LIFE

5 Oktober 2022

Ana de Armas Mendobrak Persepsi "Outsider" di Ranah Hollywood


PHOTOGRAPHY BY Christian Macdonald

Ana de Armas Mendobrak Persepsi "Outsider" di Ranah Hollywood

styling by Alex White; fashion& jewellery Louis Vuitton

Sosok Ana de Armas kian bersinar terang lewat perannya dalam film The Gray Man. Aktris kelahiran Kuba ini menyatakan karakter personal dirinya yang kompleks dan kontemplatif, namun sekaligus juga sangat bersyukur dapat ‘melarikan diri’ dari kota Los Angeles.


Ana de Armas merasa lega sebab pandemi telah berlalu. “Sebuah masa yang aneh,” ucapnya. Di saat itu, sang ayah jatuh sakit namun bukan disebabkan oleh pandemi Covid-19. Dan Armas ingin pulang Kuba untuk menemui ayahnya namun selama pandemi pemerintah setempat memberlakukan penutupan akses di pulau tersebut. “Anehnya, di masa-masa sulit itu, saya justru bekerja terus menerus tanpa henti,” kata Armas. Film laga The Gray Man—karya sutradara Anthony dan Joe Russo, di mana Armas beradu peran bersama Ryan Gosling dan Chris Evans—dikabarkan menjadi salah satu karya sinema dengan anggaran terbesar yang pernah diproduksi oleh Netflix.

Di samping itu, hubungan asmaranya dengan Ben Affleck juga menarik sejumlah atensi hingga melahirkan banyak pemberitaan dan dokumentasi visual yang kerap kali menggiring persepi publik. “Mengerikan. Namun di sisi lain, hal tersebut justru menjadi salah satu alasan terbaik untuk saya meninggalkan Los Angeles,” ujarnya.

Tujuh tahun berada di Los Angeles, Ana de Armas menyaksikan kehidupan figur publik lainnya yang terkungkung akibat teror paparazi dan pemberitaan gosip yang terus membuntuti kehidupan personal mereka. “Mengalami sendiri hal tersebut kemudian mengonfirmasi pemikiran saya selama ini bahwa kota ini bukan tempat ideal untuk menjadi tempat tinggal saya. Dan Los Angeles pun mampu membuat saya merasa seolah ada yang hilang dalam hidup. Kota ini selalu berhasil membuat saya merasa resah,” ungkap Armas.

styling Alex White; fashion Louis Vuitton (selimut dan sepatu bot).

Ana de Armas kini berdomisili di kota New York—di sebuah apartemen yang dihuni bersama sang kekasih, seorang executive dari aplikasi Tinder bernama Paul Boukadakis. Armas menemui saya di taman Ladurée di SoHo. Ia terlihat nyaman sambil sesekali menyesap secangkir teh. Namun bukan berarti ia punya banyak waktu di kota barunya. Ia harus pergi ke Prancis, Praha, dan Long Beach, California, untuk syuting The Gray Man. Film tersebut menjadi film laga kedua baginya, usai Ana de Armas tampil secara signifikan meski terbilang singkat dalam film No Time To Die. “Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka akan menjadi aktor film laga. Namun tawaran itu kerap berdatangan. Saya sendiri merasa harus berhati-hati karena tidak ingin memusatkan kemampuan seni peran saya hanya dalam genre film laga. Sesungguhnya ini bukan genre yang membuat saya nyaman. Kadang malah saya merasa konyol,” cerita Ana de Armas.

Film No Time To Die dan Blonde—di mana ia berperan sebagai Marilyn Monroe—sempat tertunda untuk beberapa saat karena produksi The Gray Man yang ternyata membutuhkan waktu lebih lama dari yang diperkirakan. Ana de Armas memerankan Dani Miranda, seorang agen CIA. Yang menarik tentang Dani adalah apabila karakternya ada di film lain, maka sudah pasti sosok ini menjadi subjek perempuan yang diperebutkan oleh para pemeran laki-laki lainnya (di film yang melibatkan Ryan Gosling, Chris Evans, dan Regé-Jean Page, atau “tiga laki-laki tertampan di dunia”. Maka berperan sebagai Dani tidak akan terlalu berat). Namun di film ini, hubungan Armas dan Gosling sebagai teman justru terasa istimewa karena keduanya saling menghargai secara profesional tanpa melibatkan sedikit pun perasaan dan urusan asmara—yang kadang kala dirasa sebagai sebuah kebanggaan bagi sejumlah perempuan. Kata Ana de Armas, “Saya menyukai hubungan mereka yang tidak terburu-buru, dan tidak diharuskan terlibat dalam sesuatu yang emosional.”

Chris Evans, sahabatnya yang juga telah beradu peran dengannya sebanyak tiga kali dalam film The Gray Man, Knives Out, dan Ghosted—film yang baru saja produksinya mereka tuntaskan di Atlanta) menjelaskan apa yang ia lihat dari sosok Armas, “Saya adalah penggemarnya. Ada beberapa orang yang begitu menyedot perhatian Anda sampai-sampai Anda menonton mereka terus menerus. Dan jangkauan kemampuan yang Ana de Armas miliki—dari kekuatan hingga kerentanannya—sangat luas. Setiap aktor memiliki fitur tertentu sebagai kekuatan mereka, namun ia bisa dengan mudah berubah, dari menjadi karakter yang berbahaya dan keras hingga berubah seketika menjadi sosok yang lembut dan rapuh dalam satu adegan yang sama,” ujar Chris Evans mengenai Ana de Armas.

styling Alex White; fashion Louis Vuitton (selimut dan sepatu bot).

Armas tumbuh besar di Kuba, di sebuah kota tepi pantai di mana keluarganya tidak memiliki komputer, jaringan internet, dan bahkan telepon seluler. Saat berusia 9 tahun, neneknya meninggal dunia. Ia dan keluarganya kemudian pindah ke Havana agar dapat tinggal bersama kakeknya. Ana de Armas kerap merasa sebagai seorang outsider di kota besar seperti Havana. Namun keberadaannya di sana yang kemudian menempatkannya dalam perjalanan karier di dunia seni peran. Ana de Armas mengikuti sekolah drama di Havana saat berusia 14 tahun. Ia terlibat dalam tiga produksi film selama tinggal di Kuba.

Pada usia 18 tahun, Ana de Armas pindah ke Spanyol. Ia tinggal di Madrid dan kebanyakan mengambil pekerjaan di acara televisi. Setelah 8 tahun di Madrid, saat usia 26 tahun Ana de Armas memutuskan untuk menjemput kesempatan di kota Los Angeles. Di sana, semua portofolio yang pernah ia kerjakan di Kuba dan Spanyol tidak berarti sama sekali bagi para penyelenggara casting. Ia juga sempat mengalami kesulitan dalam berbahasa Inggris. Ia pun mengikuti kelas belajar Bahasa Inggris, setiap hari mulai pukul 8 pagi hingga 3 sore selama tiga bulan semata-mata agar bisa segera lancar berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Seluruh pengalaman awal kariernya berpindah- pindah tempat. Ana de Armas beradaptasi di kota yang berbeda-beda dan proses pendewasaan bagi dirinya menjadi pengalaman istimewa yang membuatnya tidak pernah lupa akan siapa dirinya yang sesungguhnya.

Kendati kerap berusaha keras untuk dapat memijakkan kedua kakinya secara mapan di industri perfilman, nyatanya ia merasa terlantar dan tidak tahu di mana harus menempatkan diri. “Kadang saya merasa bukan bagian dari komunitas seniman Kuba. Dulu di Spanyol, saya juga bukan bagian dari komunitas di sana—karena lebih banyak bekerja untuk televisi ketimbang berperan di film. Dan kini, saya juga tak merasa seutuhnya diterima di sini. Bagaimana bisa saya mengatakan bahwa saya sudah menjadi bagian dari komunitas di sini padahal saya hampir tidak mengenal siapa pun,” ujarnya.

Ana de Armas barangkali sedikit melebih-lebihkan persepsi status “outsider” dari keberadaannya. Sementara aktris Jamie Lee Curtis—rekannya di Knives Out—menganggap Armas adalah sosok yang sangat berbakat. Curtis mengenang hari pertama mereka bertemu dengan berujar, “Sebenarnya saya malu mengatakan ini namun saat itu saya pikir ia baru saja tiba dari Kuba. Ia pasti tidak punya pengalaman sebagai seorang pendatang baru. Namun di hari yang sama, saya kagum dengan bakatnya dan langsung menanyakan apa yang ia inginkan dari dunia film?”. Kemampuan Armas di seni peran mendorong Curtis untuk memperkenalkannya pada Steven Spielberg agar Ana de Armas berperan sebagai Maria di West Side Story, atau kepada anak-anak baptis Curtis, yaitu Maggie dan Jake Gyllenhaal—yang ternyata telah mengenal Armas. Lewat film berbahasa Inggris pertamanya—Knock Knock besutan sutradara Eli Roth—Armas lantas berteman dekat dengan Keanu Reeves.

Curtis memahami keputusan Ana de Armas yang lebih memilih untuk berkawan dengan orang-orang di luar dunia keartisan yang tidak seglamor pergaulan Hollywood atau berasal dari barisan perempuan di karpet merah Estée Lauder, di mana Ana de Armas menjabat sebagai ambasador untuk brand tersebut. “Ana de Armas merupakan sosok perempuan yang hangat. Ia adalah seorang teman yang selalu peduli pada Anda,” ujar Curtis.

styling Alex White; fashion Gabriela Hearst (mantel), Louis Vuitton (sepatu bot).

Ana de Armas memiliki ambisi besar untuk kelak menjadi seorang produser. Dalam film Ghosted, ia bermain film sekaligus menjabat sebagai produser eksekutif. Dalam proyek berikutnya bersama Keanu Reeves, Ballerina, sebuah karya spin-off dari film John Wick, Ana de Armas juga terlibat dalam pencarian penulis naskah. Ia cenderung memilih proyek berdasarkan siapa sutradara film tersebut. “Dan tentunya dari apa yang bisa saya dapatkan dengan terlibat dalam film tersebut,” ia tersenyum. Film Blonde menceritakan sosok legendaris Marilyn Monroe yang dibuat berdasarkan novel sejarah karya Joyce Carol Oates. Saat itu Armas berangkat ke Los Angeles untuk uji coba peran sebagai Marilyn di kala ia tengah terlibat dalam produksi Knives Out. “Waktu itu ia memperlihatkan fotonya sebagai Marilyn Monroe kepada saya. Ayah saya adalah lawan main Marylin di Some Like It Hot, dan saya punya banyak sekali foto ayah bersama Marilyn Monroe. Saya sangat terkejut ketika melihat foto Ana de Armas, karena ia benar-benar menyerupai Marilyn Monroe,” Kenang Curtis

Fakta bahwa seorang aktor Latin dengan aksen Kuba yang kental mampu berperan sebagai Marilyn Monroe bukan saja membuktikan talenta yang Armas miliki, tapi juga kelonggaran norma di Hollywood yang perlahan lebih terbuka terhadap konsep inklusivitas. “Memang semuanya berubah menjadi lebih baik, meski jalannya perlahan. Namun perlu diketahui bahwa ini tetap tidak berlaku sama bagi orang lain. Keterbukaan tersebut datang dari para pembuat film dan keberagaman kini menjadi sebuah keharusan,” ucap Ana de Armas.

Ana de Armas berharap kesuksesannya dapat membuka jalan bagi para aktor-aktor lainnya. Di saat yang sama, ia menolak untuk terus memerankan karakter yang diciptakan untuk mendefinisikan sebatas satu etnis tertentu. “Tidak masalah buat saya jika harus berperan sebagai orang Latin, namun jangan terus menerus meletakkan keranjang buah di atas kepala saya. Kita mampu mengeksekusi peran apapun asalkan diberi waktu yang layak untuk mempersiapkan diri. Dengan satu kesempatan, kita bisa berperan di film apa pun, seperti Blonde. Masalahnya adalah tidak semua orang bisa duduk satu ruangan bersama sutradara untuk membuktikan kemampuan apa yang kita miliki,” tegas Armas.

Ana de Armas merenungkan pencapaian kariernya dengan berkisah tentang perayaan ulang tahunnya yang ke-34 baru-baru ini. Ia pun menceritakan salah satu kejadian di lokasi syuting film Ghosted. “Kami sedang berada di pantai dengan sebuah api unggun. Setelah menuntaskan jam kerja yang panjang, saya berucap ‘Saya perlu minum segelas Fireball!’, salah satu minuman favorit saya. Semua orang hadir bersama saya saat itu; kekasih saya, anjing-anjing saya, Chris, dan para kru film. Bukan perayaan ulang tahun klise seperti pergi makan malam romantis. Saya justru melewatinya dengan bekerja, melakukan sesuatu yang paling saya suka dengan bersama orang-orang terdekat di pantai sambil menikmati Fireball. Melalui perayaan hangat tersebut, saya merasa momen itu adalah satu hari yang paling bahagia dalam hidup saya."