FASHION

8 Maret 2023

Gemerlap Mode dan Perempuan-Perempuan Perawat Keberlangsungan


Gemerlap Mode dan Perempuan-Perempuan Perawat Keberlangsungan

Annabel North-Lewis photography by Ifan Hartanto for ELLE Indonesia March 2023 styling Ismelya Muntu; text by Indah Ariani

Di balik keindahan dunia mode yang tampaknya dipersembahkan bagi perempuan, masih terdapat dominasi laki-laki dalam pengambilan keputusan. Namun perempuan berdiri kukuh dan konsisten merawat keberlangsungan ide dan perkembangannya.


Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, sandang atau pakaian telah menjadi sebuah produk budaya yang melekat dan tumbuh seiring perkembangan peradaban. Melampaui berbagai zaman, pakaian juga mengalami evolusi berkelanjutan yang menyesuaikan dengan berbagai kondisi alam yang dihadapi manusia dari berbagai negara. Pakaian berevolusi tak hanya dalam hal material, namun juga fungsi dan gaya. Dalam perjalanannya, setelah fungsinya sebagai kebutuhan dasar terlampaui, fungsi pakaian berekspansi, merambah ke ranah gaya hidup dan menjadi salah satu simbol kelas dan status. Dalam konteks pakaian sebagai simbol kelas dan status inilah, mode berkembang, melahirkan sebuah ekosistem industri dengan modal, pasar dan jumlah pelaku yang sangat masif.

Menariknya, kendati pakaian merupakan kebutuhan dasar manusia, perempuan maupun laki-laki, dan mode busana laki-laki juga berkembang seiring zaman, industri mode kerap dianggap lebih identik dengan perempuan. Pakaian laki-laki tak mengambil porsi sebanyak dan seutama busana perempuan di ranah mode. Seluruh perkembangan mode seakan dipersembahkan bagi perempuan, meski pelaku bisnis mode—layaknya bidang bisnis lain—masih didominasi kaum laki-laki, mulai dari perancang busana, pemilik perusahaan tekstil dan garmen, juga para eksekutif di perusahaan-perusahaan ritel serta rumah mode.

Ketimpangan peran perempuan dalam dunia mode ini pernah disinggung oleh Pamela N. Danziger, seorang penulis, pembicara dan peneliti pasar yang berfokus pada pemikiran dan perilaku konsumen yang menjadi kontributor senior di situs bisnis Forbes. Dalam tulisan bertajuk Would More Women in Fashion Power Positions Mean More Female Customers? yang dilansir pada Februari 2019 itu, Danziger mengatakan bahwa status outsider atau orang luar yang melekat pada perempuan di ranah fashion, sebenarnya memberi kendala tertentu bagi dunia mode perempuan. Menurutnya, mengutip sebuah survei yang dilansir Business of Fashion (BoF), hanya 40% merek pakaian perempuan yang melibatkan perempuan sebagai perancangnya, meski populasi perempuan berjumlah nyaris setengah populasi manusia di bumi, berbelanja pakaian tiga kali lebih banyak dari laki-laki dan secara virtual, setidaknya, mengisi 100% akun konsumen di segmen mode perempuan.

Dikatakan Danziger, di dunia mode, perempuan cenderung dilibatkan untuk melakukan peran-peran pendukung ketimbang peran utama. “Perempuan dilibatkan dalam kerja-kerja yang secara tradisional dianggap ‘ramah perempuan’ seperti marketing, kehumasan, jurnalisme, dan belanja retail, namun kekuasaan sesungguhnya dalam kelangsungan bisnis umumnya berada di tangan para laki-laki,” tulisnya. Ia juga menyebut bahwa hanya sekitar 25% perempuan yang berada pada posisi dewan atau eksekutif di perusahaan mode yang sahamnya telah dipasarkan kepada publik.

Models Amanda Green (Persona Management) & Daniel (2 ICONS) photography by Ikmal Awfar for ELLE Indonesia February 2023; styling Ismelya Muntu.

KACAMATA LAKI-LAKI PENYEBAB KETIMPANGAN

Berbeda dengan pendapat Denziger dan Wheeler, antropolog Wieke Dwiharti mengatakan secara umum maskulinitas tidak ada kaitan langsung dalam dunia fashion yang identik dengan perempuan. “Dunia mode adalah dunia yang sangat melibatkan rasa, selera dan kreativitas. Jika diperhatikan dalam dunia mode memang banyak laki-laki yang berkecimpung di dalamnya, mulai dari desainer, pengarah gaya dan sebagainya. Tapi meski mereka laki-laki, kebanyakan memiliki sisi feminin yang lebih besar sehingga lebih peka dalam soal rasa, selera dan kreativitas,” Wieke mengungkapkan. Para pelaku mode laki-laki, menurut Wieke, memiliki kelebihan dalam melihat kebutuhan penampilan perempuan dari sudut pandang laki-laki. “Ini juga yang membuat mereka bisa menghasilkan produk-produk fashion yang oleh kaum perempuan dianggap memiliki nilai yang lebih, dan di saat bersamaan juga memenuhi konsep keindahan dari kacamata laki-laki,” kata Wieke.

Penggunaan “kacamata” laki-laki ini, menurut penulis dan pemerhati mode, Ninuk Mardiana Pambudy, merupakan salah satu sumber ketimpangan dalam desain yang kerap terjadi dalam dunia mode. “Ketimpangan tersebut dalam arti desain sering sekali dibuat menurut selera dan kacamata laki-laki yang belum tentu nyaman untuk dikenakan. Sering yang dijadikan contoh adalah sepatu dengan tumit tinggi stiletto, korset ketat, mengidolakan bentuk tubuh ekstra kurus yang membuat pakaian tampak bagus. tetapi mayoritas perempuan di dunia nyata dan normal berukuran 12-14 (UK),” kata Ninuk. Ia tak menampik fakta bahwa perempuan dalam dunia mode umumnya berada dalam posisi konsumen, sementara produsennya adalah laki-laki. “Kalaupun perempuan sebagai desainer, pemodalnya biasanya laki-laki. Namun tentu saja dalam praktiknya, dikotomi itu tidak hitam dan putih. Beberapa nama juga mengendalikan bisnis selain sebagai desainer,” Ninuk menambahkan.

Ia juga melihat, relasi gender dalam dunia mode memiliki komplikasi lebih rumit ketimbang bidang lain. “Gender dalam fashion tidak biner laki-laki dan perempuan. Dalam bisnis maupun dalam desain. Seorang teman saya, doktor dalam bahasa yang lama tinggal di Amerika Serikat, pernah mengatakan, para orang dengan gender non biner yang jumlah lebih sedikit dari laki-laki dan perempuan, memiliki pengalaman hidup berbeda sehingga memandang kehidupan dengan kacamata berbeda pula. Itu yang tercermin pula dalam desain mereka. yang tampak “indah” “bagus” “terkini” “baru” dari sisi gender yang mayoritas,” Ninuk menjelaskan. 

Itu sebabnya, ia menganggap bahwa penggunaan istilah maskulin bagi dunia mode bisa dianggap kurang tepat. Menurutnya, sistem dalam dunia mode yang sangat erat dengan patriarki, yaitu dominan nilai-nilai yang berhubungan dengan laki-laki. “Sebagai latar belakang, dunia fashion sangat kompetitif, mengejar keuntungan sebesar-besarnya, yang identik dengan dunia laki-laki. Perempuan lebih dekat dengan nilai-nilai pertemanan, inklusif. Tetapi tentu saja tidak semua laki-laki seperti itu di dunia fashion, juga tidak semua perempuan bersifat inklusif,” Ninuk mengungkapkan.

Models Amanda Green (Persona Management) & Daniel (2 ICONS) photography by Ikmal Awfar for ELLE Indonesia February 2023; styling Ismelya Muntu.

Namun Wieke, dengan mengambil contoh dalam budaya pembatikan, melihat relasi gender dalam dunia mode khususnya di Indonesia memiliki pembagian kerja yang setara meski masih berbasis pada konsep tradisional di mana perempuan melakukan pekerjaan- pekerjaan yang halus dan laki-laki mengerjakan pekerjaan yang lebih membutuhhkan tenaga. Dikatakannya, dalam budaya pembatikan, pembagian kerja seperti ini telah diterima dan didukung dalam jangka waktu yang cukup lama dan terbukti efektif penerapannya. “Perempuan dan laki-laki sama-sama bisa menggambar motif batik di atas bahan, namun bagian membatik yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran dikerjakan perempuan. Sementara laki-laki melakukan pekerjaan memberi dan melorot malam, karena dibutuhkan tenaga sementara penjemuran dilakukan secara gotong-royong.”


SUMBANGAN BESAR PEREMPUAN BAGI PERKEMBANGAN MODE INDONESIA

Menilik sejarah mode di Indonesia, laki-laki memang memiliki peran sebagai pionir, mengingat desainer pertama yang tercatat dalam sejarah mode Indonesia adalah Peter Sie. Laki-laki kelahiran Bogor pada 1929, mengenyam pendidikan mode di Vakschool Voor Kleermaker & Coupeuse, Den Haag, Negeri Belanda 1947-1953. Sebelum kembali ke Tanah Air dan membuka studio jahitnya di daerah Mangga Besar, Peter sempat bekerja di sebuah butik yang membuatkan busana untuk keluarga kerajaan Belanda. Peter pula yang memperkenalkan busana siap pakai, lini yang berada di bawah adibusana yang membuat rancangan desainer menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat.

Namun, meski dimulai dan digulirkan oleh desainer laki-laki, dunia mode Indonesia sejatinya juga dihidupkan dan dirawat keberlangsungannya oleh banyak perempuan. Salah seorang yang memiliki peran penting adalah Pia Alisjahbana yang pada 1978 menggelar Lomba Perancang Mode (LPM) telah mengorbitkan sejumlah perancang terkemuka di Indonesia seperti Itang Yunasz, Samuel Wattimena, Chossy Latu, Edward Hutabarat, Carmanita, Ferry Soenarto, Denny Wirawan, Musa Widiatmodjo, Stephanus Hamy, Widhi Budimulia, Tex Saverio, Jeffrey Tan, Natalia Kiantoro, Andreas Odang, Cynthia Tan, dan Billy Tjong.


Pada dekade ‘80-an dan ‘90-an, LPM menjadi barometer penting perkembangan dunia mode Indonesia. Melalui karya-karya para perancang yang menjadi pemenang dan finalis LPM, masyarakat bisa melihat bagaimana pergerakan tren mode dunia diserap kedalam lokalitas dan bagaimana para perancang di Tanah Air juga melontarkan ide bernas yang lantas menjadi sumbangan signifikan bagi pergerakan tren dunia seperti misalnya mengeksplorasi wastra nusantara dan membuatnya memiliki cita rasa desain kelas dunia.

Seiring dengan munculnya banyak desainer dan menggeliatnya kancah mode Tanah Air, bermunculan pula berbagai komunitas dan lembaga yang memayungi para pelaku industri mode sesuai dengan fokus perhatian masing- masing kelompok. Dua lembaga yang layak dicatat adalah Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) dan Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) yang dalam jalurnya masing-masing memainkan peran signifikan bagi perkembangan mode di Indonesia.

IPMI digagas pada 1985 oleh beberapa perancang Indonesia seperti Ghea Panggabean, Biyan, Harry Dharsono, Susan Budihardjo, mendiang Prajudi Admodirdjo dan mendiang Ramli serta beberapa orang tokoh senior di bidang mode yang merasa Indonesia memerlukan sebuah organisasi mapan yang bisa menyatukan seluruh perancang mode di Tanah Air. Pemikiran tersebut muncul setelah melihat pesatnya pertumbuhan dunia mode pada dekade ‘80-an. Kehadiran IPMI saat itu diharapkan bisa mengakomodasi dan memberi dukungan bagi pertumbuhan kreativitas para perancang mode di Indonesia. Sjamsidar Isa ditunjuk sebagai ketua IPMI. Di tahun yang sama, IPMI mulai menggelar peragaan tahunannya yang pertama. Dinamakan Trend Show, peragaan tersebut kemudian menjadi tolok ukur perkembangan industri mode Tanah Air.

Pada 22 Juli 1993, APPMI menyusul digagas oleh perancang busana Poppy Dharsono didukung Peter Sie, Iwan Tirta, Pia Alisjahbana dan Harry Darsono. Sesuai namanya, asosiasi ini didirikan untuk mendukung tumbuhnya mode sebagai sebuah industri berkelanjutan dengan menghimpun para perancang yang juga pengusaha. Anggota APPMI umumnya merupakan perancang yang memproduksi busana siap pakai, busana berdasar pesanan, perancang yang berorientasi ekspor, dan pengusaha busana muslim.

Selain berbagai lembaga dan komunitas, pada 2000 silam, Mardiana Ika, seorang perancang busana yang bermukim di Bali mengagas penyelenggaraan Bali Fashion Week (BFW). Gelaran ini menjadi sebuah penanda penting perjalanan mode Indonesia karena menjadi awal mulai digagasnya pekan mode di beberapa kota lain di Indonesia. Tak hanya menghadirkan perancang dalam negeri, Ika juga mengundang perancang dan buyers mancanegara untuk membuka peluang pemasaran bagi produk mode tanah air. Sempat diadakan rutin selama delapan tahun, BFW akhirnya dihentikan. Namun inisiatif yang telah dimulai di Pulau Dewata itu terus menginspirasi dan menularkan semangat merawat dunia mode.

Pada 2008, Jakarta Fashion Week (JFW) mulai digagas penyelenggaraannya. Selama sepekan, puluhan desainer memamerkan koleksi terbarunya setiap tahun. Ajang yang diketuai oleh Svida Alisjahbana ini menjadi sebuah platform kolaborasi antara pemangku kepentingan besar di industri kreatif dan mode dengan pelaku dan komunitas di industri kreatif dan mode. Saat ini, JFW juga menjadi salah satu etalase perkembangan mode di Indonesia yang dinantikan kehadirannya.

Kedua ajang fashion week ini menambah deretan perempuan yang memberi warna bagi dunia mode Indonesia. Meski di ranah bisnis mode skala besar keterlibatan laki-laki dalam pengambilan keputusan masih mendominasi, namun dalam pergerakan dan perawatan ide, serta pelestarian dan keberlangsungannya melalui komunitas dan perusahaan-perusahaan kecil menengah, peran perempuan yang besar tak bisa dinafikan.

Models Amanda Green (Persona Management) & Daniel (2 ICONS) photography by Ikmal Awfar for ELLE Indonesia February 2023; styling Ismelya Muntu.

“Dalam bisnis, mayoritas masih didominasi laki-laki. Saya terus terang tidak berani menyimpulkan mengapa demikian. Sementara perempuan mendominasi usaha kecil dan memengah, begitu usaha menjadi besar lebih banyak laki-laki yang berperan,” kata Ninuk. Ia mengaku belum memiliki jawaban untuk kondisi ini dan hanya dapat memberi salah satu kemungkinan alasan, yakni karena mengelola bisnis berskala besar membutuhkan banyak waktu sementara perempuan masih dituntut berperan juga di ranah domestik. “Berbagi waktu ini kemungkinan memengaruhi peran perempuan dalam bisnis berskala menengah- besar,” kata Ninuk.

Itu sebabnya, menurut Ninuk, perempuan harus menunjukkan dia memiliki kapasitas untuk berkompetisi. “Banyak juga laki-laki desainer yang tidak bertahan karena kompetisi yang sangat keras dalam dunia fashion. Sementara itu, dukungan lingkungan keluarga juga penting untuk menumbuhkan anak perempuan yang percaya diri dan mandiri, memiliki pikiran bebas agar kreativitas dapat tumbuh,” katanya.

Sementara Wieke meyakini, dengan kemajuan teknologi, komunikasi, dan pendidikan; perempuan diharapkan dapat berperan lebih intensif sebagai pembuat keputusan dalam berbagai bidang termasuk mode.

Ia juga menekankan bahwa dalam bidang- bidang tertentu di dunia mode, perempuan berperan penting dalam mata rantai industrinya. Namun dibutuhkan sistem pendukung yang baik dalam keluarga maupun masyarakat untuk bisa memastikan perempuan bisa menjalankan perannya tersebut secara mulus. “Keberhasilan peran perempuan dalam dunia fashion harus didukung penuh, baik dari keluarga maupun pemerintah,” kata Wieke. Kabar baiknya, saat ini kesadaran masyarakat Indonesia akan keterlibatan perempuan dalam ranah mode, khususnya dalam wastra tradisi cukup tinggi. Kita bisa berharap keterlibatan ini akan terus menjadi lebih signifikan dari waktu ke waktu dan diikuti dengan penghargaan yang memadai bagi perempuan baik secara moril maupun materil.