5 Juni 2024
Memelihara Identitas: Evolusi Busana Adat Betawi Atas Nama Relevansi dan Inklusivitas
Photography by Ryan Tandya for ELLE Indonesia Juni/Juli 2024; Styling by Alia Husin
Jakarta telah menjadi ruang hidup tempat menggantungkan sejuta harapan bagi kebanyakan warganya. Data kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri menyebutkan jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta mencapai 11,34 juta jiwa pada Desember 2023. Namun dari jumlah itu, hanya sekitar 27,65 persen yang merupakan orang Betawi, penduduk asli Jakarta.
Menurut Ketua Bidang Regulasi Majelis Amanah Persatuan Kaum Betawi, Zainuddin alias Haji Oding sebagaimana dikutip tempo.co, jumlah populasi orang Betawi saat ini menempati posisi kedua setelah suku Jawa sebagai mayoritas penduduk Jakarta. Tidak heran, dalam hal budaya sehari-hari termasuk berbusana, lebih banyak terlihat warga Jakarta yang mengenakan kain, gaun, atau kemeja batik dengan motif khas Jawa Tengah pada kesempatan formal.
Sebagaimana dilansir oleh situs web Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, motif batik populer di Indonesia didominasi antara lain oleh Parang, Sidomukti, dan Sekar Jagad dari Solo, Jawa Tengah. Menyusul, popularitas motif batik Megamendung khas Cirebon, dan batik Lasem yang kental dengan pengaruh Tionghoa. Kedua motif batik ini juga banyak terlihat dipakai oleh warga Jakarta.
Bagaimana dengan motif batik khas Betawi sendiri? Jurnal Threads of history: Batik in the development of the urban society of Jakarta, Indonesia, menyebutkan bahwa kain batik yang ada di era sebelum kemerdekaan di Jakarta menampilkan aneka motif dengan nama Thomas Cup, Siri Kuning, Kembang Kol, dan Seroja. Ide dan penamaan motif tersebut sesuai dengan lingkungan sekitar dan kejadian penting di Jakarta. Namun, berbagai motif tersebut mengadaptasi motif-motif yang sudah ada di Pekalongan dan Semarang, Jawa Tengah, yang sudah lebih dulu berkembang.
Emma Amalia Agus Bisri, kolektor batik dan pendiri Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dikutip oleh jurnal Threads of History… , mengatakan bahwa batik di Jakarta dibuat oleh para pendatang dari wilayah-wilayah industri batik yang sudah mapan seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan pesisir barat Jawa Barat.
photography RYAN TANDYA styling ALIA HUSIN
Seiring dengan berjalannya waktu, industri batik Betawi terus berkembang di tengah tantangan seperti kompetisi dari teknik batik print dan regulasi tentang polusi air sungai. Era 1980-an menjadi saksi meningkatnya popularitas motif-motif batik Betawi seperti Langgara, Pucuk Rebung, dan Jamblang. Ciri khas berbagai motif itu adalah warna-warna manyala terutama merah, jingga, dan kuning.
Bicara soal motif Pucuk Rebung dan warna-warna manyala dalam konteks budaya Betawi, erat kaitannya dengan ajang pemilihan Abang None Jakarta yang sudah diadakan sejak 1968. Pucuk Rebung adalah motif kain batik yang wajib ada dalam daftar busana untuk dikenakan para kandidat none dalam pemilihan Abnon.
Khairiyyah Sari, konsultan fashion yang berperan sebagai juri tata busana dan etiket Abang None Jakarta wilayah Jakarta Utara, mengatakan bahwa kain batik motif Pucuk Rebung adalah padanan wajib kebaya none. Terbuat dari bahan chiffon polos yang menerawang, kebaya none adalah salah satu busana wajib yang diperagakan para none di malam final pemilihan Abang None. Selebihnya, kebaya none adalah busana resmi untuk dipakai menghadiri acara-acara formal seperti mendampingi gubernur, walikota, dan tamu-tamu kenegaraan. Kebaya none wajib dipadankan dengan kain batik bermotif Pucuk Rebung yang memiliki ciri khas elemen tumpal.
Sari, yang juga pernah mengikuti pemilihan Abang None pada 1996, menyebutkan adanya tantangan dalam hal pelestarian pemakaian kebaya none yang merupakan salah satu bagian wajib ajang pemilihan Abang None. Tata busana kebaya none mensyaratkan rambut dicepol dengan pemakaian kerudung yang hanya disampirkan saja, sehingga masih memperlihatkan sebagian rambut dan leher. Kebaya none juga wajib dipadankan dengan aksesori berupa anting panjang, kalung tebar, dan peniti tiga susun. Dan, ketika ada pemakai hijab yang mendaftar untuk mengikuti pemilihan, Sari melihat perlunya tata busana kebaya none yang khusus mengakomodasi para pemakai hijab, yang banyak mendaftar untuk mengikuti pemilihan Abang None kira-kira sejak sekitar lima tahun lalu. Hingga tulisan ini dibuat, kontestan yang berhijab masih harus menyesuaikan diri dengan tata busana none sebagaimana aslinya, dan Sari merasakan ketidakserasian.
Ia menyatakan keinginannya bertemu perwakilan LKB untuk membicarakan evolusi busana adat Betawi khususnya kebaya none dalam pemilihan Abang None. “Kalau mau berevolusi, berubah, itu bagus. Sebaiknya dibuat standar untuk pemakai hijab, jadi ada dua kategori. Untuk pemakai hijab desainnya khusus, sementara yang tidak pakai hijab tetap sama dengan kebaya none seperti dulu,” Sari berkata. “Kita tidak bisa memaksa pemakai hijab untuk mengenakan anting.”
photography RYAN TANDYA styling ALIA HUSIN
Di samping kebaya none, ada kebaya encim sebagai busana wajib kandidat none dalam pemilihan Abang None. Menurut Sari, kebaya encim peruntukannya lebih untuk busana sehari-hari, dengan ciri khas berupa hiasan bordir dan padanan kain batik motif Pagi Sore. “Motif Pagi Sore ini hanya untuk perempuan, sesuai filosofi perempuan hanya boleh pergi ke luar rumah dari pagi sampai sore,” Sari berseloroh. Pada kebaya encim ini pula Sari melihat potensi evolusi, misalnya dengan membuat kebaya encim dari bahan yang eco-friendly dan lebih sejuk dipakai. “Ini sebenarnya saat yang tepat untuk membuat kebaya dari material yang lebih eco-friendly, karena udara sudah semakin panas. Tetapi, sebaiknya harus bermusyawarah dahulu dengan para pemangku adat Betawi,” Sari berpendapat.
Lain dulu lain sekarang. Kelestarian busana adat Betawi menemui tantangan yang berbeda-beda seiring perubahan zaman. Sari menekankan bahwa evolusi untuk kebaya none agar inklusif bagi kandidat none yang berhijab sudah mendesak. Namun, yang tak kalah meresahkan bagi Sari sebagai konsultan fashion adalah kebutuhan akan evolusi yang lebih inovatif di kalangan UKM fashion di Jakarta.
Sari memaparkan pengalamannya sebagai kurator jenama lokal yang sering mendapat tugas dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI untuk memberikan kelas, workshop, dan mentoring bagi berbagai jenama fashion di Jakarta. Menurutnya, kebanyakan jenama ini mengangkat wastra batik Betawi. Tetapi, mereka masih menggunakan pendekatan harafiah misalnya dalam penciptaan motif. Ikon budaya Betawi ondel-ondel adalah sumber inspirasi yang lazim bagi para pengrajin wastra tersebut. Sayangnya, motif ondel-ondel ini dituangkan secara harafiah tanpa terlalu memedulikan estetika termasuk proporsi dan kepantasan.
“Saya tidak sanggup membayangkan wajah ondel-ondel lelaki dan perempuan yang terpampang nyata, atau misalnya, sehelai kemeja dengan dua kepala ondel-ondel di kanan dan kiri. Tetapi, sayang sekali masih banyak jenama UKM lokal yang menekuni wastra Betawi dan inspirasinya hanya sebatas ondel-ondel dan tugu Monas,” Sari mengungkapkan keprihatinannya.
Ia melanjutkan bahwa sebenarnya banyak inspirasi lain yang dapat diambil dari budaya Betawi. Sebagai contoh, ornamen Gigi Balang (bentuk segitiga berjajar menyerupai gigi belalang) yang biasanya terdapat pada bagian atap rumah panggung khas Betawi.
“Ambil saja sedikit aksen Gigi Balang, ujung-ujungnya, lalu cetak di salah satu bagian kain, didesain supaya bagus untuk dipotong dan dibuat baju. Kalau tetap menginginkan motif ondel-ondel yang gigantis, sebaiknya dijadikan wastra saja untuk dipakai sebagai kain lilit,” Sari melontarkan ide.
Sejalan dengan bertambah gemerlapnya Jakarta, sudah sepantasnya busana adat Betawi tetap bersinar melewati pergantian zaman dengan segala tantangannya yang meresahkan. Busana adat Betawi harus tampil relevan dan inklusif, dengan dukungan dari kajian serta dialog antara pemangku adat, desainer, dan abang none yang melenggang di panggung pemilihan hingga menjalankan tugasnya sebagai bagian dari abdi masyarakat.
(MUTHIA KAUTSAR)