LIFE

13 November 2024

Reza Rahadian Memaknai Setiap Karakter Peran Sebagai Refleksi Kehidupan


PHOTOGRAPHY BY Ryan Tandya

Reza Rahadian Memaknai Setiap Karakter Peran Sebagai Refleksi Kehidupan

styling Sidky Muhamdsyah; fashion Louis Vuitton; grooming Ryan Ogilvy; hair Ichana

Reza Rahadian naik ke atas podium bertubuhkan kendaraan beroda empat yang diparkir di depan pagar kompleks gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta. Di atas sana, ia berdiri bersama sejumlah orang biasa—bukan figur populer dunia hiburan. Tak lama kemudian suaranya terdengar berkumandang melalui megafon, “Saya hari ini hadir sebagai rakyat (Indonesia) bersama teman-teman semua. Saya tidak punya kepentingan personal; saya tidak mewakili kepentingan apa pun dan siapa pun, selain suara orang- orang yang gelisah melihat demokrasi kita pada hari ini... Teman-teman, kita perlihatkan kepada mereka bahwa kita bisa mengawal situasi dengan cara yang terhormat.” Orasinya disambut sorak-sorai para kawanan massa bergemuruh.

Ini bukan pengadeganan sebuah film, seperti yang pernah kita tonton dalam Guru Bangsa Tjokroaminoto di mana Reza bermain peran. Sang aktor tidak sedang berlakon karya baru. Puluhan kamera yang menyorotnya ialah kamera media berita. Kita tengah menyaksikan Reza Rahadian di alam realitas. Hari itu, Kamis minggu ketiga di bulan Agustus 2024, Reza menyeruak di antara barisan unjuk rasa orang-orang yang gusar menuntut DPR patuh hukum putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada 2024). Langkah kakinya mantap, meski sesekali melambat tatkala warga berupaya menyamakan derap untuk mencuri selfie. (Bisa dipahami, aura kebintangan tidak lantas redup meski dibalut sekadar T-shirt dan jeans.) Dari kejauhan saya mengamati, betapa kuat karisma cucu keturunan salah satu tokoh perempuan pergerakan revolusioner Indonesia, Francisca Casparina Fanggidaej, itu. Orang-orang terpukau, dan bukan atas pengaruh sosoknya yang tersohor, tetapi empatinya yang menyuarakan kekecewaan serta amarah dilandasi cinta mampu bergelora sampai ke hati masyarakat.

fashion Louis Vuitton.

Sebut saja itu efek Reza Rahadian, kendati lebih sering pesona magisnya mewujud dari layar sinema. Sekitar satu bulan sebelum ingar-bingar Pilkada pecah, saya menemukan seorang Reza dalam gambaran necis sosok bintang bereputasi besar yang dikagumi publik. Jika tidak sedang duduk di bioskop, saya bisa benar-benar berpikir sedang melihat hakikat potret Reza Rahadian. Namun bukan, Reza dalam layar lebar itu adalah Reza Malik, tokoh fiksi ciptaan novelis populer, Ika Natassa, di film Heartbreak Motel. Reza Rahadian sekadar meminjamkan personanya. Kebetulan nama dan latar profesi keduanya dikisahkan serupa. Tetapi Malik merupakan serigala narsistik berbulu domba yang memanipulasi perasaan seorang perempuan. Watak yang berseberangan dengan pribadi bersahaja Rahadian. Meski begitu, tak urung emosi saya meletup dibuat olehnya tiap kali mendengar Malik berbicara—sebagaimana tampaknya juga dirasa penonton lain. Reza Rahadian lagi-lagi mengguratkan impresi, pikir saya, ia berhasil bikin karakter perannya bernapas.

Pujian itu saya lontarkan langsung kepada sang aktor saat berjumpa di lokasi pemotretan ELLE di awal bulan Agustus silam, beberapa hari setelah filmnya premier. Ia tersenyum rendah hati. Tak lama senyumnya pecah jadi tawa seraya ia berkata, “I try to believe that, better, nowadays.” Artinya, dahulu tidak? “Enggak,” ungkapnya lugas, “Tapi terima kasih, lho. Jangan salah paham, ya, saya sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Saya sangat berterima kasih setiap kali dipuji orang, dan percaya bahwa Anda juga mereka tulus mengatakannya. Nevertheless, I tend to believe it only in the moment. Selepas itu, yang ada malah berpikir sebaliknya,” tuturnya tergelak. Reza mengaku lebih mudah mencerna penilaian kritis. “Kritik yang komprehensif terkait performa saya selayaknya candu. Dari sana saya belajar menjadi aktor dan manusia yang lebih baik,” katanya.

fashion Lanvin.

Apakah Anda tahu kalau menolak pujian dianggap sebagai perbuatan kurang ajar? Saya baru mengetahuinya dari Reza, yang juga baru tersadar beberapa waktu belakangan. “Dulu saya sering melakukannya karena...” Ia tampak kesulitan menuturkan ucapan. “Berat untuk saya mengakui bahwa saya adalah aktor yang baik,” akunya melanjutkan, “Ok, barangkali narasinya begini, what is good ?” Saya menimpali dengan menjawab namanya, yang berhasil mencairkan suasana kembali santai. “Saya cuma memberikan sebuah penampilan. Ketika orang menyukainya, merasa terhubung, tentu hal itu membuat saya bahagia, dan itu cukup buat saya,” katanya, “I mean, who am I to think I am that big?” Faktanya ada saja orang yang menganggap bahwasanya diri mereka adalah langit di atas langit. Jumlahnya tidak sedikit, karakter Reza Malik seolah-olah manifestasi contohnya. Ketika membangun karakter Reza Malik, aktor peraih lima Piala Citra ini berusaha memahami kecenderungan manusia yang dianggap toksik. “Saya pikir itu adalah salah satu materi dasar seorang pemeran; kami harus sangat super sensitif terhadap sifat-sifat kemanusiaan,” katanya. Nalarnya memantik pemikiran akan definisi bagaimana seseorang atau situasi dapat dianggap toksik? “Jangan-jangan kita memandang sesuatu toksik karena kualitas tersebut ada dalam diri kita? Bisa saja kita memiliki sisi toksik yang mungkin tidak kita sadari” renungannya. Bagaimana mematok standarisasinya?

“Dari kacamata personal, ketika saya berada dalam hubungan yang memberikan pengaruh buruk buat saya tapi saya membiarkan diri saya terus-menerus berada di situasi itu. Kondisi itu, termasuk perilaku saya sendiri, bisa dikatakan sangat amat tidak sehat. Dan bentuk hubungan itu bermacam- macam, ya, tidak melulu hubungan antar manusia,” ujar Reza. Sebagaimana manusia lain yang pernah melalui titik rendahnya, begitu pula Reza tak luput dari mengecap situasi frustasi yang benar-benar menguras energi secara fisik dan mental. “Satu keuntungan yang saya petik dari perjuangan melewati titik rendah, dan segala situasi yang diberikan oleh hidup sebetulnya, yaitu pengalaman batin personal yang memperkaya wacana rasa serta emosi di dalam diri saya. Kekayaan itu membuat saya bertumbuh sebagai individu, juga aktor, yang mampu memahami karakter-karakter manusia. Alhasil saya pun dapat memahami karakter sebuah peran secara jauh lebih baik tanpa menghakiminya,” tuturnya.

fashion Hermès.

Konon film selayaknya reflektor realitas kehidupan manusia. “Setuju,” timpal Reza, “Refleksi, bukan realitas. Berangkat dari pemahaman ini, buat saya, film bisa jadi sarana yang sangat kuat untuk meningkatkan kesadaran akan berbagai isu-isu penting.” Aspirasi tersebut memotivasi Reza dalam memaknai setiap karakter perannya agar memberikan dampak, “Entah sekadar jadi bahan diskusi atau bahkan mencuatkan perdebatan.” Ia menjadi anti-hero perlawanan bawah tanah terhadap pemerintahan diktator di 24 Jam Bersama Gaspar; pembunuh brutal atas nama Berbalas Kejam; suami yang tidak setia dalam Layangan Putus; Sarjana berpendidikan yang lebih sulit mencari nafkah ketimbang pencopet di Alangkah Lucunya (Negeri Ini); pecinta yang memuliakan keberagaman di 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta. Tahun depan, bila sesuai rencana, Reza bakal melepas sebuah karya berjudul Gowok: Kamasutra Jawa. Alkisah di tanah Jawa zaman raja-raja, nilai keperkasaan laki-laki berkedudukan tinggi diukur dari kepiawaiannya memenuhi kebutuhan pasangan hingga bahagia maksimal. Dalam dunia garapan sutradara Hanung Bramantyo ini, Reza bernapas sebagai priayi yang jatuh cinta kepada Gowok, perempuan yang berprofesi mengedukasi para laki-laki agar menjelma jadi sosok jempolan tersebut. “Pola berceritanya ibarat antitesis terhadap nilai maskulinitas, dan dengan cara yang tidak umum. Film ini menggambarkan bagaimana power seorang perempuan sangat dominan,” kisahnya.

Reza Rahadian lahir ke dunia dari rahim seorang perempuan bernama Pratiwi Matulessy. Sang ibu adalah satu- satunya figur orangtua di rumah yang berperan besar dalam pertumbuhan karakternya. “Ibu saya adalah seorang ibu tunggal. Beliau mengurus rumah, sekaligus mencari nafkah untuk menghidupi saya dan adik saya, dan di sela waktu itu juga ia memastikan anak-anaknya tumbuh tanpa kekurangan asupan pemahaman akan nilai-nilai kehidupan. Itu bukan tanggungjawab yang mudah, tapi dia melakukannya dengan sangat bermartabat,” cerita Reza dengan wajah berseri penuh kebanggaan. Dari sosok tangguh sang ibu, Reza tumbuh menjadi laki-laki yang memuliakan nilai-nilai feminisme. “Saya rasa, salah satu kekuatan terbesar perempuan yaitu kemampuan mereka beradaptasi di segala aspek kehidupan. Kapabilitas mereka dalam menyinergikan perasaan dan logika juga kualitas yang, di mata saya, sangat luar biasa,” katanya.

Sikap feminis turut dibawa Reza ke ruang berkarya. Tahun 2021-2023, Reza mengomandani komite Festival Film Indonesia dengan menjunjung perspektif perempuan. Menyoal keberdayaan perempuan melalui sinema, jangan ditanya, jumlah karyanya sudah melebihi hitungan jari. Selain Gowok yang sedang masuk tahap akhir produksi, ia pernah ambil bagian di Sri Asih, Kartini, serta 3 Srikandi. “Terima kasih kepada ibu saya yang andil menanamkan kepekaan ini dalam pribadi saya. Hal itu membuat saya secure terhadap pribadi sendiri, dan karenanya saya mampu bermain peran tanpa rasa takut memperlihatkan sisi vulnerability seorang laki-laki,” ucapnya.

fashion Gucci.

Sepanjang lebih dari dua dekade, Reza telah mengantongi ratusan karya. Tidak semuanya sudah saya tonton. Tapi dari setiap judul yang saya nikmati, sebuah premis menarik saya petik dalam cara Reza bersuara lewat peran. Kerap kali sisi perannya berbanding lurus dengan konflik—sebagaimana misalnya ia merepresentasikan sumber hubungan toksik di Heartbreak Motel. “Ada ketertarikan sendiri membawa isu lewat peran yang justru bertentangan dengan keyakinan yang coba saya gambarkan. Peran seperti itu sekaligus meningkatkan pemahaman saya akan adanya sisi kehidupan yang tak banyak diketahui dan nyata dapat terjadi,” katanya.

Belakangan ini Reza tertarik mencermati relasi antara manusia dan teknologi. Pertanyaan besarnya: “Apakah kita sadar bahwasanya tidak apa-apa untuk tidak selalu mengikuti setiap inovasi yang ditawarkan oleh sebuah sistem yang berpacu dengan teknologi? Rasanya kita terus- menerus didorong untuk bergerak selaras kemajuan, atau bakal tertinggal, sehingga sering lupa kalau kita bisa memilih teknologi apa yang bermanfaat buat kita.” Reza adalah satu dari segelintir figur publik yang memilih tidak memiliki presensi di media sosial. “Saya tidak paham bagaimana caranya menggunakan media sosial secara bijak,” ucapnya. Bukan berarti ia lantas meremehkan media sosial, apalagi para penggunanya. Evolusi kebudayaan telah membuat media sosial bertransformasi menjadi lebih dari sekadar platform komunikasi hiburan. Perubahan bisa digelorakan. Orang juga marak menggunakan media sosial sebagai alat penunjang karier. Reza sadar akan hal itu, hanya saja, ia tetap belum memahami konsepnya untuk menjadikan dirinya lebih baik. “Saya sudah merasa cukup dengan karier saya saat ini, dan menyukai cara saya melakukan pekerjaan saya. Tentu saja standar setiap orang perihal ‘cukup’ tidaklah sama,” tuturnya.

Reza Rahadian barangkali telah memiliki segalanya; keberhasilan dan ketenaran. Sejak tahun 2003 menjajal layar televisi hingga akhirnya menjajaki layar lebar mulai tahun 2007, kiprah Reza tidak pernah absen meramaikan jagat hiburan setiap tahunnya. Di titik ini, siapa yang tidak familier akan figurnya. Bahkan jika Anda hanya mengetahui sepintas karya-karyanya, Anda pasti setuju bahwa Reza Rahadian adalah salah satu pemeran terbaik yang dimiliki industri perfilman Indonesia. Ketika kita telah memiliki segalanya di tangan, apakah hal tersebut sejalan dengan hidup yang berkualitas? “Saya tidak pernah melihat materi dan popularitas sebagai wujud segalanya. Saya bukannya bilang perihal itu tidak penting—tentu menjadi penting untuk beberapa faktor karena kecukupan materi membantu setiap orang memiliki penghidupan yang baik—it’s just not everything,” jawabnya.

fashion Hermès.

Anda salah sangka jika menduga pikiran Reza terkait nilai hidup yang berkualitas berakar dari ketaktahuan akan getir kehidupan. Masa kanak-kanak lelaki kelahiran tahun 1987 ini jauh dari konsep kemewahan. Perekonomian keluarganya tak pernah lebih dari kata cukup, malah cenderung kekurangan (“masa-masa menahan lapar karena tak ada uang pun pernah kami lewati,” ceritanya). Kerja serabutan tak luput pernah dijalaninya demi membantu ibu memenuhi kebutuhan rumah tangga. “Pengalaman hidup menyadarkan saya bahwa apa yang menguatkan manusia tidak berakar pada materi, keberuntungan, dan kejayaan. Bahkan jika kembali ke masa lalu, saya tahu bahwa saya mampu bangkit lagi. Sebab itu, buat saya, perihal materi bukan segala-galanya,” katanya. Tidak ada hal yang tidak tergantikan di dunia ini. “Begitulah cara kerja kehidupan,” menurut Reza, “Ketika kita memperoleh sesuatu, kita melepaskan sesuatu. Tidak apa-apa. Segala sesuatu telah diatur untuk memiliki waktunya sendiri, termasuk peran kita selaku individu.”

Bicara tentang waktu. Reza telah menghabiskan hampir separuh lebih hidupnya di atas panggung sinema. Jenuh akan kerutinan berada di satu lingkup ruang profesi dalam rentang masa yang begitu lama tidak berlaku baginya. “Seni peran telah menjadi bagian integral hidup saya. Bahkan jika waktu saya usai di dunia, adalah sebuah kehormatan dan merupakan anugerah dari Tuhan, bilamana saya masih tetap diberi kesempatan untuk dapat berkontribusi bagi sinema, sekecil apa pun itu. Sebab berakting adalah cara saya bernapas. It keeps me alive,” pungkasnya.