggi dari salmon. Pembuatan karya berukuran sebesar batu bata yang kecil justru menantang batas imajinasinya untuk mencari kemungkinan paling estetik. Pola pengkaryaan seperti itu juga membuatnya lebih tertantang dalam mengeksplorasi ruang. Selain juga karya-karyanya turut menstimulasi kemunculan pertanyaan-pertanyaan yang hadir melalui berbagai medium, seperti ketika mengolah kain dan teknik jahit untuk mempertanyakan anggapan bahwa menjahit adalah kegiatan domestik yang feminin.

The Usual Suspects (2023, series)

The Usual Suspects (2023, series)

The Usual Suspects (2023, series)

Perempuan kelahiran 1985 silam ini menyelesaikan pendidikan jurusan Fashion Foundation di London College of Fashion, Inggris. Ia kemudian meraih gelar sarjana di bidang Fashion Design dari Raffl es Design Institute di Singapura. Ruth Marbun memulai karier di bidang mode sebelum beralih ke ranah seni visual. Dalam artian, sang seniman seolah membutuhkan ruang lebih besar untuk mengejawantahkan gagasan-gagasannya di ranah visual. Usai beberapa tahun menggeluti dunia mode di Singapura, Ruth memutuskan kembali ke Jakarta dan secara perlahan memasuki dunia seni rupa dan mengembangkan gaya artistik yang khas.

Selama malang melintang di dunia seni, Ruth telah melakukan berbagai pameran, baik tunggal maupun kolektif, di dalam dan luar negeri. Beberapa di antaranya Prologue: Image Not Found (2017) di Jogja Contemporary, Limited but Expendable (2023) di MARGIN, Tokyo, serta GUMUL (2024) di SYRUP Contemporary, Sydney. Ia juga berjejaring dengan para pekerja kreatif dalam perilisan karya baru, baik lewat media lukisan, kolaborasi musik, serta dunia penerbitan. Selain juga berkolaborasi dengan beberapa musisi lokal untuk menggarap sampul album musik, di antaranya yakni kelompok musik Fourtwnty dan Dialog Dini Hari.

Dalam kekaryaannya sejak 2013, Ruth Marbun memilih perilaku masyarakat urban sebagai perhatian utama. Ia sangat tertarik pada hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Perihal kemampuan manusia untuk beradaptasi dan bertahan hidup. Ruth juga cenderung merayakan ketidaksempurnaan sebagai konsekuensi logis dari kehidupan, seperti yang terlihat dan tercermin dalam tekstur dan dekonstruksi figur dalam lukisan, tekstil, soft sculpture, gambar, animasi, dan instalasinya. Ruth Marbun bekerja dengan cat air, akrilik, tekstil, dan benda-benda temuan yang kerap menggambarkan figur-figur yang didekonstruksi. Ia memiliki repertoar visual yang unik dan aneh sekaligus berani. Praktik artistiknya menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap perilaku manusia sekaligus menantang gagasan lazim tentang keindahan konvensional dengan adanya ketidaksempurnaan, kontradiksi, dan perlawanan. Ruth Marbun percaya bahwa menerima kekurangan, alih-alih menolak ketidaksempurnaan, justru membuka lebih banyak kemungkinan dan kesempatan.


Apa yang membuat Anda tertarik untuk menjalin kolaborasi dengan majalah ELLE?

“Saya bertumbuh dengan majalah. Berlangganan majalah dari kecil, remaja, hingga akhirnya beranjak dewasa. Saya turut membaca dan mengumpulkan beberapa majalah dari mancanegara. Dalam peradaban prainternet, di mana manusia punya rasa sabar seluas samudera, menunggu edisi baru majalah-majalah kesayangan punya keseruannya tersendiri. Jadi ketika mendapat kesempatan untuk berkolaborasi dengan ELLE Indonesia untuk pembuatan karya sampul 16th Anniversary ini rasanya seperti memberi ‘my younger self’ sebuah hadiah dari masa depan, yang tidak pernah dia bayangkan mungkin terjadi! Sederhana saja, saya berharap sampul ini bisa membuat seseorang tersenyum selama beberapa detik. Kadang-kadang, di tengah penat dan ketidakpastian hidup, ruang-ruang untuk tersenyum kecil terasa mewah. Joy comes in all sizes.”

Seperti apa pembacaan terhadap karya seni Anda sebagai cover ELLE dalam konteks nilai-nilai dan konsep yang terkandung di dalamnya?

“Saya agak terkejut sekaligus senang sekali dengan karya pilihan tim ELLE untuk sampul ini. Dari beberapa pilihan yang saya tawarkan, karya ini langsung tegas ditunjuk. Sejak awal, berangkat dari tema ‘Faith’, saya terpikir ingin menampilkan sosok perempuan yang ‘unapologetic’, nyaman dengan keadaan diri sendiri sebagaimana adanya. Tertawa lepas, tidak merujuk pada konformitas, dan semangat yang melekat. Kenapa? Karena kerap kali saya menemukan kualitas ‘faithfulness’ pada perempuan-perempuan tangguh yang di tengah segala permasalahan berat hidupnya, dia tetap memilih untuk bersukacita. Tidak jarang mereka itu ibu-ibu. This is an odd to all the struggling mothers out there, who choose joy as their weapon of faith. My biggest inspiration.”


Seperti apa perkenalan Anda dengan dunia seni?

“Dimulai dengan tidak sengaja. Setelah menjalankan pendidikan dan karier di bidang mode selama kurang lebih tujuh tahun di Singapura, saya memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mengambil jarak sejenak. Rencananya, saya ingin mengeksplorasi dunia ilustrasi dan hal-hal lainnya selama setahun sebelum kembali mencoba peruntungan di industri fashion. Ternyata saya lupa jalan pulang! Hahaha. Di rentang waktu itu, dengan modal sosial nol besar, saya terhitung beruntung bertemu dengan komunitas dan teman-teman baru yang pelan-pelan menjerumuskan saya ke dunia seni. Seni akhirnya mengubah perspektif saya dalam melihat hidup. Mengajarkan nilai-nilai penting yang tidak saya sadari sebelumnya, semisal saja kebutuhan untuk memahami konteks, mempelajari sisi lain sejarah, relasi antarmanusia, mengartikulasikan pendapat, dan lain sebagainya.”

Zephyr On The Rock, (2024)

Anda tidak pernah menempuh jalur pendidikan seni secara formal, hal itu menjadi tantangan atau justru merupakan nilai lebih? “Awalnya itu menjadi tantangan. Namun setiap tantangan pasti membawa keuntungannya sendiri; ini sudah satu paket. Setelah beberapa tahun menjalani, ternyata posisi saya yang di luar sistem justru memberi saya kebebasan dan otentisitas dalam memilih dan mengolah proses, pemikiran, strategi, yang kemudian justru menjadi daya tawar saya. Yang jangan sampai dilupakan adalah konsistensi. Terus bergerak, terus belajar, terus mencoba. Segala upaya pasti akan membawa kita ke tempat-tempat tak terduga, walau kerap dibawa berputar-putar dulu, hahaha!”

Menyelesaikan studi akademis bidang fashion, bagaimana pendidikan dan pengalaman di dunia mode memberi pengaruh dan kontribusi pada praktik artistik Anda? “Setiap pengalaman pasti berkontribusi pada proses pengkaryaan seorang seniman, baik secara sadar ataupun tidak. Awal ketika baru terjun ke dunia seni, saya memisahkan diri saya dengan dunia mode, dengan pertimbangan ingin menjaga kemurnian praktik seni. Tetapi setelah beberapa lama mulai berpikir, bukankah pengalaman dan pengetahuan yang saya dapatkan di bidang mode semestinya justru menjadi modal penawaran dan perspektif yang otentik dalam perupaan saya? Sejak itu saya menghapus garis imajiner itu dan membiarkannya saling memengaruhi satu sama lain. Dan terbukti hal itu memberi lebih banyak kegunaan. Salah satu kontribusi latar belakang fashion dalam proses berkarya adalah kontribusi medium dan aplikasi seperti tekstil, menjahit, bordir, dan komposisi warna ke dalam kamus visual saya. Pikiran kita adalah hal terbaik sekaligus terburuk yang kita miliki. It’s a very powerful tool!


Trajektori (2024)

Anda banyak menampilkan ketertarikan terhadap bidang literatur. Bagaimana sebuah karya tulis berpengaruh terhadap proses berkesenian Anda?

“Bacaan-bacaan itu terselip dan tersembunyi di balik napas-napas karya saya. Karena pendekatan karya saya bukan berbasis riset, maka fungsinya lebih sebagai modal pengetahuan yang kemudian melebur dalam pengolahan pikiran dan rasa, layaknya bahan untuk memasak. Perannya penting untuk membentuk struktur rasa, tetapi bentuknya tak lagi terdefi nisi dalam penyajian akhirnya.”

Praktik seni Anda menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap perilaku manusia. Kondisi manusia dalam konteks apa yang memicu kreativitas dan mendorong imajinasi Anda?

“Saya selalu tertarik dengan usaha manusia untuk beradaptasi dan bertahan hidup, di berbagai skala dan format terutama dalam konteks keseharian. Bisa jadi rasa humor, konfl ik relasi, budaya ataupun kontradiksi. Selalu ada lapisan yang bisa dikupas. Dalam proses berkesenian, saya melihat keterkaitan yang terjadi antarmanusia merupakan salah satu daya penggerak untuk terus berkarya. Saya menganggap manusia itu makhluk yang aneh. Dan kehidupan merupakan hal besar sekaligus mendasar yang pada saat bersamaan sering kali  melahirkan paradoks.”