28 Agustus 2019
Abimana Aryasatya: Popularitas yang Akhirnya Bikin 'Diatur' Banyak Orang

Abimana Aryasatya memaksimalkan hidup dalam jiwa yang bebas, namun tak lengah pada gemerlap ketenaran seiring ia berkarya di dunia film.
Abimana Aryasatya datang dengan mengenakan T-shirt warna putih serta celana jins biru muda. Terlihat menarik meski lelah di wajahnya tak bisa disembunyikan. “Saya lumayan sedang sibuk. Setelah ini ada jadwal meeting lagi. Jadi maaf kalau ada jerawat yang sedikit mengganggu sesi foto,” ujar Abi (nama panggilannya) sambil menunjuk dahinya.
Saya duduk diikuti Abi yang mengambil posisi di samping saya. Karena saat itu pagi menjelang siang, rasanya perlu dua gelas kopi menemani obrolan kami. Selain karena Abi sangat gemar minum kopi, toh minuman ini sering kali berhasil menyegarkan rasa letih seseorang. Kami sama-sama memesan Americano.
Dengan mudah, saya bisa menilai wajah tampan dan postur tubuh Abimana begitu memikat. Namun sesungguhnya sulit untuk melupakan betapa akting laki-laki ini juga amat memukau. Saya menyimak Abimana pada film 99 Cahaya Langit di Eropa di mana ia beradu akting dengan aktris Acha Septriasa. Dan meskipun bukan sebagai pemeran utama, karakter Andi yang ia perankan di film Catatan (Harian) Si Boy juga begitu membekas di pikiran. Menurut saya, dia sangat memesona dengan kelaki-lakian yang berbicara lantang dan sedikit urakan, namun santun pada perempuan.

Yang menarik, kemunculan Abimana sebagai Dono di film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Di sini saya kemudian menyimpulkan, dia bukan aktor sembarangan. Ia tidak ragu-ragu mengubah diri jika itu memang diperlukan. Mulai dari postur tubuh, tatanan rambut, kemiripan suara, hingga bentuk gigi. “Sebetulnya alasan saya memerankan Dono karena orang-orang pikir Dono paling mustahil ditiru. Waktu Om Indro Warkop mengajak saya main di Warkop DKI Reborn, tidak pikir panjang saya ingin mengambil karakter yang paling sulit diperankan. Kenapa? Sebab saya senang membuktikan sesuatu. Saya harus melakukan apa yang justru diragukan orang-orang,” Abimana mengakhiri kalimat dengan senyum.
Untuk memerankan karakter Dono, Abimana mendorong usahanya ke titik maksimal. Di antaranya yaitu menyelisik kehidupan sehari-hari Dono, dan mengubah penampilan hingga nyaris menyerupai karakter tersebut. “Saya mencari tahu banyak informasi tentang beliau, termasuk cara berbicara dan berjalan. Saya juga banyak bertanya pada anak-anak Dono, termasuk orang-orang terdekatnya. Ini penting demi memaksimalkan usaha kita dalam meniru karakter tertentu. Untuk mengejar supaya fisik persis seperti Dono sudah enggak mungkin, karena secara genetik saja kami berbeda. Tapi, saya enggak mau setengah-setengah. Enggak ada kata ‘lumayan’ atau ‘biasa’. Dan saya ini sulit percaya dengan orang lain. Jadi semua persiapan saya lakukan sendiri,” ungkapnya.
Ia tidak mengatur asupan makanan, sehingga perutnya membuncit. Abi menolak memakai rambut palsu karena menurutnya hal itu bisa bikin penonton tidak percaya dengan karakternya. “Saya lebih memilih memanjangkan rambut sendiri. Lalu disasak setiap hari sebelum syuting. Itu lebih believable,” ujarnya. Untuk urusan gigi yang menjadi salah satu karakteristik khas Dono, Abi tanpa ragu-ragu datang ke dokter gigi dan minta dibuatkan gigi palsu berdasarkan kerangka yang telah ia bikin sendiri. “Pakai bahan ceramide yang dicetak dan dibikin berulang-ulang sampai saya yakin, ini dia giginya Dono!” ia bercerita.

Berada di depan kamera mungkin menyenangkan, namun nyatanya Abi lebih bersenang-senang saat berada di belakang layar. Tahun ini Abi menjadi producer dan co-producer untuk film Petualangan Menangkap Petir bersama sutradara Kuntz Agus, serta Sebelum Iblis Menjemput garapan sutradara Timo Tjahjanto.
Melihat pria ini bercerita banyak keseruan dalam proses produksi film, saya tergelitik untuk bertanya, mana lebih menyenangkan, jadi aktor atau produser? Kata Abi, “Berat beban kerjanya mungkin nyaris sama, hanya saja perlu lebih banyak waktu saat posisinya sebagai produser. Namun apapun pekerjaannya, saya pasti selalu ada di dunia film. Saya secara yakin menyatakan bahwa hidup saya untuk film.”. Ia merespon saya dengan tatapan wajah serius.
Ia mengaku sangat mencintai film dan dinamika di dalamnya. Bukan apa-apa, Abi selalu menganggap film punya peran amat penting dalam kehidupan manusia. “Film bisa digunakan untuk menyimpan peristiwa dan sejarah. Dan kita bisa menilai budaya suatu bangsa melalui filmnya. Misalnya film Warkop DKI. Karakter Dono, Kasino, dan Indro masing-masing jadi representasi kondisi sosial dan budaya Indonesia.”
Perjalanannya di dunia sinema dimulai pada tahun 1995. Abimana mengawali karier sejak usianya 15 tahun. Ia menjadi kru lighting dan kostum di salah satu produksi sinetron Indonesia. Keterlibatan ini karena Abi kerap kali menghabiskan waktu di Taman Ismail Marzuki Jakarta yang lantas mempertemukan dirinya dengan mahasiswa-mahasiswa Institut Kesenian Jakarta. Ia kemudian diajak bekerja sebagai kru produksi sinetron.
Tahun 1997, Abi diminta menjadi stand-in menggantikan aktor Ryan Hidayat yang meninggal dunia. “Saya enggak pernah punya rencana apa-apa dalam hidup. Semuanya mengalir. Saat itu karena postur kami mirip dan kebetulan sama-sama berambut panjang. Ternyata menyenangkan juga ya,” kisahnya. Sejak itu, tawaran acting dan modeling menjadi sangat ramai.

Abi kemudian belajar akting dengan Eka Sitorus dan almarhum Didi Petet. “Selain dasar-dasar teater, saya belajar mentalitas aktor dan kepercayaan diri dari Om Didi. Karena sesungguhnya saya hanya punya sedikit sekali kepercayaan diri,” katanya. Saya mengernyitkan dahi, apa iya seorang Abimana Aryasatya bisa diterpa krisis kepercayaan diri? Pertanyaan ini tak perlu dikonfirmasi Abi sebab saya melihat ia menolak melihat hasil foto-foto dirinya di kamera fotografer. “Saya tidak pernah mau melihat foto maupun menonton film yang saya mainkan. Supaya tidak ada kesalahan yang saya sesali, selain saya juga merasa malu melihat diri sendiri. Lebih baik saya enggak usah lihat,” ia kembali menyesap kopi hitam yang tampak hampir habis.
Kesenangan berada di industri hiburan rupanya tidak berarti bahagia ketika ketenaran itu datang. “Saya enggak suka popularitas yang akhirnya bikin saya diatur banyak orang. Dan menjadi populer itu identik dengan kemewahan,” Abimana menyenderkan posisi duduknya. Sehari-hari, Abimana memilih naik motor dibanding mobil. Ia sangat suka naik motor. Selain tidak tahan macetnya Jakarta, ia tidak suka ruang geraknya dibatasi. “Kalau naik motor, saya bisa berhenti kapanpun saya mau. Tapi, hobi naik motor dan nongkrong di banyak tempat itu menjadi sulit dengan adanya popularitas,” ungkap Abi.
Seiring ia berbicara, saya berusaha memahami betapa dikenal banyak orang kadang begitu meresahkan. “Saya suka bertemu orang-orang di mana mereka tidak tahu apa pekerjaan saya. Saya bisa menjadi diri sendiri tanpa diperlakukan bak orang paling istimewa. Rasanya menyenangkan bisa duduk bersama, minum kopi sambil ngobrol santai dalam kesetaraan. Saya tidak lebih pintar atau lebih hebat, hanya karena saya bekerja di industri film,” tuturnya.
Menganggap sorotan publik dan gemerlap dunia hiburan tak sejalan hati nurani, Abi memutuskan ‘menghilang’. Tahun 2008, ia pergi ke suatu kota jauh dari hiruk-pikuk popularitas. Kala itu ia bekerja di sebuah event organizer dan berjualan makanan bersama sang istri, Nidya Ayu. “Saya enggak bisa dipaksakan untuk jadi seperti si A atau si B. Dan sulit untuk berada dalam kondisi di mana semua dinilai berdasarkan seberapa mewah,” ujar Abi. Tahun 2011, sutradara Joko Anwar mengontak Abi dan mengajaknya ikut serta berperan di film Catatan (Harian) Si Boy. “Bang Joko berulang kali meyakinkan saya. Akhirnya saya ikut dengan catatan saya ingin ganti nama. Tidak ada alasan selain saya hanya ingin melepas masa lalu dan ingin mulai babak baru,” pria kelahiran tahun 1982 ini lantas menceritakan masa lalunya.
Lahir dengan nama Robertino, ia anak satu-satunya dari orangtua yang berpisah sejak Abimana bayi. Karena ibunya harus bekerja, ia hidup berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah saudara yang lain. Usia 12 tahun, ia memutuskan berhenti sekolah. Ia hidup mengembara, pergi ke mana pun ia suka, sampai akhirnya ia bertemu orang-orang yang mengajaknya bergabung sebagai kru film.
Perjalanan Abi mencari ayahnya pun memakan waktu hingga 30 tahun. Tahun 2016 silam, Abi berhasil menemui sang ayah, Roberto Candelas Aguinaga, melalui media sosial facebook. Bersama istri dan keempat anaknya, Abi lantas mendatangi ayahnya di Durango, Spanyol. Dengan perasaan lega, haru, bahagia, tanpa dendam dan amarah. “Pada akhirnya semua kegetiran, kegagalan, bahkan keberhasilan adalah peristiwa hidup yang selalu menyisakan pelajaran,” cerita Abi.
Saya lantas terusik untuk bertanya, bagaimana ia mendidik empat anaknya saat ia sendiri hidup tanpa peran seorang ayah. “Saya tidak melakukan apa yang menurut saya dulu tidak menyenangkan. Misalnya, memukul dan berbicara kasar. Saya tahu itu menyakitkan. Dan sebagai orang tua, tugas saya mendukung, bukan memaksa anak menjadi seperti yang saya mau. Anak-anak bebas menentukan pilihan hidupnya. Karena apa yang saya tahu dan mau belum tentu benar,” ujarnya tersenyum.
Menyimak ia berbicara, rasa-rasanya hati saya ikut gembira melihat seseorang telah berdamai dengan segala hal-hal tidak menyenangkan di masa lalu, dan memilih merayakan hidup secara sukacita.
(Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography ANTON ISMAEL styling ISMELYA MUNTU)