9 Januari 2025
Korakrit Arunanondchai Mengontemplasi Memori Dalam 'Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen'
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason
styling Gisela Gabriella; artwork 'Garuda' (2024) by Korakrit Arunanondchai; location Museum MACAN
Tradisi kebudayaan dalam suatu kelompok masyarakat adalah sumber inspirasi yang selalu memantik gagasan kreatif Korakrit Arunanondchai sebagai seniman. Dalam praktik keseniannya, laki-laki kelahiran Bangkok, Thailand, tahun 1986 itu juga kerap mengguratkan permainan simbolisme sebagai narasi artistik rangkaian karya multimedia meliputi lukisan, sinematografi, dan instalasi masif. Hasilnya sebuah semesta magis cerminan spiritual, kehidupan, kematian, sejarah, dan peristiwa- peristiwa dalam kehidupan manusia. Salah satu karya yang melejitkan namanya di jagat seni kontemporer yaitu seri instalasi video sinematografi berjudul No History in A Room with Filled with People with Funny Names yang dilatarbelakangi kepercayaan animisme masyarakat Thailand. Jilid keempat atas karya sinematografinya itu mengantarkan sang alumni Rhode Island School of Design (2009) dan Columbia University (2012) itu menerima penghargaan Ammodo Tiger Short Award di ajang International Film Festival Rotterdam pada 2018.
Akhir November 2024, Arunanondchai membawa semestanya ke Jakarta, Indonesia, dalam sebuah pameran tunggal bertajuk Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen. Museum MACAN menjadi tuan rumah penyelenggara acaranya. Di tengah proses mempersiapkan pameran, sang seniman meluangkan waktu berbincang untuk mengungkapkan gagasannya terkait narasi simbolisme, modernisasi ritual mistis, hingga landasan pikiran yang memantik seluruh gagasan kreatifnya.
Sebagaimana sejumlah karya Anda berlandaskan pada eksplorasi tema terkait kelahiran dan kematian, bagaimana kepercayaan Anda akan reinkarnasi?
“It’s interesting! Sekarang, saya pikir saya bisa percaya. Anda tahu...saya tumbuh besar di negara dengan budaya yang mengharapkan masyarakatnya untuk meyakini reinkarnasi. Dan untuk waktu yang sangat lama, saya menolak percaya pada dogma tersebut. Kepercayaan saya perihal gagasan-gagasan itu—seperti reinkarnasi—berkembang lebih baik setelah dewasa, ketimbang kala remaja dahulu.”
Mengapa Anda sempat merasa antipati?
“Secara budaya, Thailand adalah negara yang menganut agama Buddha, namun juga kuat berpandangan animisme. Di sisi lain, bila merunut sejarah, saya merasa bahwasanya ide tentang reinkarnasi (atau pelbagai hal yang terkait) berkonotasi pada kapitalisme. Ada sejumlah ajaran atau nilai yang tidak masuk dalam nalar saya, yang membuat penerapan pandangan tersebut hampir menjadi selayaknya propaganda di sini (Thailand). Misalnya pemahaman akan poin karma—di mana ada kepercayaan bilamana semakin banyak mengumpulkan poin karma, semakin makmur dan sejahtera Anda di kehidupan berikutnya. Jangan salah paham, it’s good; tetapi ketika kita hidup berorientasi pada ‘kehidupan berikutnya’, hal itu dapat meniadakan makna kehidupan masa kini. Sebab pemahaman itu pun membuat Anda (baca: saya) melalui pertumbuhan dengan perasaan sangat ditekan oleh gagasan-gagasan perihal kehidupan, kelahiran kembali, terlebih lagi karma.”
Lalu apa yang kemudian mengembangkan kepercayaan Anda?
“Sebenarnya ketertarikan untuk mencari tahu lebih banyak terkait kepercayaan itu tumbuh organis seiring berkecimpung di dunia seni. Saya menemukan bahwa seni mampu memberikan kita ruang untuk membentuk hubungan dengan pelbagai hal yang sulit untuk dibicarakan, terasa menakutkan, sampai yang membuat Anda tertekan. Sekarang, sebagai orang dewasa, saya merasa mulai bisa percaya akan gagasan tersebut— namun dengan cara saya sendiri. Maka, ketika pertama kali mulai berkesenian, saya merasa bahwa ide untuk mengeksplorasi atau mendefinisikan kembali konsep reinkarnasi itu sangatlah menarik.”
It’s interesting, terlebih dengan praktik berkesenian Anda yang kerap berbicara lewat simbolisme. Saat mencipta karya, apakah Anda memiliki spesifikasi simbol—yang menurut Anda—kuat berdampak dalam menyampaikan pemikiran artistik Anda?
“Saya mulai mengeksplorasi simbolisme sekitar 10 tahun silam. Garuda dan naga adalah—barangkali—salah dua jenis simbol yang menarik perhatian saya di periode awal. Semula, ketertarikan saya berangkat dari keinginan untuk menyelidiki ‘peran’ makhluk tersebut—khususnya naga— yang ditampilkan dalam konteks budaya masyarakat negara saya. Dalam penyelidikan itu, saya menemukan bagaimana makhluk tu dipandang secara berbeda di kebudayaan tiap-tiap daerah, pun bahkan berbeda pula di tiap-tiap negara. Menarik untuk memahami mengapa orang-orang dapat mengembangkan perasaan yang begitu kuat hingga menjadi kepercayaan kolektif, dan berkembang menjadi realitas fisik, atas makhluk atau simbol yang sama, yang sebenarnya terdapat di mana-mana.”
Bagaimana eksplorasi Anda terhadap makhluk bersayap untuk pameran di Museum Macan?
“Ekshibisi di Museum Macan Jakarta adalah pertunjukan yang secara istimewa saya rancang dalam upaya memahami kedekatan budaya antara Thailand dan Indonesia, dari segi geografis, kebudayaan, serta khususnya simbol-simbol serupa. Salah satunya Garuda, sebagai wujud perlambangan pemerintahan atau negara.”
Apakah harus selalu makhluk bersayap?
“Jika terkait simbolisme, orientasi saya kerap mengacu pada hubungan antara bumi dan langit. Misal salah satunya konsep siklus kehidupan burung phoenix, yang hidup mengangkasa kemudian kembali ke tanah usai membakar dirinya dan terlahir kembali untuk hidup di langit. Namun semakin mendalami simbolisme makhluk bersayap di berbagai kebudayaan negara-negara di dunia, ketertarikan saya berkembang hingga menjadi tema secara organis. Saya menyukai bagaimana makhluk-makhluk tersebut menggenggam kekuatan yang mampu menghubungkan dunia. Bahkan di dalam pemahaman tertentu, konon mata hewan selayaknya portal untuk terhubung dengan kekuatan kosmos yang lebih besar (baca: Keilahian).”
Karya-karya instalasi multimedia seperti Songs for Living dan No History in A Room with Filled with People with Funny Names berangkat dari eksplorasi Anda terkait konsep mitos dan ritual. Bagaimana Anda melihat fungsi penerapan pendekatan tersebut dalam masyarakat kontemporer?
“Ide konsep kedua karya tersebut dilatarbelakangi ritual Ghost Cinema (pertunjukan film luar ruangan yang dilakukan oleh para biksu sebagai penghiburan bagi para arwah) yang berkembang di wilayah bagian timur laut Thailand—ketika itu saya tengah melakukan penjelajahan ‘meneliti’ simbolisasi naga. Praktik itu berkembang menjadi urban legend yang begitu populer hingga orang berbondong-bondong datang berkunjung ingin merasakan pengalaman langsung menonton film dengan arwah—tak jarang sebagian orang yang lain datang dengan membawa ‘gagasan kepentingan kapitalisme’ tertentu oleh karena terdorong kepercayaan energi keramatnya. Tradisi mistis seperti ini bukanlah hal asing; setiap masyarakat negara di dunia memiliki tradisinya sendiri-sendiri. Di atas segalanya, praktik tradisi semacam itu selalu menarik untuk diolah menjadi sebuah karya dengan medium berbasis waktu, seperti video, film, atau seni pertunjukan. Bagaimana kemudian membuat seni pertunjukan menjadi sebuah pengalaman ritual? Sama halnya praktik tradisi yang berkembang dalam kebudayaan, cukup dengan kehadiran manusia.”
Dengan kata lain, audiens turut menjadi medium atas karya Anda?
“In a way, betul, dalam pertunjukan dua karya tersebut khususnya. Layar sebagai sumber ritual yang mempertemukan sosok-sosok spirit (dalam film atau video) dengan tubuh-tubuh manusia, dan menghubungkan emosi mereka. Inilah alasan ekshibisinya kemudian diberi judul Sing Dance Cry Breathe | as their world collides on to the screen. Tetapi, saya pikir audiens akan selalu menjadi bagian dari sebuah karya, apa pun perannya. Ada semacam perasaan atau kesadaran bahwa Anda seakan-akan terlibat dalam sebuah perjalanan emosional.”
Karya instalasi Anda digemari oleh karena sifatnya yang multisensoris dan memberikan pengalaman immersive bagi audiens. Apakah Anda mendesain karya Anda dengan mempertimbangkan interaksi tertentu?
“Yeah, penting buat saya untuk seni mampu menciptakan interaksi yang menghubungkan perasaan dan emosional. Dalam mewujudkannya, saya banyak mengeksplorasi kekuatan elemen pencahayaan dan suara seperti musik setiap kali merancang pameran.”
Anda lahir dan tumbuh besar di Thailand, kemudian pindah ke Amerika Serikat untuk mendalami pengetahuan Anda terkait seni. Bagaimana latar belakang kehidupan yang beragam membentuk suara artistik Anda?
“Di masa lalu, delapan atau sepuluh tahun silam, arah berkarya saya adalah untuk mencipta karya yang mudah diakses semua orang. You know like, saya merasakan keharusan untuk selalu berkarya dengan makna berlapis-lapis agar setiap orang—apa pun latar belakang budayanya—mudah paham dan bisa terhubung. Saya berusaha keras sebisa mungkin tidak ingin mengabaikan audiens. Seiring waktu, orientasi itu berubah. I’m more okay if people do not understand all the parts; tidak melulu harus membuat karya penuh ‘lapisan’. Pameran saya di Museum Macan merupakan proyek yang sedikit berbeda dari ekshibisi-ekshibisi saya terdahulu. Saya tidak mencoba berpikir berlebihan, segalanya adalah tentang pengalaman personal. Tetapi saya yakin setiap orang yang datang dapat menemukan sesuatu yang istimewa. Ini merupakan sebuah perjalanan yang menyuguhkan rupa-rupa kreativitas musikal dan visual, baik yang tampak konkret, menawan di mata, hingga sampai yang mengganggu pandangan. Sebab setelah berkesenian selama 12 tahun, saya mulai berpikir bahwa jika sesuatu disukai dan membuat orang senang di mana-mana, barangkali itu justru bukan hal yang baik.”
Apa maksud Anda?
“Sama halnya seperti ketika menonton film, terkadang film yang paling lama bertahan dalam ingatan bukanlah yang paling Anda nikmati saat menontonnya. Tapi barangkali, itu hanya pikiran saya pribadi. Seiring bertambah usia, sebagai seniman, saya mulai bertanya- tanya apakah karya saya bakal mengalami gentrifikasi. Tentu saja, pada akhirnya, suatu seni memberikan efek penerimaan yang berbeda-beda di mata setiap penontonnya.”
Konon kreativitas dapat lahir dari pemikiran atas sebuah kecemasan.
“Saya tidak akan mengatakan perihal itu sebagai tema dari eksplorasi kreatif saya selanjutnya. Tetapi, saat ini saya tengah mengerjakan karya yang banyak mendorong saya untuk menjelajahi ketakutan pribadi.”
Apa ketakutan terbesar Anda?
“The unknown, hahaha. Ada kegelisahan yang saya rasakan terhadap hal-hal tidak masuk akal yang bertentangan dengan logika. Tapi berkesenian telah membantu saya memahami hal-hal tersebut secara lebih baik.”
Dalam cara tertentu, seni membantu mengalahkan rasa takut Anda.
“Ya. Namun bukan mengalahkan, lebih seperti menjalin kekerabatan yang baik. Buat saya, seni bukanlah tempat untuk mencari jawaban atau solusi, melainkan tempat untuk mengisi kekosongan di antara jawaban dan lebih banyak pertanyaan.”
ICAD 2024 Ungkap Realitas yang Tersembunyi Di Balik Lapisan Keseharian Masyarakat Lewat Eksplorasi Karya 74 Seniman