18 September 2025
Kei Imazu Memaknai 'Power' dan Posibilitas Lewat Guratan Seni

Kei Imazu di depan karya 'Mermaid' (photo DOC. ELLE Indonesia)
Ada dua hal yang berkonotasi erat dalam karya seni Kei Imazu: tradisi merupa klasik dan dentuman digitalisasi. Keduanya bersinergi dalam lanskap surealis, digurat sapuan cat minyak berwarna-warna cerah dengan berlandaskan proses visualisasi 3D berbasis teknologi perangkat lunak. Melampaui perpaduan magis itu, di atas kanvas Imazu juga terbentang jalinan narasi. Sebuah cerita meliputi jejak sejarah yang kerap bersinggungan dengan mitologi. Terbingkai lewat rangkaian fragmen visual—layaknya potongan puzzle—yang disusun ulang untuk menampilkan nostalgia kehidupan dalam alur naratif baru.
Di pandangan perempuan kelahiran Yamaguchi, Jepang, tahun 1980, kemampuan untuk menarasikan kembali hal-hal yang terabaikan merupakan suatu privilese bagi seorang seniman, sekaligus bentuk power. Imazu memulai penelusuran gairah artistiknya dengan pemahaman atas disiplin seni rupa yang menghargai teknik serta ketekunan. Seiring waktu, proses kreatifnya berkembang ke arah garis kontemporer. Seniman lulusan Tama Art University ini kini berkreasi layaknya seorang arkeolog. Estetikanya menggali cerita dari berbagai tempat, lewat pengumpulan potongan gambar majalah, buku, arsip daring, hingga foto-foto personal.
Sejak pindah domisili ke Bandung, Indonesia, pada 2018, arah berkarya Imazu kian mengalami pergeseran yang signifikan. Pertanyaan-pertanyaan tentang ekologi, jejak kolonialisme, dan kepercayaan lokal memperkaya konteks visualnya secara mendalam. Lukisannya tidak menawan mata melalui keindahan semata, melainkan narasi terbuka di mana Imazu mengundang para pemandangnya ke dalam ruang dialog yang menyentuh berbagai ide pemikiran.
Karya Imazu layaknya sebuah jendela masa lalu yang terhubung dengan pemahaman masa kini, sekaligus bayangan akan rupa masa depan. Berdiri memandanginya, adalah sebuah momen kontemplasi atas garis waktu kehidupan.
Gelaran ekshibisi Tanah Air di Tokyo Opera City Art Gallery pada 2025.
Kei, karya seni Anda cenderung berakar pada sejarah dan mitologi. Apa yang pertama kali memantik pendekatan artistik ini?
“Bermula ketika saya mendalami seni klasik dan modern di bangku universitas. Di sana, saya mulai menyadari adanya pergeseran nilai dalam seni modern yang lebih menekankan perspektif serta ekspresi personal sebagai inti penciptaan—bukan lagi semata keindahan bentuk. Transisi ini sangat menarik. Saya selalu memandang seni sebagai tindakan melihat di luar kasatmata; sehingga saya kerap meninjau kembali sejarah yang tergerus zaman, mitologi tak terbicarakan, dan sosok terpinggirkan. Serangkaian fragmen yang menyimpan potongan substansial yang membentuk masa kini. Saya harap, dengan memanifestasikannya kembali melalui cara saya sendiri, dapat menggugah perspektif berbeda serta memperluas cara kita—atau setidaknya saya pribadi—dalam memahami dunia. Selain itu, saya menemukan pendekatan ini memungkinkan saya untuk terhubung kembali dengan tempat dan leluhur. Kehadiran rasa itulah yang senantiasa saya gurat dalam berkarya, bukan sekadar bentuk atau komposisi.”
Bagaimana proses kreatif Anda dalam menentukan narasi tematik?
“Saya mengumpulkan fragmen dari teks kuno, arsip kesejarahan, peta, dan menggali cerita lisan lewat obrolan bersama orang-orang di sekitar tempat tinggal saya. Biasanya ide tertentu akan bermunculan hingga secara alami membentuk tema tertentu. Atau, saya juga cenderung mengikuti pertanyaan-pertanyaan substansial yang terasa paling relevan bagi saya saat itu.”
Ceritakan histori dalam karya Mermaid untuk cover edisi spesial ulang tahun ELLE Indonesia ke-17.
“Pada 1716, Samuel Fallours—seniman dalam barisan serdadu VOC yang tengah bertugas di Ambon, Maluku—menggambar siren dengan sosok menyerupai perempuan Ambon. Lukisannya dibawa ke tanah Eropa, dan memicu perdebatan terkait mitologi duyung. Lalu, sekitar tahun 1724, karya Fallours mendapat interpretasi ulang dari Benoît de Maillet, yang membingkai eksotisme sang duyung dalam estetika keeropaan. Selain kedua figur tersebut, narasi lukisan ini turut terilhami oleh patung putri duyung legendaris di Kopenhagen, yang telah berulang kali dipugar akibat aksi vandalisme masyarakat setempat. Lewat referensi berlapis ini, saya ingin mengundang setiap orang yang memandangnya merenungkan bagaimana sosok putri duyung telah lama menjadi alegori bersifat politis mencakup visibilitas, transformasi identitas, serta proyeksi kekuasaan.”
Bagaimana Anda mengonotasikan Mermaid dengan tema ELLE: The Art of Power and Possibility?
"Ketika mendengar tema tersebut, yang terlintas pertama kali di benak saya adalah kekuatan imajinasi yang muncul dari trauma atau penghapusan. Figur Mermaid mengeksplorasi bagaimana tubuh perempuan divisualisasikan, diberi narasi, dan ditafsirkan ulang sepanjang zaman. Dalam konteks Mermaid, saya tidak melihat power tentang dominasi, melainkan sebagai kapasitas untuk bertransformasi dan bertahan. Ketika sesuatu yang pernah terhapus kembali muncul, tak jarang lahir narasi baru—yang mana bagi saya, gagasan tersebut erat kaitannya dengan kemungkinan: bahwa masa depan bisa kita tuliskan secara berbeda. Kemampuan menarasikan kembali hal yang terabaikan itu pun merupakan bentuk power. Selain itu, figur ini sekaligus lambang harapan pribadi kepada putra saya yang mewarisi budaya Jepang dan Indonesia, agar ia hidup dengan kuat di dunia yang mungkin tak selalu paham bagaimana mendefinisikan figur multiidentitas—seperti halnya putri duyung.”
Nautilus Goblet, 2022.
Anda kerap kali mengangkat sosok mitologi perempuan dalam berkarya. Apa landasan kreativitas Anda?
“Buat saya, sejatinya, sosok mitologis bukan hanya lakon cerita rakyat, tetapi juga pembawa ingatan kolektif serta pengetahuan kosmologis. Mereka mewujudkan kehadiran yang kuat atas simbol perlawanan, ketahanan, kesuburan, dan ikatan yang mengakar dengan Bumi.”
Bagaimana Anda memaknai kekuatan perempuan—baik sosok mitologis maupun tokoh dunia nyata—lewat praktik berkesenian?
“Saya tidak pernah memandang perempuan semata sebagai subjek yang perlu direpresentasikan; alih-alih penerjemah kehidupan lintas ruang dan waktu. Kekuatan perempuan terletak pada kemampuan untuk bertransformasi: bertahan, beregenerasi, dan mewariskan kisah-kisah yang melampaui generasi. Dalam praktik seni, saya percaya perempuan memiliki kepekaan unik untuk menciptakan ruang di mana kerentanan dan kekuatan dapat hadir bersamaan; seringkali melalui cara-cara yang menggugah narasi dominan, serta membuka kemungkinan akan imajinasi yang lebih luas.”
Talas and Goddesses, 2023.
Adakah seniman perempuan yang berpengaruh dalam pengembangan kreativitas Anda?
“Salah satunya Artemisia Gentileschi, pelukis Barok abad ke-17. Kepiawaiannya dalam menggurat pencahayaan secara dramatis dan menerjemahkan pengalaman hidup ke dalam lukisannya, meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya. Karyanya menjadi bukti bahwa melukis merupakan bentuk memperjuangkan suara di dunia yang kerap kali mencoba membungkam seseorang.”
Anda melukis dengan proses visualisasi 3D. Apakah praktik itu merupakan cara Anda menciptakan narasi imajiner secara lebih luas?
“Semula saya hanya berupaya mencari kebaruan dari aturan lukisan 2 dimensi. Dalam pencarian itu, saya mulai membayangkan bagaimana jika lukisan saya tampak selayaknya benda-benda melayang. Ide tersebut yang mengantarkan saya mengeksplorasi teknologi software; rasanya seperti mendesain set panggung! Kini, saya memanfaatkan software untuk membantu membentuk komputasi rangka di tahap awal melukis. Hasil sketsa kemudian saya pindahkan ke kanvas, di mana saya menumpahkan napas kehidupan yang sesungguhnya menggunakan cat minyak.”
Kecerdasan teknologi menuai kontroversi dalam dunia seni. Bagaimana Anda menilai dampak pemanfaatannya bagi nilai sebuah karya?
“Teknologi telah menjadi alat penting, di saat yang sama perannya menajamkan pertanyaan akan apa artinya menjadi manusia. Bagi saya, dualisme ini—antara apa yang dihasilkan mesin dan buatan tangan—menciptakan ruang di mana bentuk-bentuk ekspresi baru pun bisa muncul. Kendati demikian, perihal ini turut menjadi pengingat bahwa ketaksempurnaan, intuisi, dan kontradiksi adalah apa yang membuat seni bernilai di zaman otomatisasi.”
Instalasi Long Term Memory dalam pameran tahun 2019 di Mori Art Museum.
Sejak tahun 2018, Anda pindah hidup dan berkarya di Bandung, Indonesia. Bagaimana Indonesia memperkaya narasi artistik Anda?
“Negara ini benar-benar menata ulang pemahaman saya tentang waktu. Saya menemukan realitas masa lalu dan masa kini tumpang tindih, kesosialan berlapis dengan beragam kepercayaan masyarakatnya. Hidup dikelilingi oleh narasi yang berlapis-lapis, ditambah bentang alamnya yang begitu luas, menantang saya untuk berpikir melampaui perspektif linear. Praktik berkesenian saya terasa berkembang ke arah yang lebih multidimensi.”
Apakah Anda melihat praktik berkesenian sebagai medium bercerita, atau dialog terbuka?
“Lewat seni, saya dapat berdialog menyentuh lapisan-lapisan yang tak selalu bisa dijangkau kata-kata. Saya mengumpulkan berbagai fragmen dan menyusun narasi dari sudut pandang saya sendiri, tetapi saya berusaha membiarkan ide ceritanya tetap terbuka. Dengan begitu, audiens dapat menemukan jalan mereka sendiri melaluinya. Sebab pada akhirnya seni adalah sebuah cara untuk kembali terhubung dengan dunia.”