LIFE

20 Oktober 2022

Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra Mengenang Perjalanan Dua Dekade Bermain Peran


PHOTOGRAPHY BY Zaky Akbar

Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra Mengenang Perjalanan Dua Dekade Bermain Peran

styling by Sidky Muhamadsyah; watches (Chanel); makeup Stella Gracia; grooming Claudya Purba; styling assistang Ghina Rizqi & Gisela Gabriella

Mengarungi catatan sejarah dengan menjelajahi momen-momen penting secara personal. Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra menapaktilasi cerita pribadi di masa lalu terkait dengan sejarah perjalanan mereka dalam menekuni dunia seni peran di industri hiburan Tanah Air.


Membaca memoar karier seseorang ibarat diajak masuk ke mesin waktu, melintasi periode zaman dari masa ke masa yang dilakukan melalui pendekatan pengalaman dan nostalgia yang personal. Pengalaman hidup pribadi yang sarat ingatan yang kuat menjadi modal utama untuk melakukan berbagai pemetaan tentang perjalanan seseorang, termasuk ketika membahas pengalaman karier keaktoran. Dalam pengembaraannya, kebintangan tidak hanya membawa citra kecantikan dan ketampanan, tapi ada berbagai aspek yang ikut menentukan bagaimana sosok artis itu akan diingat. Popularitas lahir dari beragam unsur yang kompleks seperti misalnya kejelian produser, kepekaan sutradara, daya tarik film, teknologi media peliput, dan tentunya kekuatan artis itu sendiri. Dari sekian banyak jumlah pelaku di dunia seni peran, kedua sosok berikut telah malang melintang di perfilman sejak 20 tahun silam dan kukuh pada eksistensi hingga relevan sampai saat ini.

Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra sama-sama memulai karier lewat pentas film layar lebar Ada Apa dengan Cinta? karya sutradara Riri Riza yang dirilis 2002 silam. Adinia menjelma pada beragam persona karakter, mulai dari peran Karmen sebagai remaja tomboi dan pemberani, hingga seorang ibu tunggal sekaligus pengacara di film Susah Sinyal. Sementara Nicholas Saputra dapat disimak lewat peran-perannya yang nyaris tak pernah ada yang benar-benar sama. Usai berperan sebagai Rangga yang sukses melambungkan namanya di jagat perfilman, ia kemudian memerankan Soe Hok Gie, aktivis sekaligus mahasiswa pencinta alam, kemudian menyelami kehidupan seorang anggota kepolisian di film teranyarnya, Sayap-Sayap Patah. Berbasis pengalaman dua dekade di dunia seni peran, Adinia Wirasti dan Nicholas Saputra mengutarakan kisah perjalanan dan sudut pandang menyoal keterlibatan mereka dalam sejarah perfilman Indonesia sejak bangkitnya film Indonesia dari mati suri.


Kembali ke masa lalu, ketika pertama bertemu dalam proyek Ada Apa dengan Cinta? apakah saat itu Anda sudah bercita- cita jadi pemain film?

Nicholas Saputra (NS): “Sepertinya tidak karena saya memang enggak pernah punya mimpi mau menjadi apa atau ingin melakukan apa. Semua dalam hidup sifatnya mengalir. Terlebih saat itu perfilman Indonesia belum sedemikian maju dan berkembang seperti sekarang. Setelah beberapa tahun tidak terdengar pertumbuhan film Indonesia, waktu itu hanya ada Kuldesak (1998), Petualangan Sherina (2000), dan Jelangkung (2001) yang bisa dianggap sebagai film berkualitas. Saya sendiri senang menonton Petualangan Sherina dan berharap Ada Apa dengan Cinta? bisa ditonton banyak orang, namun saat itu belum bisa membayangkan seperti apa kelak profesi pemain film.”

Adinia Wirasti (AW): “Sebenarnya sejak kecil saya bercita-cita ingin jadi atlet basket. Namun saya sudah mengubur mimpi itu ketika saya mengalami cedera lutut akibat jatuh. Tapi ternyata pertama kali bermain film saya justru mendapat peran seorang remaja yang hobi main basket.”

Apa yang menyenangkan dari menjadi aktor?

AW: “Suatu masa saya jadi anak remaja, kemudian menjelajahi periode waktu di mana saya jadi perempuan yang hidup era 1800-an. Pada momen yang lain, saya merasakan pengalaman hidup seorang dokter lantas menjadi perempuan berkarier. Siapa yang dapat mengalami kesempatan ini? Rasanya hanya aktor yang bisa mengeksplor beragam sisi kehidupan manusia tanpa benar-benar harus menanggung resikonya.”

NS: “And it makes me wiser. Saya tumbuh jadi seseorang yang melihat sesuatu tidak hanya dari satu aspek tapi bermacam elemen yang sudah pernah saya alami sebelumnya.”

Adinia Wirasti mengenakan jam tangan Première Edition Originale.

Apa kenangan terindah tentang awal karier yang masih Anda ingat?

AW: “Ada banyak sekali, salah satunya pengalaman syuting 3 Hari untuk Selamanya (2007). Saat itu saya berusia 17 tahun dan dituntut untuk belajar bepergian seorang diri. Tentu ada sutradara dan kru film yang mengurus perjalanan, namun di umur semuda itu saya punya kesempatan luar biasa untuk mengalami perjalanan darat dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak pertama main film, saya masih merasa bahwa hitungan waktu di antara teriakan ‘Action!’ dan ‘Cut!’ adalah momen- momen yang amat sakral. Pada saat itu saya harus bersiap untuk menjumpai peristiwa apa pun yang bisa terjadi. Selalu ada kesan magis yang terasa nyata pada ‘first take’ saat syuting dan kerap kali dibutuhkan sensibilitas dan sensitivitas tinggi untuk menghadapi momen tersebut.”

NS: “Syuting hari pertama Ada Apa dengan Cinta? menjadi momen paling berkesan. Saat itulah saya memutuskan bahwa saya memilih profesi aktor dan akan mengerjakan apa pun yang berhubungan dengan seni peran di sepanjang hidup saya. Tidak butuh waktu lama buat saya jatuh cinta dengan perfilman. Terlebih saat itu kali pertama saya menyaksikan sebuah karya film dengan durasi sekitar 120 menit dibuat oleh ratusan orang dari berbagai departemen. Saya begitu terpukau dengan rangkaian proses kerja kolaboratif untuk menghasilkan sebuah karya film.”

Momen apa yang menjadi penting dalam perjalanan selama lebih dari 20 tahun?

AW: “Ketika saya menyadari bahwa sebagai pemain, saya punya tanggung jawab untuk ikut menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi semua orang yang terlibat dalam proses syuting. Sebab tak bisa dipungkiri, ada banyak kelompok rentan dalam industri perfilman yang akhirnya bikin kita harus saling melindungi satu sama lain. Saya senang melihat kini sudah mulai bermunculan suara orang-orang yang selama ini dianggap powerless padahal sama sekali tidak.”

NS: “Kami memulai seni peran di usia muda. Suara kami nyaris tidak didengar dan pendapat kami tidak cukup signifikan pada saat itu. Dan seiring waktu berlalu, kami bertemu dengan banyak orang dan mengalami banyak hal. Ketika kita sudah malang melintang dalam dunia pekerjaan yang telah membesarkan nama dan karier, maka sudah semestinya kita ikut berkontribusi menjaga ekosistem di dalamnya agar industri ini tetap bertumbuh dan berkembang ke arah lebih baik.”

Nicholas Saputra mengenakan jam tangan J12 Phantom Calibre 12.1 38mm

Dua dekade menekuni karier di perfilman, menurut Anda hal apa yang akhirnya membuat Anda selalu relevan dengan zaman?

AW: “Embracing the struggle. Waktu awal memulai karier, saya dianggap ‘terlalu Indonesia’ untuk sebuah film Indonesia. Katanya kulit saya terlalu gelap dan tubuh saya terlalu atletis. Tidak jarang saya kehilangan kesempatan karena dianggap ‘Indonesia banget’. Dulu figur-figur publik yang berkulit gelap agak susah diterima dan syukurnya sekarang keadaan sudah berbeda, tapi bukan berarti tidak ada tantangan sama sekali. Saya rasa apa yang bikin saya bertahan di industri ini adalah keberanian saya untuk melewati semua tantangan dan menjalani perjuangan dengan optimis. Saya gigih berjuang membuktikan bahwa tidak ada yang bisa menjauhkan saya dari dunia seni peran, kendati warna kulit saya cenderung gelap. Selain itu penting buat seorang pemain film untuk tahu kondisi sosial ekonomi politik terkini, mendengar peradaban manusia dan tidak masa bodoh dengan isu-isu penting.”

Menurut Anda, apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang aktor?

NS: “Kemauan untuk mempelajari kehidupan agar dapat menghidupkan sebuah karakter. Dan buat seorang pemain film, on camera ataupun off camera adalah proses pembelajaran. Kita bekerja bukan hanya ketika sedang syuting, bahkan dalam keseharian, termasuk ketika sedang travelling, saya banyak belajar tentang beragam kebudayaan dan berbagai karakter manusia, sebuah ilmu yang pasti terpakai ketika kita sedang bekerja.”

AW: “Dorongan untuk mau belajar itu signifikan sekali. Dan penting untuk tidak hanya menyanggupi, tapi juga mampu menolak hal-hal yang tidak sejalan dengan prinsip kita. Selain itu kesabaran juga punya andil besar. Kita perlu sabar menanti datangnya proyek yang sesuai keinginan, sabar menunggu di lokasi syuting, sabar mengharap kabar dari produser dan sutradara, dan sabar ketika mengidamkan lawan main yang cocok. Nikmati proses dan waktu sampai yang dinantikan itu tiba saatnya.” 

Nicholas Saputra mengenakan jam tangan J12 Wanted de Chanel 38mm; Adinia Wirasti mengenakan jam tangan J12 Wanted de Chanel 33mm dan jam tangan J12•XS 19mm.

‘Waktu adalah uang’ menjadi adagium terpopuler tentang signifikansi waktu, sesuatu yang tidak bisa diulang apalagi ditambah. Bagaimana Anda memaknai perjalanan waktu selama berkarier di dunia perfilman?

AW: “Dari tahun ke tahun, saya merasa jadi makin berani dalam mengambil tantangan. Rasanya jadi punya nyali lebih besar untuk mengambil resiko buat masuk ke dalam karakter dan peran tertentu. Tapi saya juga menyadari, lama-kelamaan isu kesehatan mental menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Saya sangat menghargai setiap detik yang berlalu di mana proses pembelajaran itu terus- menerus terjadi sehingga saya jadi lebih berani menganalisa, berani mengambil keputusan, dan berani menerima resiko.”

NS: “Saya tidak pernah punya mimpi yang muluk-muluk karena saya menyadari pekerjaan aktor sifatnya pasif. Kami menunggu waktu yang tepat sampai akhirnya menerima tawaran peran yang menarik dan pas dengan kata hati. Namun bukan berarti jadi kerja asal-asalan karena menjalani profesi aktor juga harus dijalani secara profesional. Termasuk punya kemampuan beradaptasi. Selama berada di industri perfilman, saya dituntut untuk terus beradaptasi dengan situasi baru, teman kerja baru, lawan main baru, dan sebagainya. Dari masa ke masa, saya sendiri tidak terlalu cemas apabila regenerasi aktor membuat posisi saya tergeser. Karena buat saya, popularitas terlihat jauh lebih menakutkan ketimbang kondisi dilupakan oleh khalayak. Dan hampir tidak pernah ada seniman yang mengenal konsep pensiun. Mungkin tidak lagi menjadi pemeran utama dan bisa jadi kelak hanya bermain di peran-peran kecil. Yang terpenting tetap menekuni perfilman. Saya rasa pekerjaan apa pun bisa dilakukan sampai seumur hidup jika memang kita sanggup menjalaninya. Dan dalam perjalanannya, tidak terlalu penting buat saya apakah dampaknya bikin populer atau tidak dan sedikit atau banyak jumlah penontonnya. Sebab sampai kapan pun, I always see myself as an actor.”