LIFE

21 Juli 2023

Aghniny Haque Terlahir Kembali


PHOTOGRAPHY BY Hillarius Jason

Aghniny Haque Terlahir Kembali

styling Ismelya Muntu; fashion Loewe; makeup Morin Iwashita; hair Aileen Kusumawardani

Mantan atlet taekwondo yang bertransisi menjadi pemain sandiwara. Aghniny Haque mengungkapkan bagaimana seni peran menyuguhkan kenyamanan yang menyalakan mimpi baru dan membuka sudut pandang kehidupan.


Aghniny Haque senang beradegan di depan kamera, sekaligus tak ingin tampil di depan kamera. “Saya cuma ingin berkarya, tanpa harus unjuk diri di hadapan publik. Bisa enggak, ya?” ia berujar menjelaskan asanya yang kontradiktif. Kami bertemu di sebuah studio pada April silam; beberapa minggu sebelum pemutaran perdana film Kajiman: Iblis Penagih Janji (bulan Mei 2023), dan di antara jadwal ketat persiapan proyek film barunya bersama sutradara Hanung Bramantyo. Saya tersenyum. Aghni—begitu ia akrab disapa—pun tertawa sendiri mendengar dirinya mempertanyakan sesuatu hal yang sifatnya retorik.

Pekerjaan industri hiburan resonan akan penampilan publik; Aghni sangat memahaminya. Ia hanya terkadang—jika sering diartikan seakan-akan tidak profesional—berharap cukup sekadar muncul di layar sinema. Tidak perlu berdiri di pusaran ingar-bingarnya. Yang ia maksud adalah segala sesuatu di luar skrip. Tampil di hadapan khalayak, tak terkecuali sesi wawancara seperti ini. “Antara mulut dan otak saya sering kali bekerja sinkron,” kata Aghni. Akhir intonasinya terdengar menggantung, seolah kalimatnya belum menyentuh titik. “Sederhananya,” (benar saja) ia melanjutkan, “Ketika diminta pendapat atau ditanya tentang sesuatu hal, saya terbiasa menjawab apa adanya. Kalau saya pikir interviunya bersifat jenaka, maka saya juga menanggapinya dengan canda.” Persoalannya; tidak semua orang satu pemikiran untuk bisa menerima pendapat lugas, dan tak semua orang satu selera humor.

Sikap blak-blakan Aghni tak jarang menempatkan ia beberapa kali terjebak “target operasi” netizen. “Terkadang publik melihat aktor, artis, atau public figure seperti manusia super; yang tidak bisa salah, dan harus ideal sesuai penggambaran mereka. Saya mengerti bahwa ada tanggung jawab yang diamanahkan sebagai public figure. Tapi ‘tuntutan’ selalu sempurna itu mustahil,” ungkapnya selagi menceritakan sejumlah pengalaman wawancaranya yang kurang menyenangkan, yang berbuah sentimen netizen. Sentimen yang membekaskan sedikit trauma hingga membuat ia sekarang lebih berhati-hati dalam berucap. Plus, “Sesungguhnya agak menghindari tawaran program bincang-bincang,” akunya tergelak. Oleh karena kehati-hatian yang sama pula, ia mengawali perbincangan dengan bertanya tema pembahasan hari ini, dan apakah boleh bila ia menyimak lebih dulu daftar pertanyaannya. Ia beralasan, “Agar saya tidak mengoceh panjang lebar yang malah bikin Anda sakit kepala hahaha.” Tawa saya ikut pecah mendengar tuturnya. Saya tidak menggunakan kamera, dan sejujurnya tak ada yang aneh perihalnya selama setengah jam kami mengobrol, yang bahkan belum masuk sesi wawancara—saya berujar menenangkannya. Aghni kemudian duduk kian mendekat. Jari-jari tangannya sibuk saling bertaut dalam gerakan subtil. Lalu dengan vokal lembutnya, ia berkata, “Saya grogi, tapi akan berusaha menjawab Anda.”

Sesi prawawancara kami mendapat perpanjangan waktu manakala Aghni telah dipanggil untuk mulai pemotretan. Saat kembali duduk bersama, kami berbincang segala hal dengan alur berpusat pada seni peran yang mengubah hidup perempuan kelahiran Semarang tahun 1997 itu.

fashion Givenchy (jaket, bralette, dan celana denim), Raccoon & Babies (anting).

Balai Sidang Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, tempat Festival Film Indonesia digelar pada 22 November 2022 kian riuh akan tepuk tangan dan sorak-sorai audiens yang mengiringi Aghniny Haque naik podium. Hari itu, Aghni dinobatkan sebagai Aktris Pilihan Penonton, dan membawa pulang Piala Citra pertamanya. Ia dipuji atas kepiawaian peran serta aksinya berlaga menggunakan sepatu hak tinggi (ini bukan spoiler, hanya sekelumit cuplikan yang—saya janji—tidak mengurangi pengalaman menonton Anda) dalam Mencuri Raden Saleh (2022). “Saya bangga sekali dengan scene berkelahi itu. Bukan cuma karena mampu melakukannya tanpa stunt. Tapi dari durasi 10 jam yang dijatahkan untuk merekam adegan tersebut, kami berhasil menyelesaikannya hanya dalam 7 jam,” ujarnya mengguratkan air muka kebahagiaan.

Beradegan laga sesungguhnya bukan perkara sulit—meski juga tidak mudah—bagi seorang Aghniny Haque. Jauh sebelum garis takdir membawanya ke panggung sandiwara, ia sempat menyandang predikat atlet taekwondo berprestasi timnas Indonesia. Aghniny Haque, sang atlet, bahkan pernah menduduki peringkat 6 dunia oleh karena kredibilitasnya. “Semasa kanak-kanak, saya adalah anak hiperaktif yang cukup bikin ‘cemas’. Ibu mengarahkan energi saya yang terlalu besar itu pada olahraga bela diri sampai akhirnya masuk tim pelatnas,” kisahnya tentang plot di balik karier keatletan.

Hidup ini berjalan penuh kejutan, entah kita mendambakannya atau tidak. Di tengah karier atlet yang berjalan menjanjikan, Aghni mengalami cedera—yang ironinya ia dapatkan ketika latihan rutin demi performa terbaik di setiap kejuaraan—yang menyebabkan bantalan sendi tempurung lututnya robek. Pemulihan berjalan lambat, sementara ring kejuaraan sangat kompetitif. Lambat laun Aghni terengah-engah dalam upaya mengikuti arus derasnya. Dengan berat hati, ia putuskan untuk merelakan jalan hidup impian sebagai atlet.

fashion Gucci (jaket).

Gantung sabuk tahun 2016, Aghni kembali ke kampung halaman dan melanjutkan studi komunikasi di Universitas Semarang. Kehidupan di luar arena kejuaraan terasa asing baginya. Peraih medali perunggu ajang SEA Games 2013 di Myanmar itu mendedikasikan hampir seluruh masa kanak-kanak hingga remajanya di dojang dan ring pertandingan. Taekwondo adalah satu-satunya hidup yang ia pahami. Gambarannya akan masa depan pun telah matang; pensiun setelah mengharumkan nama negara; menyelesaikan kuliah; bekerja untuk berkontribusi lebih memajukan prestasi olahraga Indonesia; lalu menikah di usia 25. Saat realitas memorak-porandakan semua rencananya, Aghni dibelenggu kecemasan memikirkan keberlangsungan hidupnya. Siapa sangka bilamana kemudian semesta membuka jalan sang mantan atlet menuju dunia sinema.

Aghniny Haque ditemukan oleh seorang pencari bakat melalui media sosial. Latar belakang keatletan membuat ia dilirik tatkala produksi film Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sedang mencari talenta. Tanpa pengetahuan dan keterampilan seni peran, hanya bermodalkan nekat, Aghni setuju untuk menjajal peruntungan. “Apa yang bikin saya berani adalah karena takut. Rasa takut tumbuh dari insecurity; perasaan tidak aman karena tidak mengetahui ke mana arah hidup selanjutnya. Lalu tawaran bermain peran itu datang; saya menganggapnya sebagai tiket emas untuk memulai jalan hidup yang baru,” tuturnya.

Pengalaman syuting pertama selamanya jadi memori tak terlupakan dalam ingatan Aghni. Momen itu mengabadikan campuran rasa antara gugup takjub, antusias, sekaligus tegang dan diiringi sedikit kesenduan. “Masuk set, saya gugup setengah mati hingga berkali-kali mengacaukan pengambilan gambar sebuah adegan sederhana. Sangat simpel, bahkan saya tidak harus berdialog, cukup tersenyum! Sutradara kami sampai walkout, barangkali saking lelah dan dia melihat saya hopeless, hahaha. Dan itu adalah adegan terakhir yang kami rekam setelah seharian syuting, jadi saya maklum,” ceritanya sudah bisa menertawakan pengalamannya tersebut. Namun di momen itu, “Wah, enggak bohong, sih, mental saya sempat down,” aku Aghni.

fashion Saint Laurent (jaket bahan faux), Raccoon & Babies (anting).

Kendati mengecap ‘pukulan dahsyat’ di garis start, Aghni tak angkat kaki berlari pergi. Malah semakin bergairah menyelam ke dalam dunia sinema. “Kehidupan atlet telah mendidik saya bermental baja,” kelakarnya. Ia menyambung, “Dunia yang kita pijak enggak ada yang sepenuhnya nyaman. Untuk beradaptasi, harus mau belajar.” Setiap kritik diinterpretasikan selayaknya bensin yang membakar semangat untuk terus meningkatkan kemampuan beradegan. Ia mengambil kelas akting; hadir di setiap latihan reading dan syuting, meski di hari tersebut bukan sesinya. “Salah satu cara saya mengembangkan diri adalah dengan menyimak aktor lain berperan,” katanya. Ia juga mengambil ragam kursus yang memperkaya skill sebagai manusia. “Seni peran bagi saya adalah cerminan kehidupan manusia sehari- hari. Maka itu, saya pikir, penting untuk memperkaya diri dengan berbagai wawasan yang menambah tabungan pengalaman juga emosional, yang nantinya bisa saya implementasikan saat berperan,” ujar pemeran Ayu dalam film KKN di Desa Penari itu.

Saya selalu percaya bahwasanya dibutuhkan kesempatan, faktor keberuntungan, serta kerja keras, untuk mewujudkan sebuah keinginan, atau impian. Aghniny Haque adalah bukti hidupnya. Kapasitas Aghni beradegan berangsur-angsur meningkat. Itu adalah fakta yang tidak berlebihan. Kita bisa menilai sendiri penampilannya lewat KKN di Desa Penari, maupun sejumlah judul lain seperti Perempuan Tanah Jahanam (2019), Satria Dewa: Gatotkaca (2022), dan Mencuri Raden Saleh (2022) yang melejitkan integritasnya sebagai generasi baru pemeran laga Indonesia yang menjanjikan.

“Saya tidak keberatan dilihat sebagai aktor spesialis laga. Malah bangga, dan berniat lebih meningkatkan kapabilitas seni peran laga yang saya miliki,” kata Aghni. Ambisinya diwujudkan dengan bergabung ke dalam jajaran Uwais Team (kelompok koreografer seni bela diri cetusan Iko Uwais). “Jadi saat produser atau sutradara mencari aktor laga, pilihan pertama, kedua, dan ketiga mereka adalah Aghniny Haque,” ia melempar senyum. Bagaimana dengan cedera lututnya? “Masih aman. Yang penting tahu kapasitas dan tidak memaksakan diri. Memang sulit untuk saya berlaga di kejuaraan, tapi bisa diandalkan melakukan koreografer bela diri,” jawabnya.


Menyatakan kenyamanan bermain laga, bukan lantas Aghni dengan sengaja memfokuskan diri hanya pada genre aksi. Ia juga berhasrat agar dapat ‘cair’ berperan. Sebagai aktor dengan rekam jejak yang baru mengarungi setengah dekade, ia merasa perlu untuk terus-menerus menantang kemampuan dengan mengeksplor berbagai genre. “Seni peran mendorong kadar toleransi saya terhadap keberagaman kian tinggi. Menjadi aktor telah mengajarkan banyak hal yang meluaskan cara saya memandang kerja kehidupan. Saya berpikiran lebih dewasa, dan jadi manusia yang lebih baik,” katanya.

Aghniny Haque di usia 26 tahun telah melalui transisi dari pribadinya di awal usia 20-an, yang menyandarkan hidup sebatas satu angan. Kini, ia membuka diri pada segala kesempatan. Mimpinya berjalan paralel masa kini: “Saya ingin berkarier lama di dunia entertainment. Sebagai aktor, saya ingin menjadi seniman yang tumbuh, dan mampu berakting jujur.” Sebuah hasrat yang membawanya menerima tawaran bermain film drama adaptasi novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur. Pada saat artikel ini dirilis, ia telah memulai syutingnya di bawah arahan Hanung Bramantyo.

Narasi terbitan tahun 2003 karya penulis Muhiddin M. Dahlan itu menyajikan kritik tajam terhadap isu sosial secara lugas. Berkisah tentang pemberontakan seorang santriwati yang kecewa hatinya karena merasa dikhianati oleh keyakinannya sendiri. Sebagaimana plotnya sarat kontroversi, begitu pula lakon yang bakal dihidupkan Aghni. Ia sudah menyiapkan mentalnya—yang sudah baja—kian tangguh. Ia sadar meski publik memahami betul garis perbedaan antara fiksi dan realitas, dunia ini akan selalu memiliki orang-orang yang bersebrangan pandangan. “Dalam mendobrak stigma, saya pikir, harus ada keberanian untuk mulai melakukannya,” pungkas Aghni mengakhiri perjumpaan kami seiring jadwalnya reading naskah film tersebut segera dimulai, dan ia harus tepat waktu sampai di tempat.