LIFE

10 Februari 2025

Lukman Sardi Mendominasi Sinema Dulu dan Kini


PHOTOGRAPHY BY HILARIUS JASON

Lukman Sardi Mendominasi Sinema Dulu dan Kini

styling SIDKY MUHAMADSYAH grooming RANGGI PRATIWI styling assistant DZHAFIRA KEYZIA paper flowers FLORA MEMOIR

Beberapa orang tampaknya memang terlahir dengan pesona sebagai teman bicara dalam perjalanan jauh atau malam yang panjang bersama secangkir kopi, Lukman Sardi salah satunya. Berbicara dengan laki-laki ini menghadirkan satu pengalaman baru; seperti sensasi yang terbuai tatkala mencoba suatu kudapan untuk pertama kalinya. Sosok laki-laki yang populer di industri perfilman Tanah Air ini datang tepat waktu, pukul 11 siang. Ia datang dengan mengenakan kaus putih polos dan celana denim. Lukman Sardi memang tidak bisa dibilang muda, tapi dari cara ia berjalan dan berteguran, laki-laki ini terlihat begitu percaya diri. Sesuatu yang membuatnya tampak berkarisma dan menarik dilihat. Segera setelah kami berdua duduk, ia meminum kopi tanpa gula lalu menyimpan handphone di saku celananya. Di sela-sela kesibukannya, Lukman Sardi merawikan sekelumit perjalanan keaktorannya, keterpukauannya pada sinema, dan pandangannya soal proses yang membentuk karakter dirinya.


Not everyone is born to act, moreover be gifted with a charisma. Lukman Sardi salah satu yang memiliki keduanya; bakat berakting dan karisma. Lukman bukan orang baru di dunia perfilman Indonesia.  Ia sudah sangat sering wara-wiri di berbagai judul film dan serial mulai dari genre romantic comedy, action, drama, hingga thriller dan horor. Semuanya bisa dieksekusi dengan baik oleh Lukman Sardi dan nyaris selalu menjadi scene stealer dalam judul-judul yang dibintanginya. Lukman mulai berakting saat usianya tujuh tahun. Tahun 1977, Lukman Sardi ikut beradu peran di film Kembang-Kembang Plastik karya sutradara Wim Umboh yang turut dibintangi Cok Simbara dan Yati Octavia. Lukman memulai karier di dunia film karena peran sang ayah, pemain biola legendaris Indonesia, Idris Sardi. Sebagai komponis, ayahnya kerap menangani scoring dan ilustrasi musik untuk sebuah film. “Sejak saya kecil, ayah menjadi pengarah musik untuk banyak film di Indonesia. Suatu pekerjaan yang membuat beliau terhubung dengan banyak sutradara. Sebetulnya kakak saya, Santi Sardi, yang lebih dulu terjun ke dunia film, salah satu filmnya berjudul Senyum Pagi di Bulan Desember karya sutradara Wim Umboh. Tiba kemudian giliran saya diajak main film oleh Om Wim. Judulnya Kembang-Kembang Plastik (1978). Saya berperan sebagai anaknya Cok Simbara. Mulailah saya main film pertama kali saat berusia tujuh tahun, atas seizin ayah waktu itu. Barangkali Om Wim melihat saya punya bakat seni peran karena ajakan-ajakan main film kemudian tidak berhenti. Saya juga dilibatkan di film Pengemis dan Tukang Becak yang dirilis tahun 1979, sebuah film yang membuat saya untuk pertama kalinya menerima penghargaan Pemeran Anak Terbaik dalam Festival Film Indonesia awal ’80-an,” kenang Lukman.  



Lukman kecil bermain film sebatas untuk bersenang-senang, kendati dunia seni merupakan wilayah yang tak asing buat keluarganya. Ayahnya pemusik legendaris Indonesia. Kakaknya, Santi Sardi, juga terjun ke dunia film. Kakeknya seorang komponis dan pengarah musik pertama di Indonesia. Ibu dari ayahnya, nenek Hadidjah, menekuni seni peran. Sementara nenek dari sang ayah, buyut Bibah, sampai tahun 1980-an masih aktif di dunia sandiwara. Ditambah lagi kondisi perfilman Indonesia sempat mengalami stagnan. Film-film tidak berkembang, penonton jenuh, bioskop kosong, akhirnya industri perfilman Indonesia mati suri. Maka saat itu Lukman tak sedikit pun merasa dunia film kelak menjadi sesuatu yang luar biasa di masa depan. Ia pun mencoba jalan lain. Laki-laki kelahiran 1971 ini kemudian menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Lulus kuliah, ia menjadi pekerja kantoran, lalu bersama sahabatnya sekaligus pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab, Lukman ikut mengajar di sekolah tersebut. Beberapa tahun ia tidak menyentuh dunia film hingga akhirnya suatu hari, seorang teman sedang mengerjakan film pendek dan mengajak Lukman ikut berperan di dalamnya. Tahun 2003, film pendek berjudul Durian itu rupanya dilihat oleh sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana dimana keduanya sedang berencana menggarap film Gie. Tahun 2005, Lukman Sardi memerankan Herman Lantang di film Gie. Mahasiswa jurusan Antropologi di Universitas Indonesia, sekaligus salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI. Sahabat Soe Hok Gie ini juga menjadi penggerak demonstrasi mahasiswa pasca peristiwa 30 September. “Dulu waktu kecil saya memang pernah main film, tetapi setelah berperan di film Gie, gairah untuk berkesenian untuk semakin kuat. Bekerja sama dengan Mira Lesmana dan Riri Riza dan berkenalan lebih jauh dengan para kru film jadi membuka pikiran saya. Mereka orang-orang yang punya komitmen tinggi dan gairah besar saat perfilman Indonesia sedang mati suri. Sejak itu bermain film bukan lagi sekadar bersenang-senang mengisi waktu, sinema telah menjadi bagian penting dalam kehidupan saya.”



Nama Lukman Sardi kembali terangkat ketika film Indonesia bangkit dari mati suri. Sampai hari ini, Lukman masih terus menjadi aktor yang tergolong produktif dalam berkarya. Bisa dibilang, setiap 3 bulan sekali, ia menyelesaikan satu film. Namanya nyaris selalu muncul di beragam karya sinema kendati aktor-aktor baru terus berdatangan. Di kalangan kritikus film, Lukman dinilai sebagai seorang aktor karakter yang andal. Bagaikan bunglon, ia berubah pada setiap perannya. Kadang terlihat keras dalam film Mengejar Matahari dan Sembilan Naga, atau lucu dan setengah menyebalkan sebagai seorang sopir yang melakukan poligami dalam Berbagi Suami. Ia juga dapat menyentuh hati ketika bermain sebagai aktivis Herman Lantang, sahabat Soe Hok Gie dalam film Gie. Lukman bisa berakting sebagai bapak yang anak perempuannya diperkosa dalam 27 Steps of May. Dalam film omnibus Rectoverso bagian Malaikat Juga Tahu, Lukman menjadi seorang autis, sebuah peran yang membuat ia dinobatkan sebagai Aktor Terbaik dalam ajang Indonesian Movie Awards 2013. Lukman pernah menjadi KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Ia turut mampu memerankan tokoh pahlawan bangsa Mohammad Hatta. Lukman juga pernah berprofesi sebagai gigolo dalam Quickie Express karya Dimas Djayadiningrat. Sebagai supporting role di Gara-Gara Warisan, ia juga tampak believable saat menjadi seorang pengedar narkotika. Di film Orang Kaya Baru, Lukman Sardi berperan sebagai ayah dari tiga orang anak yang hidupnya pas-pasan tapi ternyata dia pura-pura miskin demi mendidik ketiga anaknya agar lebih menghargai kehadiran keluarga. Dan baru-baru ini, Lukman menunjukkan kepiawaiannya sebagai aktor dalam peran sebagai sugar daddy di Kupu-Kupu Malam dan seorang Romo di film Kuasa Gelap. Empat dekade lebih, Lukman Sardi telah menjadi salah satu sosok cemerlang dalam dunia perfilman Indonesia.

Ia aktor yang menjadi bintang karena bakat dan kemampuan berakting. Lukman memang berprinsip untuk memilih proyek dengan kriteria yang ketat. Selain kualitas cerita, ia juga teliti memilih proyek yang berpotensi untuk mengembangkan diri. “Saya sangat percaya dan amat mengutamakan sebuah proses. Saya sering sangsi dengan apa-apa yang serba cepat dan instan karena sejatinya manusia perlu bertumbuh dan berproses. Bahkan seorang aktor yang sudah puluhan kali main film tetap harus ikut reading setiap memulai syuting film baru. Kenapa demikian? Sebab proses kita belajar yang membuat hasil di masa depan itu bakal beda. Keberadaan saya di titik ini pun tidak lepas dari perjalanan panjang yang sama sekali tidak instan. Sebab itu saya harus memastikan bahwa ada pembelajaran dari eksplorasi karakter dan pendalaman peran yang dimainkan. Selain juga perlu mempertimbangkan dengan siapa kita bekerja karena kelancaran proses syuting dan kematangan sistem kerja juga penting agar kita semua pelaku sinema dapat bekerja dan berkarya sebaik-baiknya. Saya senang bisa punya kesempatan untuk memainkan karakter yang berbeda dengan peran-peran sebelumnya. Bukannya saya mencari kesulitan, namun semua hal pasti ada tantangannya sendiri. Sama dengan pilihan untuk menjadi seniman atau pekerja kantoran, menjalankan peran sebagai suami dan ayah, masing-masing punya tantangan. Begitu juga dengan peran-peran keaktoran, tidak ada yang tidak menyimpan pembelajaran. Saya sendiri memang selalu menginginkan keberagaman karakter karena saya harus terus belajar dan menghindari kondisi terlalu nyaman. Kenyamanan itu musuhnya kreativitas dan dapat menghalangi pertumbuhan dan pengembangan diri. Sebagai aktor, saya harus terus menantang diri sendiri, menjalani proses, agar punya sensibilitas untuk selalu mengupayakan yang terbaik,” ujarnya.


Bicara kecintaan pada seni peran, Lukman Sardi adalah aktor film yang juga diperhitungkan di dunia teater. Berkisah dari roman karya Pramoedya Ananta Toer, pementasan Bunga Penutup Abad diperankan apik oleh Lukman Sardi bersama Reza Rahadian dan Chelsea Islan yang sukses mendatangkan 1.500 orang penonton dalam tiga hari pementasan pada 2016 silam. Sedangkan di pementasan Nyanyi Sunyi Revolusi, Lukman memerankan Amir Hamzah, penyair era pujangga baru sekaligus legenda di dunia sastra Indonesia. Aktor ini menyelami rasa sunyi dan duka seorang Amir Hamzah, serta mendalami karakter sastrawan tersebut yang seumur hidupnya mempertahankan rasa cinta di tengah hasrat benci yang menggebu-gebu.

“Saya punya cinta yang begitu besar pada profesi aktor dan menaruh rasa hormat pada pekerjaan dan industri film. Dan ketika Anda menaruh rasa cinta dan respek, maka Anda akan merasa bertanggung jawab untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi dengan terus mengupayakan hal-hal yang terbaik. Sebagai aktor yang telah memutuskan film adalah dunia dan hidupnya, maka saya harus terus-menerus belajar, salah satunya melalui teater. Jika atlet perlu latihan di lapangan olahraga kendati tidak sedang bertanding, maka aktor yang sedang tidak syuting juga butuh proses berlatih di panggung teater. Melatih gerak tubuh, artikulasi, menyampaikan apa yang tersirat dan tersurat, menggali karakter yang diperankan, meningkatkan kemampuan improvisasi, sekaligus mendidik kita soal kemampuan berkolaborasi. Dunia teater sangat membantu saya dalam memahami dasar-dasar seni peran, melatih sekaligus memperkuat apa yang sudah ada di dalam diri saya,” ungkapnya.


Lukman Sardi tidak main-main ketika ia mengutarakan cintanya pada dunia film. Kecintaan itu pula yang memberanikan dia untuk melakoni peran sebagai produser dan sutradara serta konsultan cerita untuk berbagai judul film. Baru-baru ini hasratnya juga mewujud dengan mendirikan sebuah rumah produksi Kathanika Films. “Saya rasa sudah saatnya saya memperkaya pengetahuan dari sisi selain keaktoran. Menjalankan production house merupakan bagian dari proses belajar yang memungkinkan saya untuk menyampaikan ide-ide sekaligus memajukan industri film nasional.” Di sisi lain Lukman melihat kompetisi dalam perjalanan karier adalah sebuah keniscayaan. Persaingan dapat memicu gairah untuk berupaya menjadi lebih baik. Tapi di sisi lain, rivalitas juga bisa menampakkan kenyataan bahwa sesekali orang lain bisa lebih hebat dari diri kita.


Kita tentu setuju, Lukman Sardi bukan satu-satunya bintang film yang digandrungi di Indonesia. Namun ia berujar, “Kompetisi harus ada karena persaingan yang sehat membuat kita bertumbuh dan berkembang. Saya melihat seniman itu terlahir dengan ego masing-masing dan menjadi penting buat kita memahami profesi aktor itu berjalan di atas sistem kolaborasi yang menuntut penyesuaian, termasuk dengan lawan main. Saya pernah syuting bersama aktor-aktor ternama dan tidak jarang saya memainkan peran pendukung yang terbilang kecil. Saya cukup tahu diri untuk berlapang dada menerima bahwa saya tak selamanya ada di puncak dan tidak selalu saya jadi pemain utama. Meski sebenarnya saya sudah tidak lagi di tahap ingin menyenangkan hati semua orang, tetapi saya pasti berusaha mati-matian menampilkan sebaik mungkin yang saya mampu. Selain kita perlu paham bahwa karya sinema merupakah hasil kerja kolaborasi. Di luar pengetahuan soal akting, seorang aktor juga perlu menguasi teknik kolaborasi sehingga kita tidak akan berpikir kehebatan aktor itu terjadi secara tunggal. Dalam perfilman, sama seperti bidang lainnya, kita tidak bisa bekerja seorang diri lalu sukses sendiri dan terkenal sendirian. Seorang aktor, siapapun dia, bisa sukses dan populer bukan hanya karena kekuatan artis itu sendiri tapi disebabkan sistem pendukung yang berada di belakang seperti kejelian produser, kepekaan sutradara, keberhasilan tim pemasaran dan promosi, naskah yang menarik dan lawan main yang mendukung, serta teknologi media peliput,” cerita Lukman.


Membahas film dengan Lukman Sardi, kita akan sulit menemukan kejenuhan. Dia akan sangat antusias membagikan kisah, menyampaikan sudut pandang, dan menceritakan ragam persoalan di industri film. Dunia film memang memiliki tempat spesial di hati dan hidup seorang Lukman Sardi. Dan ketika kita berbicara ihwal kehidupan, Lukman tidak bisa tidak menyebut sosok istri dan ketiga anak laki-laki yang amat dicintainya.

“Seseorang pernah bertanya, dengan perjalanan sepanjang ini, mimpi apa yang tersisa? Saya rasa saya masih punya banyak hal dan pencapaian yang ingin diraih. Kecintaan saya pada dunia sinema barangkali sudah tidak diragukan lagi dan selama-lamanya saya ingin terus berkontribusi di industri ini. Zaman mungkin akan bergulir, nama-nama baru akan bermunculan. Dengan segala kontribusi yang telah dan hendak saya lakukan, saya tak merasa perlu takut apabila suatu saat saya tak lagi tenar atau mungkin dilupakan orang karena setiap karya pasti meninggalkan jejak warisan di hati masing-masing orang. Dan tidak masalah satu dunia mau melupakan saya asalkan istri dan anak-anak selalu bersama saya, sebab merekalah yang menggerakkan sehingga saya punya kegigihan untuk terus berkarya dan berkesenian dengan penuh dedikasi dan cinta,” pungkas Lukman.