LIFE

16 April 2025

Morgan Oey telah Mengukuhkan Gairah Seninya yang Sejati


PHOTOGRAPHY BY Norman Fideli

Morgan Oey telah Mengukuhkan Gairah Seninya yang Sejati

styling Sidky Muhamadsyah; fashion Lanvin; grooming & hair Acha Mono

Morgan Oey berdiri tegap dengan kedua tangan di saku celana, dan wajah menampakkan kesengitan. Fotografer sibuk membidik figurnya. Di antara bidikan itu, ia tampak sesekali mengelukkan punggungnya— yang menghasilkan siluet effortless yang amat disukai sang fotografer. Lalu suara kokang kamera berhenti. Morgan berganti busana berikutnya. Saat ia kembali, fotografer bersama tim ELLE masih berdiskusi tentang hasil potretnya. Alih-alih menginterupsi, ia melipir ke sudut set limbo untuk memberikan kami ruang sekaligus merilekskan tubuhnya sejenak. Ia bersandar pada dinding; memalingkan kepala memandang ke arah luar jendela. Namun gesturnya yang tanpa ia sengaja itu malah menarik perhatian fotografer, yang dengan segera meraih kamera dan melanjutkan sesi pemotretan. Ia melepaskan Morgan selang lima menit kemudian. Entah karena ia fotogenik secara natural, atau memori otot keprofesian model yang sempat dilakoni semasa remaja masih mendekap erat raganya sehingga posenya begitu luwes—tingkat kepekaannya juga cukup tinggi mencakup kamera, demikian pula yang disadarinya, “Uh, saya sadar kamera banget, ya. Hahaha,” manakala saya merekamnya menggunakan smartphone di sela- sela jeda pemotretan. Yang pasti, tidak butuh waktu lama bagi kami mendapatkan hasil paripurna atas potretnya.

Sebuah panggung alas hitam kini dibawa masuk set. Morgan berbaring di atasnya, tampak seperti tertidur. “Action!” Videographer berseru, dan sontak ia membuka mata lalu menoleh ke arah kamera. Tatapannya penuh kedalaman—memikat dalam keheningan yang terasa intens. Sampai pada satu titik, saya menangkap aura menggelisahkan lewat ekspresinya. Ia punya bakat antagonis yang menyeramkan, pikir saya. Suasana intens itu lantas mencair tatkala kami memintanya bermain bola basket di adegan berikutnya. Senyumnya pecah hingga menjadi gelak tawa. Dibalut setelan busana mirip seorang pelajar, ia sekilas tampak selayaknya siswa populer favorit sekolah—sang kapten jagoan tim olahraga. “Percayalah, saya tidak pernah masuk barisan anak populer semasa sekolah dulu. Anda bahkan tidak akan pernah memerhatikan keberadaan saya seandainya kita bersekolah bersama,” katanya tergelak ringan.

Sesi pemotretannya bersama ELLE rampung dalam waktu dua jam, memberikan kami durasi lebih untuk berbincang sebelum ia bertolak menjalankan agenda publikasi film terbarunya, Pernikahan Arwah yang— pada waktu itu—akan menggelar premier di akhir bulan Februari. “Apakah kita akan berbincang dengan direkam video?” tanya Morgan. Semburat waswas mengemas intonasinya. “Saya hanya tidak begitu menyukainya,” katanya. Berhadapan di depan kamera? Suatu pernyataan yang sedikit bertentangan dengan kenyataan yang baru saja saya saksikan selama beberapa jam terakhir, terlebih lagi bila mengingat profesinya. “Membicarakan tentang diri saya,” ia menjelaskan, “Well, saya sebenarnya cenderung menghindari interaksi publik, bahkan saya kerap menyendiri di tengah perkumpulan keluarga besar. Mungkin, karena pada dasarnya, saya adalah orang yang pemalu sejak kecil.” Ia menangkap kesangsian menyelimuti raut wajah saya, lalu tertawa. “Saya tidak lantas menghindar secara sengaja; bagaimanapun ini adalah bagian tak terhindarkan dari pekerjaan saya. I have to be professional. Tapi butuh adaptasi untuk saya nyaman bercakap-cakap. Barangkali itu sebabnya saya akhirnya memilih berkarya di dunia film. Ada perasaan nyaman setiap kali berinteraksi dengan kamera sinema—meski puluhan kru berdiri di belakangnya,” ujarnya.

fashion Prada (shirt & pants).

Morgan Oey bukanlah pendatang baru di jagat sinema Indonesia. Jejaknya telah solid menapaki layar televisi, web, hingga bioskop sepanjang hampir 15 tahun. Sampai hari ini, lebih dari 30 judul film mencatatkan namanya—pun jumlah tersebut masih akan terus bertambah di masa depan, dengan serangkaian proyek yang masih dalam tahap produksi; beberapa karya yang mengantre jadwal perilisan, termasuk Pengepungan di Bukit Duri pada bulan April mendatang; dan selama hasrat berkaryanya senantiasa bergelora. Ia menemukan ketertarikan menjejaki seni peran ketika menginjak usia 21 tahun—tatkala bermain sinetron Cinta Cenat Cenut (2011) yang menampilkan grup vokal SM*SH, di mana ia merupakan salah satu anggota orisinalnya sebelum undur diri pada 2013. Kendati tertarik, ia tidak lantas menetapkan akting sebagai jalan hidup. “Saya pikir, apa saya bisa menjalankan sesuatu hanya karena rasa suka? Seni peran adalah dunia baru yang tidak pernah terjamah oleh saya sebelumnya selain dari bangku penonton. Apakah saya mampu menjadi sosok dalam layar itu?” katanya.

Lahir di Singkawang pada tahun 1990, laki-laki bernama lengkap Handi Morgan Winata (Oey dalam bahasa Hokkien merepresentasikan marga Winata) ini tumbuh besar dengan keinginan melihat dunia secara lebih luas. Masa kanak-kanaknya diselimuti angan tentang sosok pilot. Lalu sebagaimana anak kecil pada umumnya yang senantiasa berganti cita-cita, karisma kehidupan pilot menguap dari benaknya seiring perkembangan usia. Meski begitu, keinginan melalang buananya tetap bertahan. “Singkawang akan selalu menjadi kampung halaman saya. Di sana rumah saya. Tetapi, saya juga merasa kalau jalan hidup saya ditakdirkan di luar Singkawang,” katanya. Beranjak dewasa, ia tidak menaruh kekaguman pada satu profesi tertentu, melainkan geliat teman-teman kampung halamannya yang pergi merantau ke benua tetangga. “Dulu saya ingin sekali melanjutkan sekolah ke Australia. Orangtua saya memang selalu menyemangati agar semua anaknya merasakan hidup merantau ke luar Singkawang. Di satu sisi—layaknya orangtua lainnya, saya pikir—ibu saya juga tak luput dari rasa khawatir mengizinkan kami pergi terlalu jauh dalam memulai hidup mandiri. Restu itu akhirnya datang ketika saya memutuskan kuliah ke Jakarta.” cerita anak sulung dari tiga bersaudara laki-laki itu.

Di Jakarta, hari-hari Morgan diisi oleh kegiatan mahasiswa jurusan Ilmu Teknologi di Universitas Bina Nusantara kampus Anggrek. Tidak ada yang di luar kebiasaan, sampai suatu ketika semesta menuntun langkahnya kepada Ichwan Thoha lewat sebuah acara pekan mode yang diselenggarakan di kampusnya. Sebuah pertemuan yang mengantarkan ia menjelajahi industri modeling. “Sekolah sembari bekerja bukan hal baru buat saya. Dulu semasa sekolah menengah di Singkawang pun saya sempat bekerja paruh waktu, bantu-bantu di bengkel kerabat. Rasanya ada kebanggaan pribadi ketika saya bisa memiliki penghasilan sendiri— meskipun tidak seberapa; ketika bisa ‘jajan’ sesuatu yang saya inginkan tanpa membebankan orangtua,” kisahnya, “Ditambah lagi biaya hidup di Jakarta ternyata jauh lebih tinggi daripada Singkawang.”

fashion Dior (shirtjacket & pants).

Morgan kemudian bergabung ke dalam agensi model Platinum asuhan Ichwan Thoha (agensi yang sama yang kala itu menaungi Vino G. Bastian, Dion Wiyoko, dan Fedi Nuril). Perawakannya yang tinggi menjulang 178 sentimeter langganan menghiasi katalog media periklanan. Pada 2010, tak lama berselang menjalani kiprah permodelan, ia menerima tawaran untuk menyempurnakan formasi sekelompok boyband: SM*SH (baca: SMASH; singkatan dari Seven Man as Seven Heroes). “Saya bisa menyanyi, tapi tidak pernah sekalipun tebersit keinginan menjadi seorang penyanyi. Pertunjukan menyanyi saya pun hanya seluas bilik karaoke bersama teman-teman sepulang sekolah. Namun, penawaran itu merupakan sebuah peluang mencicipi suatu dunia yang baru,” kata Morgan mengenang motivasi yang menggugah jiwa pemalunya menyetujui keterlibatan dalam proyek tersebut. Setelah kurang lebih enam bulan menjalani kamp pelatihan intensif meliputi kelas vokal, modern dance, hingga tindak-tanduk berbicara di hadapan publik; SM*SH merekam beberapa lagu demo, termasuk di antaranya I Heart You—debut single yang merebut hati publik dan meledakkan pamor SM*SH ke pusaran industri musik Indonesia. “Anda tahu, demo lagu kami sempat ditolak oleh berbagai label musik besar, stasiun radio, sampai televisi. Akhirnya kami merilis musik secara indie melalui YouTube,” ungkap Morgan.

Berbekal formula catchy musik pop ditambah penampilan koreografi boyband modern yang mengadopsi gaya K-Pop, SM*SH berhasil menjadi grup vokal laki-laki paling sensasional pada masanya. Lagu mereka mendominasi playlist radio-radio Tanah Air dan merajai tangga lagu acara musik televisi. Setiap kali mereka naik panggung pertunjukan, massa berkumpul dan beramai-ramai menyanyi bersama. “Antusiasme masyarakat yang sangat besar itu benar-benar di luar dugaan. Kebahagiaannya begitu luar biasa, tetapi di saat bersamaan muncul perasaan tertekan,” aku Morgan. Hidupnya berubah 180 derajat dalam waktu singkat, dan untuk meraih kesuksesan diiringi ketenaran pada usia 20-an bukanlah perkara mudah. Perlahan- lahan rasa gelisah menggerayang. Segala hal di dunia ada batas waktunya, apa yang terjadi bila semua ini berakhir? Rentetan pekerjaan yang hampir tiada jeda pun semakin memperparah kondisinya. Morgan kelelahan, baik fisik maupun mental. “Sampai pada titik di mana saya tidak lagi bahagia melakukannya,” ujarnya. Tak ingin persoalannya memengaruhi kinerja tim, ia menetapkan keputusan untuk mundur dari SM*SH sebagai langkah bijak.

Morgan pulang ke kampung halaman dalam rangka mencari ketenangan. Namun pikirannya terus- menerus berkecamuk mempertanyakan keabsahan atas pilihan hidupnya. “Bohong jika saya tidak merindukan naik-turun panggung bersama SM*SH,” katanya. Ia tahu tidak bisa memutar ulang waktu, pun membatalkan keputusannya. Maka satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah kembali menemukan hasrat hidupnya—yang sejati. Lalu di tengah perenungan yang berlangsung selama hampir tiga bulan, Morgan menerima telepon dari seorang kenalan produser sinetron televisi. Ia bergulat di antara dua pilihan: kembali ke Ibu Kota untuk memulai bangku perkuliahan dari awal, atau mengeksplorasi dunia sinema. Ia memilih yang kedua. “Tiba-tiba saya teringat akan hari- hari di mana saya menikmati berakting di Cinta Cenat Cenut. Saya pikir, jika ada yang ingin saya lakukan di dunia hiburan, barangkali itu adalah bermain peran,” pertimbangannya.

fashion Dior (track suite & jacket).

Satu tahun menyemarakkan televisi, Morgan menjajal tantangan berlakon di layar lebih lebar. Tidak tanggung-tanggung, ia menyanggupi kepercayaan untuk memerankan tokoh utama dalam film karya besutan Guntur Soeharjanto, Assalamualaikum Beijing (2014). Filmnya pecah di pasar, dan Morgan Oey memenangkan penghargaan Aktor Pendatang Baru Terpilih Piala Maya 2015. Selanjutnya hampir tidak pernah ada tahun tanpa presensi Morgan Oey di layar lebar. Bahkan ia bisa muncul dalam lima judul film di tahun yang sama. “Saya harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan diri bahwa saya bukan sekadar aktor aji mumpung,” katanya. Realitasnya banyak orang yang skeptis dan kerap sentimen terkait eksistensi Morgan di ranah sinema. Ia dipandang sebelah mata sebagai “bakat modal tampang” yang berlimpah “privilese” karena faktor status penyanyi populer. “Ketika Anda senang mengerjakan sesuatu dan ingin mengerahkan kemampuan terbaik sepenuh hati, tetapi semua orang seakan-akan meremehkan Anda bahkan tanpa memberikan kesempatan atas usaha Anda; it was really hard. Saya tidak bermaksud menghakimi mereka, sebab tak dipungkiri hal itu kerap dirasakan oleh orang-orang di posisi mereka.” Morgan berkisah, “Namun saya tahu apa yang saya inginkan; apa arah tujuan saya; serta bagaimana saya dapat mencapainya; dan saya tidak membiarkan perilaku mereka memengaruhi fokus saya berkarya.”

Morgan bertekad mempelajari seni peran secara lebih mendalam. Ia mendambakan karakter-karakter yang lebih beragam dari sekadar sosok protagonis berhati baik yang mendominasi portofolio perannya di tahun-tahun awal merintis kiprah keaktoran hingga seakan-akan mengemas citra merek seorang Morgan Oey. Ia tidak berhasrat terjebak dalam satu stereotipe. “Rutinitas dapat membuat seseorang kebosanan, dan saya tidak menginginkannya. Penting untuk saya terus-menerus mengasah kemampuan dengan memerankan karakter yang berbeda-beda. Dengan begitu, saya dapat berkembang. Saya tidak terus menolak peran protagonis yang datang. Tapi saya mulai mencari kebaruan. Saya tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil peran-peran yang menurut saya karakternya menantang, walaupun waktu kemunculannya sedikit,” katanya. Tahun 2018, ia mendapatkan porsi kecil di proyek film The Night Comes For Us karya sutradara Timo Tjahjanto yang sarat brutalisme.

Tahun berikutnya, ia ambil bagian dalam karya drama komedi My Stupid Boss 2. Perlahan-lahan grafik karier Morgan Oey mulai menunjukkan semburat warna. Ia kembali mengulik thriller lewat I Will Survive (2021); menelaah misteri di Teka-teki Tika (2021) besutan Ernest Prakarsa; hingga tampil sebagai laki-laki berperangai intimidatif dalam Puisi Cinta yang Membunuh (2023) di bawah arahan Garin Nugroho. “Saya belajar banyak tentang kepribadian manusia dari setiap karakter yang saya perankan; belajar bagaimana membangun emosi, dan cara mengatur strategi dalam melampaui tekanan dengan tenang. Menjadi aktor benar-benar mengajarkan saya akan berbagai hal yang tidak hanya meningkatkan kemampuan saya dalam berperan, tetapi mengembangkan kepribadian saya sebagai individu,” kata Morgan.

fashion Hermès (shirt & accessories).

Bulan April tahun ini, ia dipercaya mengawal tokoh sentral dalam narasi film Pengepungan di Bukit Duri karya teranyar sutradara Joko Anwar. Karakternya adalah seorang guru berlatar belakang keluarga Tionghoa, yang berusaha melindungi siswanya dari kekerasan murid preman, sambil berjuang untuk bertahan hidup di tengah kekacauan massal yang memorak-porandakan negara. Sebuah peran yang diakui oleh sang aktor sangat menguras energi. “Ada keterhubungan perasaan yang membuat saya dapat memahami betul emosional Edwin (karakter yang ia perankan),” ungkapnya. Ia sendiri berasal dari keluarga berdarah Tionghoa. Sebagai warga minoritas yang pernah menyaksikan ketegangan etnis dan diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa di Tanah Airnya, Morgan tumbuh dengan wejangan leluhur untuk menghindari keterlibatan dalam isu-isu bersifat politik. “Singkawang adalah kota yang seluruh warganya hidup berdampingan dengan sangat damai. Tetapi kami juga tidak memungkiri bahwasanya sejarah kelam negara ini pun turut memberikan dampak trauma emosional nyata pada kami,” ungkapnya.

Apakah film ini menjadi bentuk manifestasi suaranya? Tidak. “Buat saya, film berarti terlalu personal. Film adalah memanifestasi self-development; sebuah perjalanan personal yang mengiringi pertumbuhan saya sebagai manusia yang lebih baik setiap harinya,” kata Morgan, “Saya tidak berusaha menjadi political lewat film. Bukan tidak mau karena takut, tetapi ambisi Morgan sebagai aktor saat ini tidak muluk-muluk. I want to do an art; sebuah karya yang bisa dinikmati orang hingga 50 tahun atau 100 tahun ke depan. Sebab film sendiri merupakan seni yang sifatnya timeless,” pungkas Morgan.