7 Agustus 2025
Kei Imazu Menggurat Sejarah Batavia dalam 'The Sea is Barely Wrinkled'

Installation view of Kei Imazu 'The Sea is Barely Wrinkled' (2025) at Museum MACAN Jakarta; photography by Liandro Siringoringo
Memasuki ruang pameran The Sea is Barely Wrinkled gubahan perupa Kei Imazu di Museum Macan bagai menyelam ke dasar laut dalam suatu ekspedisi historis kental mitologi. Di tengah spasial, karya Batavia Ships yang terbuat dari plastik ABS, besi, dan poliuretan tampak seperti bangkai kapal karam yang tertambat secara masif. Lebih jauh ke ujung belakang, tersakat sebuah rangka pintu gerbang berukuran raksasa. Atmosfernya semakin impresif dengan langit-langit berselubung kain halus corak riak dalam permainan gradasi warna biru dan putih, yang digunting pada sejumlah titik garisnya untuk menciptakan ilusi optik permukaan laut nan berkilauan ketertembusan sinar matahari.
Pameran ini menandai pergeseran yang lebih reflektif dalam praktik artistik Kei Imazu. Sebuah eksplorasi terhadap permukaan laut sebagai metafora visual sekaligus pertanyaan filosofis tentang persepsi, ingatan, dan infrastruktur tak kasatmata dari dunia digital. Melalui pengolahan beragam sumber visual—mulai dari artefak sejarah, lanskap alam, hingga model 3D dan citra dari internet—Imazu menciptakan lanskap visual yang berlapis dan penuh ambiguitas. Karya-karya dalam pamerannya sekaligus sensual dan intelektual, merangkul paradoks antara organik dan artifisial, antara yang abadi dan yang sementara, antara ketenangan dan ketegangan. Laut bukan hanya menjadi objek, tapi juga simbol dari cara kita mengalami dunia hari ini. Lewat setiap karya, Imazu seakan-akan bertanya: apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik permukaan dari apa yang kita lihat?
The Sea is Barely Wrinkled dijadwalkan mengisi ruang pamer Museum MACAN hingga 5 Oktober 2025. Di waktu luangnya, sang seniman meluangkan waktu menuturkan gagasannya.
Batavia Ships (2025) by Kei Imazu, photography by Liandro N.I.Siringoringo.
The Sea is Barely Wrinkled terinspirasi dari sejarah Sunda Kelapa; dengan fokus pada tenggelamnya kapal Batavia pada tahun 1629 di lepas pantai Australia Barat. Apa yang mendorong Anda untuk mengeksplorasi tema khusus ini?
“Bangkai kapal Batavia, bagi saya, melambangkan kebangkitan dan kejatuhan kerajaan, dan bagaimana kenangan dapat hilang—dan mungkin ditemukan kembali. Tempat-tempat seperti Sunda Kelapa dulunya merupakan pusat perdagangan yang sibuk, tetapi sekarang perlahan-lahan tenggelam karena penurunan tanah. Saya merasa sangat menarik bagaimana masa lalu dan masa kini saling tumpang tindih di laut. Melalui pertunjukan ini, saya ingin membuat riak-riak sejarah yang halus dan hampir tak terlihat itu—yang masih bergema hingga saat ini—menjadi lebih terlihat.”
Dalam menciptakan The Sea is Barely Wrinkled, apakah Anda membayangkan pengalaman tertentu atau perjalanan emosional bagi para penonton, khususnya yang berkaitan dengan konteks lingkungan dan budaya yang beraneka ragam saat ini?
“Ya, saya berharap orang-orang akan merasa seperti berjalan di lautan waktu. Di mana hal-hal yang terlihat dan tidak terlihat, masa lalu dan masa depan, buatan manusia dan alam—semuanya menyatu menjadi momen saat ini. Saya pikir isu lingkungan sekarang ini bukan hanya tentang apa yang terjadi kini, tetapi itu adalah bagian dari rantai panjang pilihan masa lalu. Jadi saya ingin para penonton merasakan lapisan-lapisan waktu itu dan merasakan diri mereka sendiri di dalam aliran yang lebih besar itu.”
Art Installation of Nyai Roro Kidul (2025); painting of The Sea is Barely Wrinkled (2025) by Kei Imazu, photography by Liandro N.I.Siringoringo.
Penggunaan teknologi untuk menghasilkan aliran 3D dalam lukisan Anda sungguh menakjubkan. Bagaimana pendekatan kreatif ini pertama kali berkembang?
“Itu bermula ketika saya ingin lukisan saya terasa seperti benda-benda melayang di angkasa—bukan hanya diam di permukaan datar. Saya mulai merasa dibatasi oleh 2D, jadi saya mulai menggunakan perangkat lunak 3D untuk membangun pemandangan dan bermain-main dengan pencahayaan. Rasanya seperti mendesain set panggung. Lalu saya melukis di atas struktur itu—melapisinya dengan tekstur, warna, dan perasaan.”
Bagaimana Anda memutuskan elemen mana yang akan dirender secara digital atau dengan tangan?
“Sebagian besar intuitif. Alat digital membantu saya merencanakan ruang dan struktur, tetapi saya pikir ‘kehidupan’ lukisan yang sebenarnya berasal dari ketakteraturan—seperti garis yang goyang atau luntur warna yang mengejutkan—yang hanya terjadi dengan tangan. Jadi saya menggunakan digital untuk membangun kerangka, dan kuas untuk memberinya napas.”
Installation view of Cut Meutia (2018); Teardown the Van Heutsz Monument (2025); by Kei Imazu; photography by Liandro Siringoringo.
Bagaimana Anda memandang peran kecerdasan buatan di dunia saat ini, Apakah Anda melihatnya sebagai alat, tantangan, atau sama sekali di luar nalar?
“Menurut saya AI hebat dalam menghasilkan materi digital—seperti gambar, video, atau teks. AI sangat efisien. Namun, karya saya berakar pada lukisan cat minyak, yang semuanya tentang lapisan fisik—mencampur pigmen dan mineral dengan minyak, dan membangunnya melalui gerakan tangan dari waktu ke waktu. Kehadiran material semacam itu masih sulit ditiru oleh AI. Jadi untuk saat ini, saya melihatnya lebih sebagai alat yang mungkin saya gunakan pada tahap awal—untuk penelitian atau curah pendapat. Malah, sekali waktu saya pernah mencobanya. Karena saya biasanya membuat sketsa digital sebelum melukis, saya meminta AI untuk membuat gambar dari sebuah foto dengan ‘gaya Kei Imazu’. Namun hasilnya sangat biasa saja. Bahkan, AI memberi tahu saya bahwa ia tidak dapat membuat gambar tersebut karena masalah hak cipta—yang agak lucu, karena saya adalah Kei Imazu.”
Apakah ada warna, tekstur, atau bentuk tertentu yang terus Anda gunakan dalam karya Anda?
“Saya cenderung kembali ke warna biru, merah muda, cokelat, dan putih mutiara dengan semacam kilau seperti kerang. Warna favorit saya adalah biru kobalt tua, putih titanium, dan merah marun. Saya suka cara cat minyak memungkinkan Anda melapisi transparansi dengan opasitas. Cat minyak memberikan kedalaman pada permukaan, seperti lukisan yang bernapas.”
Orchid on My Heart (2018); photography by Ayu Novalia.
Sejak pindah ke Indonesia pada tahun 2018, bagaimana praktik artistik Anda berkembang?
“Sejak pindah ke Indonesia, seluruh pemahaman saya tentang waktu benar-benar berubah. Di Jepang, waktu sering kali terasa sangat bersih dan linier—tetapi di sini, lebih seperti masa lalu dan masa kini, mitos dan kenyataan, semuanya ada berdampingan. Perasaan itu berdampak besar pada karya saya. Akhir-akhir ini, saya khususnya tertarik pada tema-tema di mana garis waktu dan ruang yang berbeda saling tumpang tindih—seperti sejarah dan mitologi, atau isu-isu sosial terkini yang berlapis dengan cerita-cerita lama.”
Di pameran ini, selain karya baru, Anda turut membawa karya lama. Adakah satu karya tertentu yang memiliki makna pribadi bagi Anda?
“Karya berjudul Orchid on My Heart. Sebenarnya saya membuat karya tersebut pada tahun 2018, saat saya pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan keluarga pasangan saya, Bagus Pandega, sebelum kami menikah. Saya memberikan kepada keluarganya sebagai hadiah, dan saya menulis semua nama mereka di bagian belakang kanvas. Anggrek adalah bunga simbolis di Indonesia, dan melukisnya adalah cara saya mengekspresikan niat yang mendalam—untuk mengakarkan hidup saya di tempat ini.”

Korakrit Arunanondchai Mengontemplasi Memori Dalam 'Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen'