LIFE

22 Desember 2021

Connie Rahakundini Membela Pertahanan Bangsa Indonesia


Connie Rahakundini Membela Pertahanan Bangsa Indonesia

Connie Rahakundini membebaskan pikiran di belantara dunia militer sekaligus menyusun pertahanan diri lewat gagasan dan kegagahan dalam membela pertahanan Tanah Air.

Dunia militer begitu gigantik. Jarang sekali kita menemukan seorang perempuan yang mampu, apalagi bertahan, melibatkan diri dan menyebarkan pemikirannya di ranah ini. Connie Rahakundini Bakrie satu-satunya perempuan Indonesia yang mewakili generasi intelektual pertahanan keamanan negara ini. Ia salah satu di antara banyak perempuan cendekia Indonesia yang tak hanya berlian dalam gagasan, tapi juga bernyali dalam tindakan. Seorang analis militer dan pertahanan keamanan Indonesia yang dikenal dunia luas karena analisis dan tulisannya tentang tantangan, kebutuhan, masalah pembangunan, dan kapabilitas militer Tanah Air.

Kelahiran Bandung tahun 1964, Connie Rahakundini adalah anak dari DR. Ir. Bakrie Arbie, seorang ahli nuklir, dan Anie Sekarningsing Ardiwinata, pendiri Padepokan Tarot dan pencipta tarot pewayangan. Semasa kecil, Connie bermimpi bisa merakit sebuah kekuatan bertenaga nuklir sekaligus berkemampuan terjun di langit bebas. Namun menurut sang ibu, Connie kecil ingin menjadi seniman karena bakat yang ia miliki. ‘Pertempuran’ keinginan ini akhirnya berlabuh di jurusan desain. Setelah dua kali gagal masuk Senirupa ITB, Connie akhirnya kuliah desain grafis di Billy Blue College of Design, Sydney.

Kiprahnya di ranah desain terhenti manakala ia tergerak pada dunia pertahanan dan keamanan negara. Connie Rahakundini menekuni dunia pertahanan dengan kuliah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia. Ia melanjutkan pendidikan master di Asia Pasific Center for Security Studies (APCSS) di Honolulu, Hawaii; Fu Hsing Kang War College, Republic of China; Chevening Executive Programme Democracy and Security di Birmingham University, Inggris, dan IDEAS Leadership Programme MIT Boston, Amerika Serikat. Di luar itu, ia pernah menjadi senior research fellow di Institute of National Security Studies (INSS), Tel Aviv, Israel. Ia kemudian menyelesaikan program doktoralnya di bidang politik dan pertahanan di Universitas Indonesia.

Connie kerap memaparkan tentang pertahanan dan militer Indonesia di berbagai kesempatan dan tempat, antara lain National Defense University dan The East West Centre di Washington DC, Amerika Serikat; serta Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss. Kini ia aktif dalam kajian strategis pertahanan keamanan di Dewan Pertahanan Nasional, mewakili Indonesia di badan internasional SLOCs (Sea Lanes of Communications and Trade) dan duduk sebagai Board of Advisory di Indonesia Institute of Maritime Studies. Salah satu pandangannya adalah mengenai kekuatan sebuah negara dibangun dari militer dan bukan semata ekonomi. Pandangan Connie banyak bergerak pada isu pembangunan kekuatan dan postur Tentara Nasional Indonesia yang bervisi Outward Looking Defence, Maritime & Airspace Regional Security Architecture, serta pentingnya menjaga dan memanfaatkan Sea Lanes of Communications and Trades sekaligus menerapkan aspek strategis dalam persoalan Laut Cina Selatan dan isu keamanan di Samudera Hindia.

Anda kuliah jurusan desain, lalu menyelami dunia militer. Mengenai kepindahan fokus Anda kepada bidang pertahanan, bagaimana hal itu bisa terjadi?

“Tahun 1998, terjadi kerusuhan di Jakarta. Masa-masa ketika Presiden Soeharto dijatuhkan, muncul berbagai persepsi yang menyudutkan TNI. Suatu hari di tengah kekacauan di Jakarta, saya diminta
ibu saya agar segera keluar dari apartemen lalu pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, dari dalam mobil saya melihat seorang tentara tidak punya cukup uang untuk membeli losion antinyamuk. Hati saya terenyuh. Sekelompok tentara bekerja keras menjaga keamanan negara kendati pandangan masyarakat agak sinis dan cenderung menyalahkan militer. Di titik itulah muncul keinginan untuk membela militer. Saya ingin menempatkan militer pada tempat yang seharusnya. Sebab bagaimanapun juga, kekuatan sebuah negara juga diukur oleh militer selain ekonomi. Saya kemudian pamit dengan atasan saya di KONI Pusat, tempat saya bekerja pada waktu itu, lalu kuliah politik dan militer. Jadi di saat semua orang sedang antimiliter, saya malah bicara soal kekuatan militer.”

Apa yang menarik dari bidang ini?

“Militer merupakan domain pembaruan yang masif dan revolusioner. Menarik untuk saya merancang dan menerapkan kaidah serta sistem pertahanan dan alat utama sistem senjata negara kita. Saya sendiri senang berpikir dengan strategi dan selalu tertarik pada hal-hal yang futuristis, di mana landasan berpikir seperti ini membuat saya bisa memberikan pandangan dan pengaruh dalam kebijakan pertahanan negara.”

Bagaimana konsep pertahanan yang ideal untuk suatu negara, khususnya Indonesia?

“Mampu menegakkan kedaulatan dan kehormatan serta supremasi negara. Selain juga perlu memiliki postur anggaran yang ideal dalam konteks perang masa depan. Dalam hal ini, Angkatan Udara seharusnya mendapatkan porsi tertinggi, disusul Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Harus pula dilengkapi dengan restrukturisasi dimana fungsi pertahanan harus dibagi dalam fungsi komando tempur dan fungsi administratur. Fungsi komando tempur bersifat gabungan semua unsur angkatan di bawah komandan pasukan gabungan dan berada langsung di bawah komando Panglima tertinggi yaitu Presiden. Sementara fungsi militer administratur bersifat pembinaan berada di bawah Panglima TNI dan di atasnya ada Menteri Pertahanan. Menteri Pertahanan juga memiliki aparat administratur yaitu Sekjen yang memimpin beberapa Dirjen. Fungsi Kemhan adalah unsur pembangun, sementara unsur pembinaan ada pada Panglima TNI atau di Amerika disebut sebagai Join Chief of Staff.”

styling ISMELYA MUNTU
photography AGUS SANTOSO YANG

Ada sebuah frase, ‘peace through strength’, yang berarti kekuatan persenjataan merupakan bagian penting dari perdamaian. Seberapa besar hubungan antara kekuatan pertahanan militer dengan kedaulatan negara?
“Betul, terdapat peribahasa Latin Si Vis Pacem Para Bellum, yang artinya jika Anda mendambakan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang. Maka mustahil kita bisa kuat dengan persenjataan yang minim. Namun keberhasilan tidak semata-mata karena militer. Alutsista (alat utama sistem senjata) memang penting, tapi bukan segalanya. Perlu mengombinasikan strategi manajemen dalam sebuah sistem yang tepat dan holistik untuk membuat pertahanan kuat. Dan juga penting memperhitungkan kemampuan dan kepiawaian diplomatik dalam hubungan internasional. Ketika Indonesia memperjuangkan perluasan wilayah melalui United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) di PBB, maka yang mesti diperhatikan juga adalah sistem pertahanannya. Ibaratnya, ketika rumah kita semakin luas, maka jumlah satpam mesti jadi lebih banyak. Melihat militer tidak bisa selalu dari kacamata anggaran, tapi juga harus memahami ancaman apa yang mungkin terjadi dan bagaimana menghadapinya. Analoginya begini, besok rumah saya didatangi 10 orang maling tapi uang saya hanya cukup untuk membayar 1 orang satpam. Tentu tidak mungkin saya pasrah lalu berharap semua baik-baik. Sudah tahu akan datang 10 maling, mestinya saya siaga dengan menyewa satpam lebih banyak lagi.”

Artinya negara tidak hanya dibangun dari segi ekonomi?
“Dalam 20 tahun Tiongkok membangun kekuatan, salah satunya kekuatan militer. Amerika dan Tiongkok memberikan anggaran terbesar pada pertahanannya yang kemudian menghidupi industri manufakturnya. Artinya memperkuat militer bisa dilakukan sambil menghidupkan roda ekonomi. Secara otomatis negara mendapatkan devisa ekspor, dan defence spending menjadi investasi. Luas wilayah Indonesia itu membentang dari Turki sampai London. Bayangkan berapa negara yang disatukan untuk membentuk Indonesia? Kita patut memikirkan berapa senjata untuk Angkatan Darat, berapa kapal perang, dan jumlah pesawat tempur serta sistem kendali operasinya. Untuk mewujudkan semua ini tak mungkin tanpa menjalankan roda industri pertahanan. Ekonomi dan pertahanan jelas saling berkelindan.”

Indonesia bangsa yang menjunjung keadaban. Namun juga perlu tegas dalam menjaga kedaulatan. Bagaimana menentukan sikap dalam hal ini?
“Menjaga peradaban juga harus dengan kekuatan. Menghadapi gerakan teroris dan separatis, maka menumpas mati tidak bertentangan dengan prinsip keadaban. Sifat pertahanan (militer) dan keamanan (polisi) itu berbeda. Militer adalah satu-satunya institusi negara yang diperuntukkan dalam fungsi kekerasan untuk mematikan musuh, baik dari domestik maupun mancanegara. Menumpas mati gerakan teroris dan separatis tidak dan bukan bertentangan dengan prinsip keadaban.”

Menjadi perempuan yang berkarier di dunia pertahanan, bagaimana Anda melihat hal ini?
“Orang mungkin bertanya-tanya, mengapa saya bisa bertahan di bidang yang maskulin ini. Saya bisa menjadi seperti saat ini bukan karena jenis kelamin, melainkan passion dan rasa cinta pada Tanah Air. Gagasan, pengetahuan, intelektualitas, dan kapabilitas yang berperan besar. Tidak perlu kita bicara soal gender karena nenek moyang kita bertempur melawan penjajah tanpa memusingkan jenis kelaminnya. Kita mengalami kemunduran apabila sekarang malah membahas gender ketimbang menghitung kapabilitas. Dalam bidang apa pun, perempuan harus muncul karena kemampuannya, bukan karena jenis kelaminnya. Tentu ada tantangan, dianggap tidak tahu apa- apa soal militer. Awalnya nyali saya tidak sebesar sekarang. Tapi kemudian menimba ilmu sampai meraih gelar doktoral. Saya belajar terus-menerus tanpa henti sehingga orang-orang tidak akan bisa beranggapan rendah terhadap perempuan yang menggeluti dunia militer.”