LIFE

19 Juni 2024

Adipati Dolken Menekuni Petualangan Hidup yang Penuh Tantangan


PHOTOGRAPHY BY Anton Ismael

Adipati Dolken Menekuni Petualangan Hidup yang Penuh Tantangan

styling Ismelya Muntu; grooming Tannya Tirmidzi; fashion Burberry; styling assistant Angel Febian

Apakah perlu waktu untuk mengenal Adipati Dolken? Pada pertemuan pertama di sebuah lokasi pemotretan pagi menjelang siang, sikapnya amat formal, sedikit kaku, dan terasa benar sedang menimbang kemampuan orang yang diajak bicara. Setiap pertanyaan dijawab seperlunya. Namun untunglah, situasi kaku ini lekas terpecahkan manakala ia berada di depan kamera sang fotografer. Ia bisa tertawa lepas. Tak ada beban. Tiba waktunya sesi wawancara, hanya dalam hitungan menit, perbincangan dengan Adipati sudah langsung cair. Karakternya yang kuat dan tegas langsung terbaca. Ia memang tak suka basa-basi, cenderung ceplas-ceplos, langsung pada sasaran, namun tetap disampaikan dengan cara yang luwes. Namun di balik senyum yang mengembang ada kerja keras untuk meraih seluruh keberhasilan. Kematangannya dalam berakting pun bukanlah hal yang instan. Adipati Dolken telah memulainya sejak 2008 silam. Sudah16 tahun ia meniti karier sebagai aktor. Selama itu ia memilih peran yang lebih memerlukan tantangan penjiwaan. Mungkin karena dilandasi rasa cinta dan penghayatan yang dalam, setiap peran yang dilakoni hampir pasti menuai puji.

Di kalangan kritikus film, Adipati Dolken dinilai sebagai aktor karakter yang handal. Bagaikan bunglon, ia berubah pada setiap perannya. Kadang terlihat keras ketika menjadi remaja SMA dalam film Posesif dan saat memerankan anggota serikat pekerja yang memprotes kebijakan perusahaan dalam serial Rencana Besar. Ia juga bisa lucu saat beradegan sebagai Kasino dalam film Warkop DKI Reborn dan setengah menyebalkan sebagai seorang pengacara sukses di film Perfect Strangers. Ia turut dapat menyentuh hati dengan memerankan seorang sahabat setia dalam film Malaikat Tanpa Sayap. Terbiasa bermain film bergenre drama, Adipati kemudian terlibat di film laga berjudul The Shadow Strays arahan sutradara Timo Tjahjanto yang menuntut hafalan sejumlah gerakan atau koreografi perkelahian. Adipati adalah aktor yang layak menjadi bintang karena bakat dan kepiawaiannya dalam berakting. Ia berhasil meraih Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Pria Terbaik di ajang Festival Film Indonesia atas perannya sebagai salah satu santri KH Hasyim Asyari dalam film Sang Kiai. Selain itu ia juga sempat dinominasikan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di FFI, Aktor Utama Terpilih di Piala Maya, dan Pemeran Utama Pria Terfavorit di ajang Indonesian Movie Actors Awards, atas penampilannya sebagai Yudis di film Posesif.

fashion Givenchy (blazer, kemeja, dan celana), Gucci (sepatu).

Adipati melakukan kerja keras untuk meraih semua itu dalam bersaing di dunia hiburan yang sangat kompetitif. Ia memang berprinsip untuk memilih proyek dengan kriteria yang cukup ketat. Prinsipnya, film atau serial yang dibawakannya harus memiliki cerita yang berkualitas. “Keseluruhan narasi yang dibangun menjadi salah satu faktor penting buat saya menentukan keputusan. Ceritanya mengisahkan tentang apa? Dari situ baru saya bergerak ke pertanyaan selanjutnya, karakternya bagaimana? Sehabis itu saya cari tahu sutradaranya dan siapa yang jadi lawan main,” tukasnya seraya menekankan bahwa jalan cerita adalah pertimbangan pertama dan utama. Terkesan perfeksionis memang. Dalam memilih peran, Adipati konon cenderung menyukai karakter-karakter yang nyata dan memang ada sosoknya dalam kehidupan keseharian.

“Seorang remaja yang menjalani hubungan toksik, pekerja kantoran yang sedang mencari cinta, pengacara sukses yang rumah tangganya menyimpan rahasia, seorang anak yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa ayahnya. Tanpa perlu banyak gimmick, peran-peran ini eksistensinya memang ada di kehidupan nyata dan saya senang bisa memerankan beragam karakter manusia, sebuah pekerjaan yang membuat kami para aktor jadi penuh dengan pembelajaran dan pengalaman,” kata Adipati. Berbagai genre film, dari komedi, roman, drama, laga, hingga biopik, telah diperankan olehnya. Adipati menjadi salah satu aktor Indonesia yang namanya diperhitungkan di jajaran pelaku seni peran Tanah Air. Lantas bagaimana cara dia mempertajam kemampuannya? “Seorang aktor tidak punya perlengkapan benda apa pun untuk menjalankan profesinya. Tak seperti karyawan kantoran yang bekerja dengan komputer dan buku tulis ataupun seorang pelukis yang ‘bergerak’ dengan kuas dan kanvas. Satu-satunya ‘alat’ yang dimiliki aktor adalah perasaan dan imajinasinya. Maka saya tidak pernah berhenti untuk selalu mengasah emosi, mengelola tubuh, dan memainkan imajinasi. Salah satu metode yang kerap saya gunakan adalah melukis dengan tangan sebagai kuasnya untuk menuangkan perasaan saya ke dalam kanvas kosong. Setelah itu hasil lukisannya dirusak lalu dibuang seolah-olah lukisan itu tidak diterima karena pada akhirnya keikhlasan dan penerimaan membuat hati dan pikiran jadi lebih luas. Dengan cara ini, saya dapat memahami bahwa menjadi aktor sesungguhnya dimulai dengan membuka diri untuk menerima segala bentuk emosi dan perasaan,” ujarnya.

fashion Burberry (blazer, kemeja, dan celana)

Kemampuan ini terbentuk secara natural ketika awal karier Adipati banyak mengambil tawaran peran bermain sinetron dan film televisi. Namun sejatinya ia masuk dunia keaktoran tanpa sengaja. Perkenalannya dengan seni peran dimulai saat sang kakak yang sudah lebih dulu masuk dunia akting mengajaknya ikut casting. “Menelusuri masa lalu saat saya baru masuk industri, kenangan yang muncul justru memori-memori yang kurang bagus. Saya ingat benar kali pertama bermain dalam sinetron dan film televisi, saat itu kemampuan akting saya memancing kemarahan dan kekecewaan sutradara. Saya bahkan pernah mendapat sebuah peran tanpa dialog satu kata pun saking buruknya penampilan saya. Momen itu cukup membekas dan akhirnya menjadi pemicu agar saya berusaha lebih keras dan berlatih lebih giat. Kejadian tidak enak yang akhirnya menimbulkan perasaan bahwa saya harus bisa membuktikan saya bisa dan mampu membawakan peran dengan baik dan benar,” kisahnya. Meski menempuh jalan yang tak mudah sebagai seorang pekerja seni, Adipati terus melaju. Kritik dan sinis dari berbagai pihak diterima dengan Ikhlas. Ia terus konsisten dan setia mengabdi pada dunia seni peran hingga kini namanya ada di jajaran depan perfilman Indonesia. Salah satu sosok cemerlang dalam dunia sinema yang tergolong produktif dalam berkarya dan memang, ada banyak kisah mengenai sang aktor dan hidupnya.


Masa kini akan dimengerti apabila kita mengerti akan masa lalu. Masa depan adalah sebuah garis linear yang senantiasa terkait antara masa lalu dan masa kini. Pengalaman kesejarahan ini menjadi amat penting saat memahami Adipati Dolken. “Saya melihat ada tiga fase dalam karier keaktoran saya. Pertama ketika terlibat di film Perahu Kertas, saat itu orang-orang mulai mengenali saya dan berbagai tawaran peran pun semakin banyak berdatangan. Salah satunya Sang Kiai, sebuah film yang membuat saya meraih Piala Citra. Momen yang sempurna, ada penghargaan prestisius dan mulai punya ketenaran. Sehabis itu rasanya seperti jalan di tempat. Saya mulai merasa nyaman dan seringkali mendapat tawaran peran dengan karakter yang mirip-mirip. Saya lalu masuk fase kedua ketika bermain di film Posesif. Saat itu bukan hanya merasa mulai memahami cara kerja industri film, tapi juga semakin menyadari bahwa penting bagi seorang pelaku seni untuk memaksimalkan kemampuan karena memang tidak bisa setengah-setengah kalau mau jadi aktor yang baik. Sedangkan fase ketiga adalah saat ini ketika usia semakin dewasa maka saya jadi lebih peka lagi untuk memahami profesi aktor dan hal-hal lain di luar pekerjaan, menyadari saya tidak bisa lagi berbuat sesuka hati karena ada banyak pertimbangan, termasuk menyeimbangkan antara sikap idealis dan realistis,” ujar Adipati.


Buat Adipati, kehidupan telah mengajarkan banyak hal padanya dan apa yang dia rasakan adalah bagian dari kesempatan untuk belajar. Ia seperti ‘dipaksa’ untuk belajar mendapatkan segala sesuatu secara otodidak. Adipati Dolken adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Laki-laki kelahiran 1991 silam ini sempat menghabiskan masa kecil di Lake Tekapo, New Zealand. Satu peristiwa kurang mengenakkan terjadi ketika Adipati berusia 9 tahun, ibunya tiba-tiba pergi meninggalkan rumah. Kepergian mendadak sontak mengubah seluruh keadaan keluarga. Tahun-tahun setelah ibunya pergi adalah masa terberat. Ia merasa saat itulah proses pembelajaran dan pencarian jati diri terjadi. Sejak itu, jalan seolah membentang untuknya. Sementara jalan hidupnya sebagai aktor pun tak pernah ada dalam pikirannya. Semuanya mengalir begitu saja. Dan setelah menikah lalu memiliki anak, Adipati mengakui kehidupannya semakin matang. Ia mulai meresapi apa yang disebut sebagai esensi kehidupan. “Buat saya, ditinggalkan itu rasanya lebih sakit dibanding dijahati. Perpisahan tersebut kemudian menjadi problem paling besar yang menempel dan menjadi beban di hidup saya selama beberapa tahun. Hal itu pula yang sama sekali tidak boleh terjadi dengan kehidupan saya kini bersama anak dan istri. Dan setelah menjadi orang tua barulah saya bisa memahami kenapa ayah dan ibu dulu mendidik saya dengan cara mereka, sesuatu yang dulu mungkin menimbulkan banyak pertanyaan. Sekarang saya harus terus berupaya menjadi suami dan ayah yang baik. Sebagai ayah, saya tidak boleh berhenti belajar termasuk perihal cara mendidik. Baik itu tough love atau gentle parenting, keduanya punya sisi baik yang bisa diterapkan. Satu yang pasti, kehadiran anak telah menjadi suatu hal yang mengubah hidup saya. Dan rasanya peran dan tanggung jawab sebagai suami dan ayah itu lama-lama menjadi seperti rem yang mampu menahan diri saya dari hal-hal yang kurang baik,” ucapnya.

Setelah 16 tahun berkarya, nama Adipati Dolken terus menanjak dalam dunia seni peran Indonesia. Popularitasnya meledak cepat, memenuhi pembicaraan di setiap sudut ruang sinema hingga perbincangan tak formal di wilayah pencinta film Indonesia. Keuletan dalam menghadapi tantangan telah mengisi dan memperkaya kreativitasnya. Sedangkan kompetisi adalah keniscayaan, namun itu menjadi sesuatu yang justru dirayakan oleh Adipati Dolken. “Saya senang sekali dan sangat berharap jumlah aktor di Indonesia semakin bertambah banyak. Karena konsep rivalitas atau persaingan, baik dengan orang lain maupun sama diri sendiri, menurut saya penting untuk menyalakan ‘gairah’ dalam diri. Dengan adanya orang-orang lain yang jauh lebih baik, maka hal itu seharusnya bikin kita bersemangat untuk meningkatkan kualitas diri. Jadi ada perasaan tidak tenang karena memang seorang aktor tidak boleh merasa nyaman. Kita harus selalu gelisah mencari cara agar terus-menerus jadi lebih baik lagi. Saya rasa profesi aktor adalah salah satu bidang pekerjaan yang melarang para pelakunya untuk merasa nyaman karena kenyamanan itu bisa membahayakan dan mematikan daya kreativitas,” ujar Adipati.

Ia menganalogikan cinta dan aktivitasnya dalam suara yang sama. Perbincangan sesaat yang mulai menghangat itu harus terhenti seketika karena ia harus melanjutkan aktivitas dengan agenda yang lain. Hari semakin siang, matahari semakin terik, menghangatkan pemikiran-pemikiran cemerlang yang sejak tadi disampaikan. Pada akhir pertemuan, ia sampaikan keinginan yang ingin diraih: menjadi sutradara. Adipati ingin membuat jejak dan mengikuti segala peluang dan tawaran. Kehidupan baru yang tengah dilakoninya menjadi sarana untuk terus menjelajahi rahasia waktu yang misteri dan penuh tantangan.