1 Desember 2025
Saudi Negeri di Mana Waktu Berlari Pelan dan Doa Bergema Panjang
PHOTOGRAPHY BY Saudi Tourism Authority
Ada perjalanan yang memberi kita cerita; ada pula perjalanan yang mengubah cara kita memandang dunia. Saudi, bagi saya, jatuh pada kategori kedua. Sebuah ziarah yang bukan hanya menggugah spiritualitas, tetapi juga membuka lapisan-lapisan sejarah, budaya, dan lanskap purba yang selama ini hanya saya temui lewat buku atau cerita orang lain.
Kerajaan ini adalah tempat tradisi berabad-abad bertemu dengan ambisi modern. Negeri kelahiran Islam, tanah para nabi, sekaligus simpul perdagangan dunia kuno yang membentuk peradaban. Di sinilah iman dan inovasi hidup berdampingan, menghadirkan perpaduan langka antara keaslian, kemewahan, dan keramahan kelas dunia. Dari kesunyian Makkah, kelembutan Madinah, keagungan AlUla, hingga pesona pesisir Jeddah—perjalanan ini seperti membuka pintu-pintu zaman yang berbeda dalam satu tarikan napas.

Dan kini, Saudi sedang memasuki bab baru dalam sejarahnya. Kerajaan yang selama berabad-abad dikenal sebagai pusat spiritual umat Islam ini perlahan menjelma menjadi salah satu destinasi wisata global paling menarik di dunia. Transformasi besar di bawah visi modernnya menghadirkan kota-kota futuristik, festival seni berskala internasional, museum kontemporer, dan hotel-hotel kelas dunia. Semuanya berdampingan dengan situs-situs suci dan warisan kuno yang tak ternilai.
Saudi hari ini adalah tempat di mana ziarah spiritual bertemu petualangan modern; gurun purba berdampingan dengan instalasi seni berskala raksasa; kemegahan arsitektur Nabatean hidup kembali melalui teknologi baru .
Jeddah: Gerbang Pertama menuju Tanah Suci
Perjalanan dimulai saat matahari baru mengintip di balik jendela Bandara Soekarno-Hatta. Penerbangan pagi ke Doha berlanjut menuju Jeddah, kota yang sejak lama dikenal sebagai the Bride of the Red Sea. Di sinilah jutaan peziarah dari seluruh dunia mendarat sebelum menuju Makkah, menjadikannya salah satu bandara dengan arus spiritual paling padat di dunia.
Di atas pesawat menuju Jeddah, saya memasuki fase penting ibadah: miqat. Tidak semua orang familiar dengan istilah ini, padahal ia adalah momen krusial dalam perjalanan umrah. Miqat adalah batas wilayah yang ditetapkan untuk memulai niat dan mengenakan ihram—sebuah “gerbang” spiritual yang menandai bahwa ibadah resmi dimulai. Para jamaah yang melewatinya tanpa berniat ihram dianggap belum memenuhi syarat sah umrah. Karena itu, dalam perjalanan udara, awak kabin biasanya mengumumkan saat pesawat mendekati wilayah miqat, memberi kesempatan bagi jamaah untuk memulai niat. Rasanya seperti menekan tombol “mulai” pada perjalanan batin yang sesungguhnya.
Makkah: Di Mana Segala Napas Menjadi Doa
Perjalanan darat menuju Makkah dimulai pada jam-jam ketika malam terasa sangat lengang. Kota kelahiran Nabi Muhammad SAW ini tidak pernah benar-benar tidur, di sinilah waktu seolah bergerak dengan ritme ibadah. Saya bermalam di Jumeirah Jabal Omar Makkah, salah satu properti termodern di kawasan Haram, tetapi begitu melangkah ke luar pintu hotel, seluruh hiruk pikuk dunia modern seakan meredup. Yang tersisa hanyalah detak langkah para peziarah menuju Kakbah.

Pada pukul 11 malam, bersama rombongan dari Indonesia, saya menunaikan umrah. Ada sesuatu yang mustahil digambarkan dengan kata-kata ketika pertama kali memandang Kakbah: sebuah sensasi hening yang sulit digambarkan. Keramaian tidak terdengar, waktu serasa berhenti. Setiap putaran tawaf terasa seperti menanggalkan satu lapis beban yang selama ini tidak pernah disadari keberadaannya.

Pagi berikutnya membawa kami ke Hira Cultural District, sebuah kawasan baru yang mencoba menjembatani sejarah gua Hira dengan cara yang modern dan kultural. Museum Quran yang kami kunjungi menampilkan manuskrip-manuskrip langka, termasuk salah satu mushaf tertua yang ditemukan di Jazirah Arab. Fakta menarik: beberapa lembaran mushaf kuno menggunakan tinta yang dibuat dari campuran karbon dan getah tanaman gurun.akkah hari itu menghadirkan kombinasi langka: spiritualitas abadi dan kenyamanan modern yang tenang. Kota ini terus tumbuh, tetapi inti maknanya tidak berubah—sebuah tempat di mana jutaan hati pulang setiap tahunnya.
Madinah: Kota Nabi yang Menenangkan Hati
Hari ketiga membawa saya ke Madinah, kota yang sejak abad ke-7 disebut sebagai al-Madinah al-Munawwarah—kota yang bercahaya. Jika Makkah memiliki ritme ibadah yang intens, maka Madinah mengalun perlahan menyambut dengan cara berbeda: lembut, sejuk, dan membuat langkah melambat tanpa dipaksa. Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW mengganti nama kota ini dari Yatsrib menjadi “Madinah”, sebuah kata yang berarti “kota”, menjadikannya kota dengan nama paling sederhana namun makna paling luas.

Tak ada bangunan lain di dunia yang memadukan spiritualitas, sejarah, dan arsitektur modern seperti Masjid Nabawi. Masjid yang dahulu hanyalah ruang sederhana tempat Nabi Muhammad SAW mengajar dan memimpin shalat, kini tumbuh menjadi kompleks monumental yang tetap mempertahankan inti kesederhanaannya. Di Masjid Nabawi, saya merasakan apa yang banyak peziarah gambarkan sebagai ketenangan yang “menetap di dada”. Payung-payung raksasa yang membuka dan menutup mengikuti pergerakan matahari ternyata berjumlah 250 unit—sebuah koreografi arsitektur yang nyaris puitis. Begitu memasuki halaman Nabawi, payung-payung raksasa terbuka mengikuti gerak matahari. Dirancang oleh arsitek Jerman Mahmoud Bodo Rasch, payung ini mampu menaungi lebih dari 100 ribu jamaah. Ketika terbuka, ia menyerupai bunga raksasa gurun; ketika tertutup, mereka membentuk menara-menara putih yang elegan. Di dalam, pilar-pilar marmer putih dengan detail emas 24 karat berdiri anggun.

Lampu gantung berukuran besar dari perunggu dan kristal memantulkan cahaya lembut, menjadikan ruang masjid terasa seperti dunia di antara dunia—terang tetapi menenangkan. Kubah hijau—the Green Dome—menjadi ikon Nabawi sejak berabad-abad. Di bawahnya terdapat makam Nabi Muhammad SAW, bersama sahabat terdekatnya Abu Bakar dan Umar. Kehadirannya membuat langkah siapa pun yang lewat melambat dengan sendirinya. Di dalam masjid terdapat Rawdah, area kecil yang disebut Nabi sebagai “salah satu taman surga”. Karpet hijau yang membedakannya hanyalah penanda visual; maknanya jauh lebih dalam. Di sinilah doa terasa lebih jujur, lebih dekat, lebih berat tetapi sekaligus lebih ringan. Tidak ada kamera yang bisa menangkap atmosfer Rawdah—ia hanya hidup di dada mereka yang pernah masuk ke dalamnya.


Perjalanan di Madinah berlanjut ke Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun dalam dalam sejarah Islam yang menyajikan harmoni indah antara kesederhanaan spiritual dan keanggunan arsitektur. Dari kejauhan, masjid ini dikenali melalui kubah-kubah putihnya yang berkilau lembut di bawah cahaya matahari Madinah—seperti mutiara-mutiara yang tertata rapi di padang pasir. Arsitekturnya mengikuti gaya Islam klasik yang bersih dan tenang: lengkungan-lengkungan geometris, pilar kokoh, dan permainan cahaya yang memantul dari marmer putih menciptakan suasana yang sejuk bahkan pada siang hari. Renovasi modernnya menjaga desain yang bersahaja namun megah, menjadikan Quba tempat yang terasa intim sekaligus sakral.
Berada di dalamnya, Anda merasakan seakan ruangnya mengundang untuk berhenti sejenak. Shalat dua rakaat di Masjid Quba disebut setara dengan pahala satu umrah. Namun bahkan tanpa keutamaan itu, Quba tetap menenangkan: tempat di mana sejarah, spiritualitas, dan arsitektur berjumpa dalam sunyi yang indah.
AlUla: Gurun Purba, Keheningan, dan Keajaiban Manusia
Dari Madinah, perjalanan tiga setengah jam menembus gurun musim dingin mengantar saya ke AlUla, sebuah lanskap yang terasa seperti perjalanan ke masa lampau ribuan tahun. Hamparan batu pasir raksasa, cahaya senja yang membelah langit, dan sunyi gurun yang tebal membuat AlUla seperti dunia yang terpisah dari Saudi modern. Gurun di sini bukan lautan pasir yang monoton; ia berubah-ubah: datar, berbatu, memanjang, lalu tiba-tiba bangkit menjadi gunung-gunung basalt hitam sebelum kembali sunyi. Di beberapa titik, saya merasa seolah sedang bergerak di antaradua zaman, antara masa lalu yang jauh dan masa depan yang belum bernama.

Jika Makkah adalah tempat untuk kembali, maka AlUla adalah tempat untuk menemukan. Menginap di Habitas AlUla—sebuah resor yang membaur begitu halus dengan batu-batu pasir raksasa di sekelilingnya, memadukan arsitektur ramah lingkungan dan kemewahan subtil, membuat malam rasanya ajaib seperti tinggal di galeri seni alam terbesar di dunia. Dinding-dindingnya seolah tumbuh dari batuan ngarai itu sendiri, dan langit malam dipenuhi bintang yang tampak lebih dekat dari biasanya. Cahaya lampu-lampu resor memantul lembut pada permukaan tebing, menciptakan nuansa yang nyaris magis.
Hegra, Dadan, dan Jabal Ikmah: Museum Peradaban Terbuka Arabia
AlUla menyambut dengan udara gurun yang dingin dan langit biru tak berawan—jenis pagi yang membuat setiap batu seperti menyimpan cerita. Di situlah perjalanan membawa saya ke Hegra, salah satu situs warisan dunia UNESCO yang paling memukau dan, ironisnya, paling sunyi.
Hegra: Keheningan Raksasa yang Dipahat oleh Peradaban Nabataean
Berdiri di hadapan Qasr al-Farid—makam tunggal terbesar dan paling terkenal di Hegra—rasanya ada sebuah keheningan yang hampir sakral. Fasad batu pasir berukir menjulang setinggi bangunan lima lantai, namun yang paling memesona justru kesunyiannya. Tidak ada kerumunan besar, tidak ada hiruk pikuk—hanya angin gurun yang menyapu permukaannya yang halus, seolah mengingatkan bahwa peradaban besar pun suatu hari akan larut menjadi pasir.

Bangsa Nabataean, para arsitek di balik Petra di Yordania, adalah para ahli dalam memahat batu. Di Hegra, mereka meninggalkan lebih dari 100 makam monumental, banyak yang didekorasi dengan simbol perlindungan seperti mata Horus atau elang. Tidak hanya menunjukkan kecanggihan teknik, setiap ukiran adalah pengingat bagaimana peradaban Arab kuno menghubungkan spiritualitas, kekuasaan, dan keterampilan seni. Tur pemandu menceritakan bagaimana Hegra dahulu menjadi pusat perdagangan penting, tempat karavan yang membawa kemenyan dan rempah berhenti sebelum melanjutkan perjalanan ke Mediterania. Kini, keheningannya justru menjadi daya tarik—seperti mengunjungi Petra seribu tahun lebih muda, namun tanpa keramaian.
Dadan: Kota Kerajaan yang Hilang di Tengah Gurun
Perjalanan berlanjut ke Dadan, pusat pemerintahan Kerajaan Dadan dan Lihyan yang pernah berjaya antara abad ke-6 dan ke-2 SM. Jika Hegra adalah mahakarya Nabataean, maka
Dadan adalah arsip sejarah Arabia kuno—tempat para raja, pedagang, dan pendeta membangun kota yang megah di jalur perdagangan yang sama. Yang paling menarik adalah Makam Singa—dua relief singa yang dipahat di dinding batu, simbol kekuasaan dan perlindungan kerajaan. Di sinilah, menurut para arkeolog, para bangsawan Dadan dimakamkan. Tur Land Rover membawa saya mendekat ke situs ini, dan rasanya hampir mustahil membayangkan bagaimana para pengukir kuno bisa membuat karya sepresisi ini tanpa teknologi modern.
Belakangan, Dadan menjadi fokus penelitian arkeologi dunia. Banyak temuan baru bermunculan: sistem irigasi canggih, struktur administratif, hingga artefak yang memberi petunjuk hubungan kota ini dengan Mesir, Levant, dan Mesopotamia. Kita tak lagi hanya melihat batu, melainkan potongan kecil dari peradaban yang pernah menguasai jalur perdagangan gurun.

Jabal Ikmah: Perpustakaan Terbuka Arab Kuno
Jika Dadan adalah ibu kota kuno, maka Jabal Ikmah adalah perpustakaannya. Di tebing-tebing batu yang menjulang ini terdapat ratusan inskripsi kuno dalam berbagai bahasa—Dadanitic, Thamudic, Nabataean, hingga awal tulisan Arab. Tempat ini sering disebut sebagai “Perpustakaan Terbuka Arabia”, sebuah arsip raksasa yang tidak diikat oleh dinding, melainkan dibiarkan terbuka bagi angin gurun selama ribuan tahun.
Prasasti-prasasti ini menceritakan segalanya: doa-doa, perjanjian, catatan perjalanan, hingga hukum perdagangan. Sebuah bukti bahwa kawasan ini dulu merupakan pusat intelektual selain pusat ekonomi. Saat berdiri di antara batu-batu raksasa itu, saya merasa seolah suara masa lalu berbisik pada gurun. Ada sesuatu tentang Jabal Ikmah yang tidak bisa ditangkap kamera: rasa kecil di hadapan waktu, tetapi juga rasa terhubung pada sejarah manusia yang luas.
Mengunjungi Hegra, Dadan, dan Jabal Ikmah bukan hanya perjalanan arkeologis, melainkan perjalanan eksistensial. Tempat-tempat ini mengingatkan bahwa peradaban datang dan pergi, namun cerita-ceritanya tetap tertinggal di batu, menunggu seseorang cukup sabar untuk membacanya.

Elephant Rock: Patung Raksasa yang Diciptakan oleh Waktu
Tidak banyak tempat di dunia yang membuat kita berhenti dan bertanya: bagaimana mungkin alam bekerja seartistik ini? Elephant Rock—atau Jabal AlFil dalam bahasa Arab—adalah salah satu dari keajaiban itu. Menjulang setinggi 52 meter, batuan raksasa ini terbentuk oleh jutaan tahun erosi angin gurun dan hujan yang jarang tetapi kuat, memahatnya hingga menyerupai siluet gajah yang berdiri tenang, belalainya menjulur ke pasir keemasan.
Secara geologis, AlUla berada di atas salah satu lanskap batu pasir paling kuno di Semenanjung Arabia. Pola lapisan, warna karamel-merahnya, hingga tekstur batu yang halus adalah jejak dari gurun purba yang pernah menjadi dasar lautan dangkal jutaan tahun lalu. Elephant Rock adalah bukti bagaimana gurun bukanlah ruang kosong, melainkan studio seni raksasa yang bekerja dalam diam.
Namun daya tariknya lebih dari sekadar bentuk. Area sekitarnya kini menjadi oasis sosial: kursi-kursi outdoor, api unggun kecil, kafe, dan tempat duduk terbuka yang membuat pengunjung bisa menikmati pemandangan monumental ini saat matahari terbenam. Saat langit berubah dari emas ke ungu, Elephant Rock tampak seperti makhluk purba yang terbangun dari tidur panjangnya.

Old Town AlUla: Kota Lumpur Berusia 900 Tahun yang Pernah Menjadi Rumah bagi Para Musafir Jalur Sutra
Malam hari saya menuju Old Town AlUla, sebuah permukiman kuno yang berdenyut kembali setelah restorasi panjang. Kota ini berdiri sejak lebih dari 900 tahun lalu, dibangun dari batu bata lumpur, batu, dan kayu palem—bahan tradisional yang membuatnya sejuk di siang hari dan hangat di malam gurun.
Yang membuat Old Town AlUla begitu menarik bukan hanya arsitekturnya, tetapi struktur kotanya: ratusan rumah berdempetan seperti benteng, saling menyokong untuk menghadapi musim panas yang ekstrem dan angin gurun. Lorong-lorongnya sempit, sengaja dirancang seperti labirin agar penduduk terlindung dari badai pasir sekaligus membuat kota lebih mudah dipertahankan dari serangan musuh.

Pada abad-abad sebelumnya, AlUla merupakan persinggahan penting di Jalur Sutra dan rute kafilah rempah. Pedagang dari Yaman, Suriah, dan Mesir berhenti di sini untuk beristirahat, bertukar barang, atau sekadar mencari perlindungan di balik tembok lumpurnya. Kini jejak masa itu dapat dirasakan melalui rumah-rumah tua dua lantai dengan pintu kayu ukir sederhana, benteng AlUla abad ke-10 yang berdiri di bukit, mengawasi pergerakan kafilah, serta pasar malam yang telah dihidupkan kembali, di mana pedagang lokal menjual rempah, parfum gaharu, kurma, dan kerajinan gurun. Penerangan lampu kuning lembut yang membuat kota tampak seperti adegan dari kitab sejarah. Di Old Town, sejarah terasa dekat: debu, suara langkah kaki di lorong sempit, dan wangi rempah yang menguar dari toko kecil seolah menghidupkan kembali kehidupan berabad-abad lalu. Ini bukan sekadar objek wisata, ini adalah kota yang berhasil berdamai dengan waktu.
Elephant Rock dan Old Town AlUla menghadirkan dua sisi AlUla yang saling melengkapi: alam yang sabar memahat keajaiban, dan manusia yang membangun kehidupan di tengah gurun. Keduanya menunjukkan bahwa AlUla adalah pertemuan antara bumi purba dan peradaban, antara kesunyian gurun dan jejak manusia yang tak pernah benar-benar hilang.
Jeddah: Di Mana Laut Merah Menyentuh Modernitas
Setelah gurun AlUla yang sunyi dan penuh renungan, Jeddah terasa seperti embusan angin baru: hidup, kosmopolitan, dan penuh denyut modern yang bergerak cepat. Kota yang sejak berabad-abad menjadi pelabuhan utama di pesisir Laut Merah ini selalu menjadi tempat pertemuan: pedagang Timur Afrika, musafir Levant, jamaah haji dari Asia, hingga para penjelajah Eropa yang mencari dunia baru. Di Jeddah, keragaman bukan sekadar fakta sejarah, tetapi ritme kehidupan sehari-hari.
Tujuan pertama saya adalah Al Rahma Mosque, masjid ikonik yang tampak seolah mengapung di atas Laut Merah saat air pasang. Dari kejauhan, kubah putihnya seperti mutiara yang diletakkan lembut di permukaan air, sementara suara ombak memecah pantulan cahaya senja. Masjid ini menjadi simbol bagaimana spiritualitas bisa menyatu sempurna dengan lanskap alam: tenang, jernih, dan tak terganggu oleh hiruk pikuk kota yang hanya berjarak beberapa menit.
Kemudian saya menuju Jeddah Yacht Club & Marina, sebuah distrik baru yang menampilkan wajah Saudi yang modern dan penuh ritme hidup. Deretan yacht yang berlabuh, restoran tepi laut, promenade yang rapi, dan arsitektur kontemporer yang menghadap matahari terbenam menjadikan kawasan ini semacam postcard hidup dari transformasi Saudi hari ini. Di sini, saya melihat sisi Kerajaan Saudi yang berbeda: muda, percaya diri, dan siap membuka diri pada dunia—tanpa melepaskan akar budayanya.
Di Jeddah, masa lalu dan masa depan berjalan berdampingan. Dari kota tua Al-Balad dengan rumah coral stone-nya yang berusia ratusan tahun, hingga marina megah yang bercahaya di malam hari, kota ini mengingatkan bahwa evolusi bukanlah penghapusan sejarah, melainkan kelanjutan dari sebuah perjalanan.
Saat pesawat akhirnya lepas landas meninggalkan Jeddah, saya tersadar bahwa perjalanan ini bukan sekadar rangkaian destinasi yang ditandai di peta. Ia adalah mozaik pengalaman. Setiap kota memberi warna yang berbeda, namun semuanya saling menggenapi hingga membentuk satu narasi yang utuh. Makkah mengajarkan bahwa ketundukan tidak pernah membuat kita kecil; justru di sanalah hati menemukan ruang untuk menjadi jujur. Madinah menunjukkan bahwa kedamaian sejati tidak membutuhkan pernyataan—ia cukup hadir, mengalir pelan, dan menetap dalam diri bahkan setelah kita pergi.

AlUla memperlihatkan bagaimana waktu adalah arsitek paling berwibawa: ia memahat gunung, menulis sejarah pada batu, dan meninggalkan kita sebagai saksi kecil di hadapan rentang masa yang nyaris tak terbayangkan. Sementara Jeddah menegaskan bahwa sebuah bangsa dapat melangkah cepat menuju masa depan tanpa kehilangan jejak yang membentuknya—bahwa modernitas dan warisan tidak harus saling meniadakan.
Pada akhirnya, Saudi menjadi perjalanan yang bekerja dalam dua arah: ke luar dan ke dalam. Ia membuka cakrawala—tentang sejarah, tentang lanskap kuno, tentang manusia—namun juga memantulkan kembali sesuatu yang lebih personal. Dalam setiap sudutnya, entah di depan Kakbah yang hitam berkilau atau di bawah tebing merah AlUla yang sunyi, ada ruang untuk berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mendengarkan diri sendiri lebih pelan.

Saudi tidak lagi hanya dikenal sebagai tujuan untuk beribadah, melainkan tengah bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata global dengan pertumbuhan tercepat. Seperti sebuah buku tua yang dibuka kembali, lalu ditulis ulang dengan tinta masa depan. Halamannya berisi sejarah ribuan tahun, tetapi di antara baris-baris purbanya, muncul bab-bab baru: seni kontemporer, festival seni, proyek desain futuristik, hingga kota-kota inovatif seperti AlUla yang dirancang untuk melampaui imajinasi. Namun inti ceritanya sama: sebuah negeri yang membuat kita menengadah lebih lama, baik untuk berdoa maupun untuk terpesona.
Perjalanan ini seolah mengingatkan bahwa ada negeri yang membuat kita merasa dekat dengan langit, namun tetap menjejakkan kaki pada bumi yang kita pijak. Sebuah tempat di mana spiritualitas, sejarah kuno, dan kemewahan modern saling bertaut begitu halus hingga batasnya hampir tak terlihat. Saudi, pada akhirnya, bukan hanya tujuan. Ia adalah jeda. Sebuah pelajaran. Dan keajaiban yang tidak selesai ketika perjalanan berakhir melainkan tetap tinggal, jauh setelah kita kembali pulang.
Langkah Nyata Sudamala Resort Menuju Masa Depan Pariwisata Berkelanjutan lewat Transformasi Energi Tenaga Surya
Daftar Kota-Kota Negara Dunia yang Wajib Masuk Agenda Pelesiran Dekade Ini: Daya Pikat dan Deteriorasi