16 April 2024
Ario Bayu Mengisahkan Samsara Selagi Mengungkap Arah Moralnya ketika Bermain Peran
PHOTOGRAPHY BY Hendra Kusuma
styling Ismelya Muntu; fashion Alexander McQueen (blazer & celana); chair Fritz Hansen; makeup Ranggi Rachmat
Bermain peran adalah tentang komitmen, bukan kompromi. Sebuah prinsip yang melandasi Ario Bayu dalam mencipta karakter.
Sama seperti beberapa tahun silam ELLE Indonesia mengatur jadwal pemotretan bersama Ario Bayu; agenda kami di hari Jumat bulan Februari 2024 itu pun juga mulai sedari pagi. Kami mengatur alarm berkegiatan pada pukul 9. Sang aktor tiba satu jam sebelumnya. “Saya sampai sini sekitar jam 8 kurang tadi. Kepagian,” katanya dalam volume setengah berbisik sembari menjauhkan speaker ponsel dari jangkauan bibirnya untuk sejenak menyapa manakala saya datang ke lokasi. Kehadirannya yang begitu awal bukan upayanya dalam menyiasati waktu oleh karena dihimpit rangkaian aktivitas yang padat. He is just a morning person. Selain itu, datang lebih awal atau setidaknya tepat waktu, memang telah menjadi etos kerja laki-laki kelahiran Jakarta tahun 1985 ini.
Pada perjumpaan hari itu, faktanya Ario Bayu sedang dalam momen menikmati waktu luang. “Well, enggak benar- benar luang sampai bisa istirahat berselonjor di rumah, sih,” ujarnya tergelak ringan saat kami akhirnya duduk bersama usai sesi pemotretan. Dalam realitas Ario Bayu, waktu luang berarti kesempatan untuk melakoni pekerjaan di luar ranah sinema—seperti syuting ELLE Man ini; atau melalui sejumlah agenda meeting, atau merealisasikan rencana-rencana yang tertunda. “Tapi sekarang saya sedang tidak dalam proses bermain peran apa pun,” jelas lelaki yang akrab disapa Bayu itu. Kesenggangan yang dinikmati Bayu saat ini buah dari keaktifan bermain rentetan peran sebelumnya; serial episode terbatas produksi Netflix, Gadis Kretek; dan film Sehidup Semati yang meramaikan layar bioskop Indonesia pada awal tahun 2024. Ia juga telah menuntaskan keterlibatan dalam karya produksi teranyar Joko Anwar. Sebuah serial bergenre sci-fi supernatural yang diberi judul Nightmares and Daydreams. Kita belum bisa menikmatinya dalam waktu dekat. Ario pun tak dapat bicara terbuka secara leluasa melampaui waktu perilisannya. “Tetapi saya bisa cerita tentang Samsara,” ujarnya.
fashion Dior (blazer & celana); chair Fritz Hansen.
Samsara adalah karya sinema terbaru Bayu di bawah arahan Garin Nugroho, yang rencananya akan diputar perdana pada bulan Mei mendatang di Teater Esplanade, Singapura. Berkisah tentang, “Cinta, rasa takut dan keserakahan, serta konotasi sifat-sifat tersebut dalam kehidupan pada umumnya; di mana dalam esensi penceritaannya, kami ingin memperlihatkan apakah manusia itu seperti halnya binatang,” sebagaimana pengungkapan sang pemeran utama. Berlatarkan set tahun 1920-an. Sinematografi klasik dalam warna hitam-putih mengemas narasinya. Tidak ada dialog. Seluruh percakapan terjalin melalui mimik emosional dan gerak tubuh ekspresif, meliputi tari-tarian. “Sebuah film bisu yang sangat ekspresionisme. Saya belajar banyak hal menarik dari terlibat proyek ini. Bagaimana tarian dapat menjadi medium berbicara yang begitu ekspresif, dan sekaligus menyimpan lini masa kehidupan manusia serta kebudayaan masyarakat; selayaknya sebuah portal waktu. Benar-benar menarik!” tutur Bayu penuh antusias. Segenap maestro seni tari Indonesia yang telah mendunia terlibat dalam romantisisme Samsara. Di antaranya turut hadir pebalet terkemuka asal Australia yang berdarah keturunan Jawa, Juliet Burnett. “Barangkali 99% pemeran di film ini adalah penari profesional atau setidaknya berbakat menari tulen, kecuali saya yang satu-satunya berangkat dari dunia keaktoran,” katanya.
Menjadi ‘1%’ di dalam sebuah kawanan mayoritas tidak lantas menciutkan kepercayaan diri Bayu. Semangat peraih tiga kali nominasi Festival Film Indonesia itu malah bergelora hebat untuk memberikan upaya terbaiknya hingga melampaui batas maksimal. Apalagi tantangannya meningkat berkali-kali lipat dengan ketiadaan elemen bertutur kata. “Saat belajar seni peran di teater dulu, guru-guru saya selalu mengajarkan prinsip less is more. Ada dampak yang besar bahkan dari gestur yang sangat kecil. Tapi berakting tanpa dialog, artinya berkurang satu elemen kelugasan; sehingga aktor harus sedikit mendramatisasi gesturnya agar lebih ekspresif. Di satu sisi, kebutuhan untuk berakting ekspresif jangan sampai hiperbola. Jadi, sebagai pemeran, saya juga harus paham menempatkan ekspresi sesuai kadarnya di dalam lensa kamera. This is the interesting part; alasan mengapa saya sangat tertarik mengeksplorasi dan exploit the artistic texture on story that I feel is worth it,” ujarnya.
fashion Louis Vuitton (jaket), Saint Laurent (celana); chair Fritz Hansen.
Pemahaman Ario Bayu akan seni peran lahir dari panggung teater. Semasa remaja, laki-laki yang tumbuh besar di New Zealand ini banyak menghabiskan waktu dengan mengikuti kegiatan klub teater di sekolah. Ia menyelami dunia peran kian mendalam saat usianya 17 tahun, manakala terpilih menerima beasiswa untuk mengikuti program studi akting di Shakespeare’s Globe di Inggris. “Saat sekolah (publik) dulu saya memiliki kesulitan dalam mempelajari ilmu-ilmu eksak, seperti misalnya matematika. Sampai-sampai saya sempat merasa paling bodoh di kelas karena butuh waktu lama untuk saya paham penjelasan guru,” cerita Bayu ketika kami bertemu untuk pertama kalinya bertahun-tahun silam. Tetapi problematikanya di bangku sekolah itu diakui olehnya tidak pernah menjamah ranah kesenian. “Saya selalu fokus apabila menyangkut hal-hal berbau seni,” tegasnya.
Beranjak dari panggung teater, Bayu secara mantap melangkah menuju panggung hiburan Indonesia tatkala kembali ke Tanah Air. Penampilan singkat di sinema horor Bangsal 13 mengawali perjalanannya. Saya sendiri mulai mengetahui sosok Ario Bayu lewat film Kala, di mana ia menjadi second lead pendamping Fachri Albar. Meski bukan pemeran utama-pertama, presensinya begitu kuat dengan kepiawaiannya mengolah gestur yang menyentuh emosi. Sampai hari ini, melampaui dua dekade berkiprah keaktoran, Ario Bayu hampir tak pernah gagal unjuk kredibilitasnya dalam mengeksekusi beragam karakter peran. Protagonis berhati lembut: cek. Laki-laki perkasa jago berlaga: cek. Antagonis berwatak brutal: cek. Menjelmakan figur ikonis dan tokoh publik ternama: cek. Deretan karya yang membentuk portofolionya kian impresif pun tak pelak menobatkan Bayu sebagai nomine hingga pemenang di berbagai sirkuit penghargaan film bergengsi Indonesia.
fashion Saint Laurent (blazer & celana).
“Saat memilih akting sebagai jalan hidup, saya sekaligus mengambil keputusan untuk menjadikan seni peran selaku ruang pembelajaran. And I want to be a constant student,” katanya. Oleh karena alasan tersebut ia mengurasi pilihan perannya agar senantiasa bervariasi. Bahkan, ia tak ragu untuk berkata tidak kepada tawaran berperan yang dirasakan ‘sekadar peran’. “Saya ingin menjadi ‘murid yang baik’; yang selalu berkembang. Kalau saya terus-menerus bergerak dalam narasi reguler, saya tidak akan belajar sesuatu yang baru. Tidak masalah genrenya sama, namun harus ada nilai yang berbeda dari sang karakter” prinsipnya.
Sebagai aktor, segi artistik bukan satu-satunya nilai yang dieksplorasi oleh Bayu dalam seni peran. Ia berkata, “Saya suka menyelami perihal humanisme lewat setiap karakter yang saya perankan.” Di pemahamannya, setiap karakter peran memiliki satu kesamaan: “they’re all human problems.” Dari Soeraja di Gadis Kretek misalnya; ia menafsirkan bahwasanya, “Cinta tidak memiliki batasan; dan cinta terkadang mampu mendorong seseorang ke titik di mana barangkali tidak punya moral.”
fashion Saint Laurent (kemeja & celana).
Ketika Gadis Kretek dirilis pada bulan November 2023 silam, Soeraja seketika mencuat jadi topik hangat perbincangan dunia maya. Ia telah meledakkan emosi jutaan penonton dalam sekejap mata ia meluluhkan hati dengan kelembutan sikapnya. Ia dicap red flag; laki-laki egois yang hanya menyelamatkan diri sendiri. Bayu tersenyum puas mengetahui reaksi masyarakat. “Bagaimana pun, artinya saya, dan seluruh tim Gadis Kretek telah berhasil membuat penonton merasakan sesuatu. Tapi kadang saya berpikir apakah orang memang selalu menginginkan akhir yang bahagia sampai sebegitu kecewanya dengan Raja yang tidak sempurna,” tutur Bayu. Atau manusia hanya menginginkan punya harapan; untuk percaya bahwa harapan itu tetap ada di dunia yang penuh kekacauan, saya menimpalinya. Kendati menyuguhkan cerminan kehidupan, bukankah film juga kerap dijadikan medium eskapisme buat sebagian orang. Ia setuju. “Nah, ketika konten tersebut tidak ada, orang pun sebal. Namun perihal itu sebetulnya lebih kepada persoalan perspektif. Jika berbicara tentang moral; sebagai seniman, pola pikir artistik saya sudah tidak lagi memiliki moral,” katanya diiringi gelak ringan.
Dalam melihat suatu cerita atau peran, kompas moral Bayu berdiri di tengah. Sekalipun itu Edwin, pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang secara brutal menganiaya istrinya yang ia jelmakan di Sehidup Semati. Sebuah tabiat peran yang sejatinya bertentangan dengan nurani kemanusiaan Bayu. “Sangat penting bagi saya sebagai seorang seniman untuk menjaga reseptor saya tetap terbuka dan memiliki lebih banyak penilaian dalam cara memandang sesuatu,” katanya. Bahkan, demi peran Soeraja, ia merelakan kebiasaan berhenti merokoknya selama bertahun-tahun. “Dualisme antara saya di kehidupan nyata dan sang karakter melebur ketika saya berperan. Sebab seorang aktor merupakan medium perantara bagi karakter. Tubuh saya; intelektualitas saya; dan seluruh kapasitas Ario Bayu, dipinjam oleh sang karakter. Saya tidak bisa berkompromi,” ujar Bayu. Akting adalah komitmen. Ia menegaskan, "Tidak ada yang namanya kompromi bagi aktor dalam seni peran," sebelum menutup obrolan.