15 Juni 2021
Gading Marten Beradaptasi dengan Waktu

Bergerak dinamis dan berbahagia menjalani hari adalah kunci eksistensi seorang manusia, sebagaimana diutarakan Gading Marten.
Gading Marten mudah didekati. Ia baru saja keluar dari mobilnya dan hendak menyeberang jalan menuju tempat pemotretannya bersama ELLE, saat sesosok pengendara motor yang tengah melintas tiba-tiba menyapa sembari berlalu. Sebuah situasi yang kerap terjadi pada setiap pesohor. Dengan luwes Gading merespon, “Oit! Hati-hati, pak!” serunya akrab seolah sang pengendara adalah tetangga sebelah rumahnya. Si pengendara motor pun menoleh, tersenyum senang sekali, seiring lanjut melaju. Demikian adanya seorang Gading Marten. Pribadinya hangat dan ramah terhadap siapa saja.
Ia datang lebih cepat dari jadwal pemotretan yang telah direncanakan. Selagi menunggu tim ELLE menyelesaikan penataan set, kami duduk bersama di teras depan. Pertemuan pertama saya dengan Gading—bertatap muka dan berbincang langsung—terjadi di tahun 2019 silam. Saat saya menulis tentang pemaknaan hubungan manusia di zaman modern. Gading yang pada tahun tersebut resmi berpisah dari Gisella Anastasia setelah menikah selama lima tahun, bercerita kebaruan perspektif romantika rasa diiringi pengalaman membangun keluarga harmonis bagi putrinya, Gempita Nora Marten. Tidak ada kemurungan, malah canda tawa mewarnai diskusi kami kala itu—seperti halnya hari ini.

“Saya enggak akan mendramatisasi permasalahan hidup, apalagi di hadapan publik. Walaupun, sebagai public figure, saya tahu kehidupan saya bakal menjadi rahasia umum,” ujar laki-laki bernama asli Angling Gading itu mengenang kembali salah satu periode elusif di hidupnya. “Karena enggak ada yang menyenangkan dari menceritakan kemalangan kita kepada orang lain. Sungguh, deh. Yang ada justru bikin orang lain sedih, barangkali marah sampai akhirnya menghakimi. Ketimbang memotivasi sisi negatif seseorang, saya lebih baik merenungi sendiri,” prinsipnya menjelaskan mengapa ia enggan banyak bicara saat momen pribadinya tersebut pertama kali meledak ke khalayak. Seperti manusia pada umumnya ketika jatuh ke titik terendah, Gading lebih mengandalkan keyakinan hati serta orang-orang terdekat tempatnya bertaruh kepercayaan dalam mencari ketenangan.
Namun menjunjung nilai privasi tidak membuatnya memiliki sifat tertutup. Selang beberapa detik, ia sudah berceloteh tentang makna rangkaian tato yang merajah tubuhnya. Ia memperlihatkan rajahan di kedua pergelangan tangannya, di mana terpatri nama sang putri dan sebuah kata (jika bukan akronim) bertulisan CUBS—yang diketahui merupakan sebutan bagi orang-orang di gugus pertama lingkaran pertemanannya. “Ibarat Gempi ialah malaikat kecil di tangan kanan, sahabat-sahabat saya sebagai tangan kiri adalah orang-orang yang menerima komplikasi hidup saya dan selalu bisa diandalkan saat saya butuh bantuan untuk menghadapinya,” tuturnya.

Mewawancara Gading selalu menjadi kegiatan kasual. Di siang hari itu, kami membahas tentang segala hal. Dibuka dari celotehan ringan, lalu update keseharian dibumbui visi-misi filosofis, pekerjaan, dan sesekali memutar kenangan. Gading, yang baru berulang tahun ke-39 pada 8 Mei 2021, telah menjadi salah satu bintang gemilang di dunia hiburan Indonesia dengan usia karier sepanjang hampir dua dekade. Perjalanan suksesnya diawali dari layar televisi lewat sedikit “andil” orangtua. “Dulu, zaman bapak masih sangat aktif main sinetron, tugas mingguan saya adalah menerimakan cek honorarium beliau dari rumah produksi. Suatu hari saat sedang menjalankan tugas mingguan saya tersebut di kantor Multi Vision Plus, saya terlihat oleh ibu Raakhee Punjabi (istri Raam Punjabi, pendiri perusahaan perfilman Multi Vision Plus) dan diminta ikut audisi untuk sebuah sinetron,” kisah putra kedua Roy Marten itu membuka memori awal kariernya.
Gading muda yang penuh rasa antusias meraih pengalaman hidup pun merangkul kesempatan dengan tangan terbuka. Waktu itu sekitar tahun 2003, ia mendapatkan peran debutnya di sinetron ABG (2002-2005), yang memaparkannya pada realitas dunia pertelevisian, dan bukan lagi sekadar spektator kesibukan orangtua. Apa yang terjadi ketika Anda berganti sudut pandang dalam melihat sesuatu? Persepsi Anda turut berubah. “Saya enggak begitu menikmati masa-masa awal menjalani syuting. Saya terdidik melihat bapak selalu tepat waktu setiap bekerja. Tapi agenda produksi yang saya jalani seringkali berubah. Misalnya, saya pernah datang ke lokasi pukul 7 pagi hanya untuk menunggu persiapan kru yang molor hingga berjam-jam. Padahal, saya sudah mengorbankan jadwal sekolah demi datang tepat waktu,” tuturnya. Merasa tak sejalan etos kerja, Gading mempertanyakan gairahnya terhadap seni peran. Ia memilih melangkah mundur, sembari memfokuskan diri menyelesaikan program studi Sarjana Ekonomi Manajemen di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.

Namun, sebagaimana kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Tak berapa lama, figur Gading kembali terlihat menghiasi serangkaian judul sinetron populer dekade awal 2000-an, seperti Kisah Sedih di Hari Minggu (2004-2005), Manusia Bodoh (2005), dan Jelita (2008). “Secara pribadi, saya enggak merasa cocok dengan jam kerja 9 to 5. Pun enggak langsung yakin ingin balik ke dunia entertainment pada awalnya. Tapi naluri semakin mantap seiring proses,” katanya. Ia menunjukkan sikap multitalenta tatkala memandu program musik inBox. “Waktu dipercaya membawakan siaran langsung, modal saya hanya tekad belajar keterampilan presenting,” ungkap Gading. Kendati demikian, manuver beraninya untuk menerima tawaran presenting tak menjadi blunder. Justru mengorbitkan namanya ke jajaran bintang papan atas Indonesia, yang kita kenal sampai hari ini. “Saya pikir, presenting paling merefleksikan kepribadian saya. Kalau Anda memberikan mikrofon dan mendorong saya naik panggung sekarang, saya bisa mengoceh panjang lebar. Tapi hampir 20 tahun melakukannya, saya masih berpendapat pekerjaan ini adalah yang paling sulit. Sebab tanggung jawab menghidupkan nyawa sebuah acara sangat berat,” ujar pemandu acara Berita Dalam Dunia itu.
Keberhasilan menaklukkan televisi tak membuat Gading cepat berpuas diri. Ia memasang target lebih tinggi. “Setiap aktor pasti bermimpi dapat bermain di film layar lebar,” katanya. Kesempatan pertama datang lewat peran kecil di film Love yang dirilis tahun 2008. Ketika Anda memiliki bapak seorang Roy Marten, aktor senior bereputasi tinggi yang disegani sejak era 70-an, dan Anda mencoba merintis jejak profesi sepadan; arah langkah sesungguhnya bagai sebuah ekspedisi pendakian bukit terjal, alih-alih berkendara di jalan tol beralas karpet merah. “Saya tahu bahwa ada banyak pihak yang meragukan kemampuan saya sejak awal. Dipandang sebelah mata dan dibandingkan dengan bapak pun pernah saya rasakan. Tapi, faktanya, saya menjalani setiap proses secara fair demi mendapatkan sebuah peran. Enggak kehitung berapa kali saya gagal dalam audisi,” tutur Gading. Ia tidak memungkiri jika persona Roy Marten adalah “pintu gerbang” jalannya memasuki industri hiburan Tanah Air. Walau begitu, peranan nyata sang bapak bagi aktor peraih Piala Citra itu sebatas panutan (baca: orangtua) yang membentuk mental serta integritasnya berkarya. “Bapak selalu berpesan agar jangan pernah menjadi Roy Marten kedua dan berani tunjukkan warna diri sendiri,” katanya.
Ambisi untuk dipandang berbeda dari orangtua. Apakah hal tersebut yang memengaruhi pemilihan filmnya banyak berpusar pada narasi komedi? Tanya saya. Gading terbahak. “Saya dibesarkan oleh keluarga yang seluruhnya gemar guyon, sehingga menumbuhkan sifat jenaka dalam diri saya. Saya selalu menjalani keseharian dengan berbahagia dan suka berbagi keceriaan itu dengan orang lain di sekitar saya. Enggak heran bila akhirnya berdampak ke pekerjaan,” jawabnya seraya mengepalkan tangan ke udara dengan wajah berseri kemudian berucap, “Moto hidup saya adalah Always Happy!” Komedi berhasil memberikan ruang identitas bagi Gading, jauh dari figur Roy Marten yang identik lakon drama. Namun tak pelak membentuk stereotip karakter perannya lekat lawakan. Sebagai Taat Pribadi di Guru-Guru Gokil (2020) misalnya, atau Galih di Temen Kondangan (2020), begitu pun lakonnya di remake film Naga Bonar Reborn (2019). “Barangkali jiwa saya memang untuk komedi. Saya percaya bahwa terkadang sebuah naskah menemukan, bahkan menunjuk pemainnya sendiri. Selama ini saya enggak mematok standar saat mengambil sebuah peran. Tapi penting bagi saya agar karakternya memiliki kedekatan dengan hakikat masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Gading Marten boleh jadi “wajah” komedi, namun ada momen di mana ia menunjukkan roman intens, dan ia sama sekali tak menahan diri ketika melakukannya. Penampilan Gading di film Love for Sale (2018) ialah salah satu aksi monumental yang membuatnya dihujani pujian dari kritikus dan rekan sineas. “Ada cerita lucu pada hari pertama syuting. Para kru ternyata saling bertaruh bahwa saya memerlukan setidaknya enam atau sembilan kali mengulang pengambilan gambar perdana adegan pembuka filmnya,” tawa pemeran Richard itu pecah mengenang proyek perdananya bersama sutradara Andibachtiar Yusuf tersebut. Mengingat karakternya dikenal humoris, tidak heran bila orang kerap mempertanyakan kapabilitasnya. Terlebih jika orang tersebut belum pernah bekerja sama sebelumnya. “Saya bisa berkonsentrasi penuh menyesuaikan mood dalam hitungan detik kalau sudah masuk set. Cukup dua kali take untuk kami menyelesaikan adegan itu,” kisahnya. Kepiawaian Gading mengolah emosi pun diakui, dan sukses mengantarkannya memenangkan penghargaan Pemeran Utama Laki-Laki Terbaik pilihan Fesival Film Indonesia di tahun 2018.
Pada titik ini, Gading telah melalui sebuah transformasi. Menjadi pemain sinetron, presenter, hingga bintang layar lebar. “Saya membuktikan pesan bapak. Saya bukan “Roy Marten kedua”; saya adalah Gading Marten yang menjalani ragam profesi,” katanya. Kini di usia yang kian matang, ia memperkaya portofolio dengan predikat entrepreneur lewat KUY Entertainment, platform media digital yang ia dirikan bersama Raffi Ahmad dan Sean Gelael. “Saya sadar bahwa setiap manusia memiliki batasnya masing-masing. Produktivitas kita bakal menurun seiring waktu dan kondisi tubuh yang enggak terus-menerus prima. Jadi saya perlu mencari cara untuk bisa senantiasa berkarya,” tuturnya. KUY Entertainment adalah upayanya beradaptasi mengikuti perkembangan zaman. “Buat saya pribadi, seorang entertainer sejati harus tumbuh secara dinamis. Enggak bisa jalan di tempat karena situasi selalu berubah. Pilihannya adalah berkembang dan bergerak, atau bisa tertinggal dan menghilang,” pungkasnya seiring ia telah dipanggil untuk memasuki set pemotretan.