LIFE

16 Oktober 2023

Ganindra Bimo Memainkan Warna Baru dalam Dunia Perfilman Indonesia


PHOTOGRAPHY BY Norman Fideli

Ganindra Bimo Memainkan Warna Baru dalam Dunia Perfilman Indonesia

styling Ismelya Muntu

Beberapa orang tampaknya memang terlahir dengan pesona sebagai teman bicara dalam perjalanan jauh atau malam yang panjang bersama secangkir kopi, Ganindra Bimo salah satunya. Berbicara dengan laki-laki ini menghadirkan satu pengalaman baru; seperti sensasi yang terbuai tatkala mencoba suatu kudapan untuk pertama kalinya. Ditemui di kantor redaksi majalah ELLE Indonesia, aktor yang dulunya atlet itu datang dengan setelan kaos dipadu celana denim. Segera setelah kami duduk, ia meminum kopi tanpa gula sembari mencoret-coret tulisan di atas tisu. Di sela-sela kesibukannya, Ganindra Bimo merawikan sekelumit perjalanan keaktorannya, keterpukauannya pada sinema, pandangannya soal kebesaran hati dan keteguhan yang ia dapatkan dari peristiwa-peristiwa hidup, serta tidak lupa membicarakan tangkapan idenya soal metode pembelajaran akting yang jelas-jelas berbeda dengan dunia presenting yang telah ia kuasai selama bertahun-tahun.


Not everyone is born to act, moreover be gifted with a charisma. Ganindra Bimo salah satu yang memiliki keduanya: bakat berakting dan karisma. Ia sudah cukup banyak wara-wiri di berbagai judul film mulai dari genre romcom, action, hingga thriller dan horor. Semuanya bisa dieksekusi dengan baik oleh Ganindra Bimo dan ia nyaris selalu jadi scene stealer dalam judul-judul yang dibintanginya. Bimo muncul sebagai pemeran utama dalam film thriller berjudul Kamu Tidak Sendiri (2022). Beradu peran dengan Adinia Wirasti dan Rio Dewanto, Bimo memerankan karakter bernama Mika. Seorang pekerja yang terjebak di dalam lift. Mika harus melawan rasa takut dan cemas, berusaha bertahan hidup selama dirinya terkurung di dalam lift kecil. Meski sebagai pemeran pendukung dalam film Jalan yang Jauh Jangan Lupa Pulang (2023), Bimo memberikan satu performa yang kuat dan sikap yang sangat relatable manakala ia memerankan sosok kekasih yang toksik bernama Jem. Jem adalah seorang seniman muda berbakat, sosok yang narsistik dan kerap marah tak terkendali, ia bahkan kerap menjadikan pacarnya sebagai pelampiasan amarah.



Film Jagat Arwah adalah film horor fantasi Indonesia pertama yang saya tonton. Karakter yang mencuri perhatian di film tersebut tentu saja Dru yang diperankan oleh Ganindra Bimo. Sosok genderuwo atletis yang super kuat namun punya suara khas setiap kali dia tertawa. Sang aktor berusaha menampilkan kemampuan akting terbaiknya dan karena tidak dibuat dengan visual yang menyeramkan, Dru malah bikin saya ikut tergelak setiap dia tertawa. Jadi bukan hanya perlu waktu berjam-jam untuk merias wajah dan tubuh agar menyerupai genderuwo, Ganindra Bimo boleh dibilang turut berhasil menunjukkan penjiwaan karakter yang luar biasa sebagai Dru. Bimo turut bermain dalam Jakarta vs Everybody (2022), sebuah film yang memperlihatkan realitas dan sisi kelam mengenai kehidupan di Ibu Kota. Beradu akting dengan Jefri Nichol, Bimo berperan sebagai Radit, pemilik barbershop di Jakarta yang diam-diam juga bekerja sebagai pengedar dan penjual narkoba. Sebagai salah satu tokoh utama, penampilan Bimo seakan memiliki perasaan yang menjangkau para penontonnya. Mulai dari gestur nakal yang tidak dibuat-buat dan marahnya yang kadang membuat kita penonton ikut merasa emosional. Penampilan apik yang membuat Jakarta vs Everybody tanpa Ganindra Bimo mungkin terasa kurang.

Sang aktor menambah daftar panjang portofolionya lewat peran sebagai crossdresser. Film Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017) merupakan film yang menunjukkan bagaimana gemerlapnya dunia malam di Jakarta. Sebuah karya yang diadaptasi dari novel karya Moammar Emka dan disutradarai oleh Fajar Nugros ini menyertakan Bimo sebagai sebagai salah satu pemainnya. Ia memerankan karakter yang sangat berbeda dari film-film lainnya, menjelma menjadi sosok crossdresser bernama Awink yang kerap berpakaian ketat dan seksi sambil menenteng tas di lengan. Peran ini pula yang mengantarkan nama Ganindra Bimo sebagai pemenang kategori Pemeran Pembantu Pria Terpuji Film Bioskop di ajang Festival Film Bandung 2017 dan peraih nominasi Aktor Pendukung Terpilih di Piala Maya 2017 dan Usmar Ismail Awards 2017. Sekali lagi, jangkauan Ganindra Bimo kerap terbukti pada peran-peran beragam yang jauh dari kesan ‘main aman’.



Aneh rasanya bisa membicarakan Ganindra Bimo tanpa harus mendekati konten-konten bergenre action yang kerap menjadi stereotip Bimo. Karena memang kenyataannya, sejauh ini Bimo malah baru dua kali main film action. Ia pernah memerankan supporting role dalam film action berjudul Headshot namun perannya dimainkan tanpa adegan fighting. Bimo baru beraksi dalam film laga di serial Serigala Terakhir dan film berjudul 13 Bom di Jakarta yang rencananya ditayangkan di bioskop pada akhir tahun ini. Tapi itulah mengapa kita mendiskusikannya. Selain membahas karya-karya Bimo yang kerap terlewatkan―dan boleh jadi underrated―suguhan penampilan aktingnya juga entah kenapa lebih gampang diingat daripada sang karakter utama itu sendiri.


Ganindra Bimo bukan satu-satunya aktor Indonesia yang menuai pujian atas kiprahnya di dunia perfilman. Namun ia satu dari sedikit contoh pekerja seni Tanah Air yang memiliki kesungguhan dalam dunia seni peran. Keberhasilannya berakar dari usahanya yang sepenuh hati membuktikan kemampuan diri meski ia sebenarnya tak pernah merencanakan akan masuk jajaran nama pemain yang diperhitungkan di industri sinema. Sebelum Ganindra Bimo dikenal sebagai presenter dan aktor, ia awalnya berkecimpung sebagai atlet. Sejak sekolah menengah sudah hobi berenang dan bermain basket, maka Bimo kemudian menekuni basket sampai suatu hari ia cedera, yang memaksanya untuk rehat dari dunia keatletan. Tahun 2008, Bimo orang terakhir yang ikut casting MTV VJ Hunt tapi ia malah diterima menjadi presenter yang kemudian membuka jalan masuk ke dunia seni peran. “Saat sedang asyik-asyiknya menikmati basket, semesta mengatur hidup saya dengan memberi peristiwa kurang enak lalu membuka jalan agar saya memasuki dunia presenting. Sepuluh tahun menjadi presenter, saya seperti berada di zona nyaman yang saking nyamannya sampai-sampai saya merasa tidak ada ruang untuk berkembang hingga akhirnya tibalah kesempatan bermain film,” kenangnya.


Kali pertama berakting, Ganindra Bimo muncul dalam film bergenre romantic comedy berjudul Kick n’Love yang dirilis pada 2008. Film kedua berjudul Sang Martir, sebuah pengalaman yang menyadarkan Bimo bahwasanya seni peran bukanlah soal penampilan menawan di depan kamera apalagi sekadar menghapal teks. Bertahun-tahun menguasai kemampuan berbicara di depan umum, Bimo menemukan kebaruan dari dunia seni peran. Ia kembali belajar hal baru dengan tantangan yang berbeda, proses yang tidak sama, dan kesempatan lain untuk mengolah dirinya. “Saat membawakan acara, saya menampilkan jati diri saya. Semakin otentik dengan sesuatu yang ‘berbeda’, maka semakin dicari oleh banyak tawaran pekerjaan presenting. Alih-alih meniru orang lain, menjadi presenter justru menuntut saya agar menjadi diri sendiri di depan banyak orang. Ketika dikasih materi, saya dengan segera menguasai skrip dan memvisualisasikan apa yang akan terjadi di tempat acaranya. Tapi ternyata dunia seni peran sama sekali berbeda. Dan kemauan untuk belajar masih menjadi kunci utama yang ikut membantu proses menuju keberhasilan. Tanpa pernah punya pengalaman akting, saya belajar ke sana ke mari, mencari petuah dan nasihat dari mereka yang berkecimpung lebih dulu di industri film. Seperti apa membedah naskah, bagaimana caranya menjiwai karakter dan mengolah rasa, serta memahami pentingnya untuk tidak merasa puas diri,” ujar Bimo.

Komitmennya untuk mendalami seni peran tidak main-main. Ia tinggalkan dunia presenting untuk fokus belajar akting. Sutradara Fajar Nugros datang membawa ‘tantangan’ menawarkan sang aktor peran sebagai crossdresser dalam Moammar Emka’s Jakarta Undercover. Bimo bercerita, “Kelihatannya saya termasuk sosok yang ekstrem maskulin; laki-laki, memakai tato, dan penampilan fisik yang khas laki-laki. Saya kemudian ditantang untuk memerankan seorang crossdresser dengan kisah hidup yang cukup pilu. Saya yang waktu itu sedang hobi muay thai, tiba-tiba harus rutin latihan menari selama tiga bulan. Melakukan berbagai proses riset dan observasi, mewawancarai seorang crossdresser untuk mengetahui landasan di balik keputusan hidupnya, yang terus terang semua itu tidak mudah, sampai akhirnya saya malah punya rasa ‘kecanduan’ untuk mendapat peran-peran yang tingkat tantangannya membuat saya seperti ‘hidup’. Sebesar apa ruang yang dimiliki untuk menghidupi karakter dan sejauh mana saya bisa masuk ke dalamnya. Dengan berakting, saya seperti sedang berwisata keluar dari kehidupan nyata lalu berkelana dari satu karakter ke karakter-karakter lainnya, merasakan rasanya jadi orang lain. Tidak hanya itu, emosi marah dan bahagia itu ternyata sangat beragam dan punya banyak lapisan. Mau marah di level yang seperti apa? Ingin bahagia di tingkatan yang mana? Keseruan itu juga terjadi manakala saya berperan sebagai genderuwo. Apakah filmnya bakal laku atau tidak bukanlah kuasa saya, tapi saya bertanggung jawab untuk menja dan membuat karakternya jadi believable. Memerankan seorang pembunuh, saya bisa datang ke lapas untuk belajar dari para pelaku pembunuhan. Tapi untuk menjadi genderuwo, siapa yang harus diajak riset? Jadi adakah pekerjaan lain di dunia ini yang keseruannya seperti itu?”


Sekitar 300 tahun lalu, filsuf Jerman, Leibniz, mengatakan bahwa kita manusia hidup di dunia terbaik yang mungkin pernah ada. Namun nyatanya berbagai peristiwa tak menyenangkan seolah melawan pernyataan tersebut. Sungguhlah tidak mudah menebak arah hidup akan ke mana di saat kita sedang dilanda ujian. Masa kecil laki-laki kelahiran 1987 ini jauh dari konsep bermewah-mewah apalagi dimanja orangtua. Rentetan peristiwa mengharuskan Ganindra Bimo melewati sejumlah tantangan hidup dan memahami apa artinya menjadi manusia kuat. “Mustahil ada hidup yang selalu baik-baik saja, I was molded by darkness. Namun lama-kelamaan saya jadi mengerti bahwa Tuhan memang sengaja menghadirkan ujian yang besar agar saya punya mental sekuat baja. Setiap hari saya selalu menguji diri sendiri, seberapa persisten seorang Ganindra Bimo? Ketika saya tujuh kali jatuh, berapa kali saya bisa bangkit kembali? Saya akhirnya menyadari ternyata masa lalu yang gelap, punya banyak trauma dan ketakutan itu pada akhirnya malah bikin saya jadi susah untuk merasa takut. Dulu saya sangat akrab dengan kekerasan, berantem itu ‘makanan’ sehari-hari. Banyak hal menempa hidup saya sampai akhirnya saya memilih untuk melangkah dengan iman,” kisah Bimo.

Persistensi itu tidak datang ujug-ujug. Besi menajamkan besi, manusia menajamkan sesamanya. Kita dibentuk dan dibuat semakin matang dan dewasa dari berbagai peristiwa hidup yang kadang situasinya ‘panas’ namun bernas dengan hikmah. Mendengar cerita Ganindra Bimo, saya jadi teringat sebuah perkataan Ali Bin Abi Thalib bahwasanya balas dendam terbaik adalah menjadikan dirimu lebih baik. “Orang mungkin bertanya-tanya kenapa saya sangat concern dengan tubuh dan kesehatan. Sebenarnya dulu awal-awal rajin olahraga bukan karena saya peduli kesehatan, tapi menjadi obesitas saat sekolah membuat saya jadi sasaran empuk untuk dirundung teman-teman. Dipukulin, disiram air dingin, disundut rokok, you name it. Diperlakukan seperti itu saya malah jadi seperti dicambuk, saya ingin punya bentuk tubuh yang secara estetika enak dilihat agar mereka tidak merundung saya lagi. Saya jadi rajin renang, main basket, sampai akhirnya menjadi atlet. Mentalitas dan sikap persisten saya mungkin bisa dibilang lahir dari kondisi-kondisi kurang baik di masa lalu, sesuatu yang pada akhirnya memang harus dilewati lalu dimaafkan. Sampai akhirnya saya bertemu dengan istri saya, Andrea. Dia adalah alasan saya kini lebih mendekatkan diri pada Tuhan. Dia juga yang mengajarkan saya tentang kesabaran dan kasih sayang. Saya yang tadinya ‘dibesarkan’ oleh kekerasan lalu bisa punya ‘self-love’ dan mampu menyayangi diri sendiri itu karena sosok istri saya. Dia yang mengubah perspektif saya mengenai konsep cinta kepada diri sendiri, hal penting yang ternyata amat dibutuhkan untuk mengarungi kerasnya kehidupan,” tutur Ganindra Bimo.