LIFE

22 Maret 2023

Chicco Kurniawan Menafsirkan Kontribusi dan Dedikasi Pada Industri Perfilman


PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

Chicco Kurniawan Menafsirkan Kontribusi dan Dedikasi Pada Industri Perfilman

Chicco Kurniawan photography by Hilarius Jason for ELLE March 2023; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Studio Moral (setelan jas), Givenchy (turtleneck & kemeja); grooming Ranggi Pratiwi

Chicco Kurniawan bukan satu-satunya orang yang pernah menerima penghargaan di ajang Festival Film Indonesia. Namun ia satu dari sedikit contoh generasi muda pekerja seni Tanah Air yang memiliki kesungguhan dalam dunia seni peran. Keberhasilan Chicco berawal dari usahanya yang sepenuh hati membuktikan kemampuan diri. Kendati sebelumnya tak pernah punya pengalaman apa-apa soal seni peran. Saksikan aktingnya dalam film pendek berjudul Pria (2017) yang mana Chicco memerankan seorang laki-laki homoseksual. Kemudian simak karakter Amin di Penyalin Cahaya (2021), seorang tukang fotokopi di sebuah kampus, yang dibawakan dengan sangat apik oleh sang aktor muda. Banyak resensi berisi sanjungan dialamatkan ke film tersebut, namun sisi lain kesuksesan Penyalin Cahaya adalah penampilan Chicco Kurniawan yang kemudian dinobatkan sebagai pemenang Pemeran Utama Pria Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2021. Usai beradu peran di Penyalin Cahaya, Chicco kembali dipertemukan dengan Shenina Cinnamon sebagai lawan main dalam film Cross the Line (2022) yang tayang di platform digital. Keduanya diceritakan sebagai pramusaji dan anak buah kapal yang bekerja keras demi kehidupan yang layak meski pada akhirnya hidup mereka selalu dirundung kesusahan. Suka atau tidak suka dengan filmnya adalah masalah selera, namun mesti diakui penampilan Chicco Kurniawan dalam film tersebut terasa sangat ‘believable’, terlihat begitu nyata seolah ia bukan sedang berakting. 

Bangunan karier Chicco Kurniawan bukanlah sebuah pencapaian yang ujug-ujug. Ia menapaki karier di industri hiburan sejak usianya 19 tahun dan mengawali perjalanan sebagai bintang iklan. Sang kakak, Bobby Samuel, yang sudah terjun lebih dulu ke seni peran, mengajak Chicco ikut casting di sebuah stasiun televisi swasta. Tanpa punya bekal pendidikan seni peran atau pengalaman di bidang perfilman, alhasil tak satu pun peran berhasil ia dapatkan. Beruntung, Chicco punya ketajaman dalam merasa. Ia menyadari ada yang tak beres dengan apa yang dikerjakannya. Ia memahami bahwa kemarahan sutradara dan kekecewaan casting director bukan muncul tanpa alasan. Maka tak ada pilihan selain berusaha lebih keras dan belajar lebih giat.

Satu tahun menjelajah di berbagai tayangan komersial, karier Chicco akhirnya bergulir menapaki dunia seni peran sejak 2015 dengan berperan dalam berbagai judul sinetron dan film televisi. Tahun 2017, Chicco memasuki perfilman lewat kemunculannya di berbagai judul film layar lebar, yakni pemeran pendukung di film Dear Nathan, Stip & Pensil, Multiverse: The 13th Step, dan Posesif. Ia juga bermain dalam film Kadet 1947, Saiyo Sakato, Detektif Soleh, Mulih, dan sederet judul lainnya.

Chicco Kurniawan photography by Hilarius Jason for ELLE March 2023; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Lanvin (sweter & jeans), Givenchy (turtleneck & kemeja); grooming Ranggi Pratiwi.

“Rasanya saya kurang yakin kalau keberhasilan itu hanya milik orang-orang yang berbakat, saya sendiri lebih percaya dengan kekuatan sebuah kerja keras. Selama punya niat dan ruang untuk mengeksplor kemampuan diri, maka rasanya tidak ada yang mustahil. Proses belajar mesti dilakukan selebar-lebarnya, mencari ilmu dari beragam orang di berbagai tempat. Mulai dari Teater Populer bersama pemain senior Slamet Rahardjo, Teater Tetas, Teater Tanah Air, sampai berguru dengan Rukman Rosadi, aktor senior yang jadi lawan main saya di serial Mulih sekaligus pelatih akting terkenal di Indonesia. Sangat bersyukur saya bisa punya kesempatan belajar dengan orang-orang yang sangat andal di bidang seni peran,” kisahnya.

Chicco Kurniawan, sosok anak muda yang punya rasa cinta begitu besar terhadap bidang seni peran. Ia juga jatuh hati pada kekuatan yang tersimpan dalam sebuah karya sinema. Salah satu premis yang bisa dipakai untuk membaca produktivitas Chicco Kurniawan yang luar biasa sebagai aktor muda Indonesia. Saya bertemu laki-laki ini saat ia sedang liburan akhir tahun, setelah sepanjang tahun 2022 hari-harinya riuh dengan jadwal syuting, di antaranya proyek karya berjudul Hubungi Agen Gue! karya Teddy Soeriaatmadja yang bakal muncul di Disney Hotstar dan Klub Kecanduan Mantan yang nantinya tayang di Netflix. “Rasanya seperti tidak napas, libur tiga-empat hari lalu masuk ke proyekproyek selanjutnya. Tapi saya beruntung karena merasa profesi aktor seperti bukan sebuah beban pekerjaan. Rasanya menyenangkan karena lelahnya bukan dari segi mental yang bikin stres berat tapi letih secara fisik yang biasanya bakal hilang setelah tidur. Saya turut merasa sangat senang melihat kemunculan beragam platform digital yang memberikan keleluasaan ruang untuk kami aktoraktor muda berkontribusi dan karya sinema jadi tidak terbatas hanya bisa muncul di layar bioskop, sekaligus kesenangan tersendiri karena pekerjaan ini membuat saya bisa bertemu banyak orang dengan rasa cinta yang sama,” ujarnya. 

Laki-laki kelahiran 1994 ini awalnya tak pernah bercita-cita menjadi aktor. Ia bahkan tak pernah punya mimpi apalagi ambisi. Dulu saat remaja, ia menganggap hidup itu cukup dijalani tanpa perlu dibikin pusing oleh segudang keinginan. Chicco Kurniawan anak laki-laki bungsu dari tiga bersaudara. Perpisahan kedua orangtua membuat ia kemudian hidup berdua dengan sang ibu. Ia mulai hidup mandiri sejak usia 14 tahun. Sambil menyelesaikan sekolah, Chicco mengisi waktu dengan bekerja demi bisa punya uang sendiri. Chicco berkisah tentang masa lalunya yang bergelut dengan kesulitan dan tantangan, hingga akhirnya ia merasa hidupnya berubah usai mengenal dunia seni peran.

Chicco Kurniawan photography by Hilarius Jason for ELLE March 2023; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Lanvin (jaket & celana), Givenchy (turtleneck & kemeja); grooming Ranggi Pratiwi.

“Apa yang membantu saya dalam mendalami karakter-karakter di sejumlah film barangkali karena saya datang dari kelas ekonomi menengah, sehingga bisa merasa dekat dengan peran-peran yang selama ini dimainkan. Sejak duduk di bangku SMP, saya sudah mulai mencari penghasilan sendiri dengan menjadi operator warnet dan sempat juga bekerja di rumah sakit sebagai asisten mahasiswa pascasarjana yang sedang riset tugas kuliah. Ada masanya satu hari hanya punya uang Rp17 ribu untuk makan. Dulu setiap ditanya soal cita-cita, saya tidak pernah bisa menjawab karena memang tidak tahu apa yang sebenarnya saya inginkan. Yang saya tahu dulu hanya merasa perlu memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup. Mencari uang dan menjalani hari-hari tanpa berpikir jauh ke masa depan. Dan pada akhirnya saya terbentuk menjadi seseorang yang cukup individualis. Tidak ada yang saya pikirkan kecuali diri saya sendiri. Dulu pun hidup seperti enggak ada aturan. Ibu saya pernah punya masalah sehingga dulu saya hidup sendiri di rumah indekos di Bogor. Tidak ada yang menasihati saya dan seringkali berulang melakukan kesalahan yang sama. Sampai akhirnya saya mengenal seni peran dan merasa seperti ‘terselamatkan’ semenjak kenal dunia akting. Rasanya saat itu hidup jadi lebih ‘sehat’ dan tidak lagi bingung dengan arah tujuannya mau ke mana, karena akhirnya saya bisa memutuskan bahwa saya ingin menjalani hidup dengan menekuni bidang yang saya cintai yaitu seni peran,” cerita Chicco.

Sebuah drama kehidupan yang diperankan oleh seorang aktor mustahil tak membawa dampak apa-apa bagi para pemainnya. Ketika memerankan Aris di film Pria, alih-alih melakukan riset dari beragam film, Chicco Kurniawan memilih mengamati perilaku karakter langsung dari kenyataan sebenarnya. Ia berkenalan dan berbicara banyak dengan seorang transpuan (perempuan transgender) untuk mengetahui landasan di balik keputusan hidupnya. Sedangkan dalam rangka memerankan tokoh Amin di Penyalin Cahaya, Chicco mendatangi sejumlah tukang fotokopi di daerah Jakarta Selatan dan melakukan observasi demi bisa mendapat gambaran yang presisi sebelum ia mengerahkan konsentrasinya dalam memenuhi tuntutan peran.

“Dalam proses pendalaman karakter, saya lebih memilih untuk mencari tahu dari orang-orang di kehidupan nyata, meskipun tidak ada yang salah dengan cara observasi melalui karya film. Misalnya setelah memerankan karakter Aris, saya tidak lagi mudah bikin penghakiman atas kecenderungan tiap-tiap orang karena sebenarnya kita tidak pernah tahu persis apa yang orang lain lewati dalam hidupnya sampai dia ada di titik sekarang. Seni peran telah membuka wawasan saya terhadap keberagaman yang dimiliki manusia. Baik sifat, perilaku, maupun pilihan hidup masingmasing orang yang tentu tidak pernah sama antara satu orang dengan yang lainnya. Lewat seni peran, saya tak hanya jadi makin kenal dengan diri sendiri, tapi juga mampu mempunyai rasa empati yang cukup tinggi. Kemampuan untuk ‘merasa’ atas kondisi dan pikiran orang lain. Kepekaan yang diperoleh dari hasil menghayati dan melakonkan sebuah peran secara totalitas akan ‘memudahkan’ saya dalam menyikapi setiap kejadian di sekitar dengan lebih bijak karena semestinya saya telah banyak belajar merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain,” ungkap Chicco. 

Bagi para insan perfilman, dunia seni peran sejatinya memberikan ruang berekspresi untuk menuangkan karya-karya indah, inspirasi, dan gagasan. Namun Chicco Kurniawan melihat seni peran tak hanya berguna bagi para aktor di panggung atau di depan kamera, melainkan juga berdampak besar dalam kesehariannya. Chicco bahkan menganggap seni peran sebagai sebuah cara dan seni dalam menjalani hidup sebab dengan menggeluti dunia keaktoran maka ia merasa bisa menjadi manusia yang lebih baik, bukan dibandingkan dengan orang lain, melainkan lebih baik ketimbang dirinya yang sebelumnya.

“Mustahil saya bisa menganggap diri saya sebagai orang baik banget atau sangat sabar. Saya masih bisa marah terbawa emosi kalau bertemu pengendara yang ugal-ugalan di jalan. Tentu ada banyak kekurangan dan kelemahan sebagaimana manusia tak pernah ada yang benar-benar sempurna. Tapi buat saya, dunia film lebih dari sekadar lahan pekerjaan yang menghasilkan dari segi finansial. It’s more than just a job, it is way of life. Seiring berjalannya waktu, seni peran membantu saya menata diri agar saya selalu jadi orang yang bergerak ke arah halhal yang baik. Secara akademis, pendidikan saya tidak terlalu tinggi maka saya harus selalu belajar dari kehidupan. Seni peran menjadi satu-satunya jalan agar pikiran saya terbuka lebar sehingga bukan hanya bisa mengerti diri sendiri, tapi juga mampu menghargai orang lain. Dulu saya sering bertengkar dengan isi kepala saya sendiri. Merasa gelisah ketika melihat orang-orang seumur saya sudah punya pencapaian yang luar biasa; punya rumah dan mobil sendiri, bisa menikah dan hidup bahagia. Tapi akhirnya saya menyadari saya jahat sekali dengan diri sendiri kalau terus-terusan membandingkan diri dengan hidup orang lain. Sekarang saya sudah sampai pada satu titik di mana saya hanya ingin menjadi manusia yang seutuhnya yang punya hubungan sehat dengan diri sendiri maupun orang lain,” tutur Chicco