17 September 2025
Dari Chanel Hingga Bottega Veneta, Inilah Deretan Direktur Kreatif Baru yang Menjadi Sorotan di Fashion Week 2025

Text by Rumaishah Farisi (photo courtesy Instagram @louise_trotter @matthieu_blazy @dior)
Musim ini, dunia mode seakan berdiri di sebuah persimpangan bersejarah. Jalanan New York, London, Milan, dan Paris kembali dipenuhi langkah-langkah terburu-buru para editor, fotografer, hingga penikmat mode dari seluruh dunia. Namun ada sesuatu yang berbeda. Di balik panggung dan hiruk pikuk para tamu undangan, tersimpan sebuah narasi besar: separuh kalender mode dijalankan oleh wajah-wajah baru.
Ada semacam ketegangan yang menggantung di udara. Seperti saat pertama kali memasuki ruang adibusana yang masih menyimpan aroma masa lalu, setiap undangan musim ini membawa rasa penasaran: ke mana arah industri mode setelah begitu banyak kursi direktur kreatif berpindah tangan? Nama-nama besar yang sarat akan warisan seperti Chanel, Dior, Gucci, Balenciaga, Loewe kini berada di bawah arahan baru.
Photo courtesy Chanel
Matthieu Blazy, yang sebelumnya menghidupkan kembali Bottega Veneta, kini duduk di kursi paling sakral: Chanel. Bayangan Coco Chanel, Karl Lagerfeld, hingga Virginie Viard tampak masih menghantui, namun Blazy hadir dengan pesona keberanian yang tenang. Louise Trotter kini melanjutkan jejaknya di Bottega, menghadirkan visi segar untuk rumah mode tersebut.
Photo courtesy Instagram @dior
Di Paris, Jonathan Anderson membawa sensibilitas eksperimentalnya ke Dior. Rumah mode asal Perancis yang selama ini dikenal sebagai simbol feminitas klasik. Sementara itu, Demna Gvasalia, yang selama ini identik dengan ironi dan subkultur, kini justru melangkah ke Gucci, sebuah rumah mode flamboyan yang sarat akan sejarah. Dan di sisi lain, Pierpaolo Piccioli—dengan estetika romantis yang melekat pada Valentino—mengisi tahta kreatif yang ditinggalkan Demna Gvasalia di Balenciaga, menciptakan benturan ide yang membuat publik bertanya-tanya.
Nama-nama lain tidak kalah menarik. Glenn Martens meneruskan jejak kreatifnya di Maison Margiela, Duran Lantink menyuntikkan semangat keberlanjutan ke Jean Paul Gaultier, sementara Jack McCollough dan Lazaro Hernandez membawa udara baru untuk Loewe yang berakar pada tradisi Spanyol. Bahkan rumah mode seperti Carven, Celine, hingga Jil Sander menemukan bahasa baru melalui desainer yang membawa visi yang tak kalah kuat.
Yang membuat musim ini berbeda adalah skala pergeseran itu sendiri. Jarang sekali dunia mode menyaksikan begitu banyak perubahan dalam waktu yang hampir bersamaan. Rasanya seperti menyusuri museum yang baru saja berganti kurator—ruang-ruang yang familiar tetap ada, namun narasi yang dibangun terasa asing sekaligus menggoda. Setiap rumah mode kini menunggu untuk didefinisikan ulang.
Lebih dari sekadar koleksi, yang dipertaruhkan musim ini adalah arah masa depan industri mode. Apakah keberlanjutan akan menjadi bahasa universal? Apakah gender-fluidity dan inklusivitas akan terus diperkuat? Atau justru mode kembali pada romantisme yang sempat hilang?
Fashion week tahun ini bukan hanya tentang busana yang berjalan di atas runway, melainkan juga tentang ide, filosofi, dan identitas. Musim ini adalah panggung eksperimen, di mana wajah-wajah baru mencoba menulis ulang sejarah. Mungkin sebagian akan gagal, sebagian akan mengejutkan, dan sebagian lain akan mengubah arah mode selamanya.