8 Juli 2020
Haico Van der Veken Menempatkan Ranah Personal Tetap Privat

Ia menarik garis batas antara kehidupan privat dan gerak persona di panggung hiburan yang telah melejitkan eksistensinya sebagai salah satu wajah segar layar kaca.
Perjalanan Haico Van der Veken di ranah hiburan dibuka lewat sebuah film televisi, plus suatu peran kecil di film Generasi Micin vs Kevin (2018). Namun, baru dua tahun belakangan, ketika ia bermain di sinetron Samudra Cinta (episode terakhirnya disiarkan tahun 2021), figurnya benar-benar familier di mata publik. Ia memerankan tokoh Cinta, yang dengan cepat menuai pembicaraan fanatik publik lantaran narasi bucinnya bersama Samudraâtokoh yang diperankan oleh Rangga Azofâbegitu dielu-elukan oleh jutaan penikmat drama televisi Indonesia. Cinta, kemudian menjadi peran kritis yang melesatkan nama Haico Van der Veken dari jajaran pemeran pendatang baru menuju puncak pilar televisi nasional di usia 18 tahun. Ia diganjar Piala Indonesian Television Awards kategori Aktris Sinetron Terpopuler tahun 2020. Reputasinya terbukti kian kokoh tatkala mempertahankan gelar Aktris Utama Paling Ngetop ajang SCTV Awards selama dua tahun berturut-turut, pada 2020 dan 2021.
âSesungguhnya saya tidak pernah bercita-cita menjadi terkenal,â ungkap Haico. Ia menghela napas sesaat sebelum melanjutkan pengakuan, âMenjalani dunia keaktoran adalah sebuah keputusan besar yang awalnya sangat berat bagi saya. Bahkan, saat pertama kali mulai terlibat proyek syuting, saya sempat merasakan dilema apakah saya benar-benar ingin melanjutkan berkarya atau tidak.â Saya menyimaknya berkisah selagi menunggu sesi pemotretan ELLE Young Talent 2022. Intonasinya tenang. Tidak ada nada kecemasan. Ia terdengar seakan telah melalui fase krisis itu.
âWaktu pertama kali mendapat tawaran tampil di televisi, saya membayangkan bagaimana hidup saya akan berubah nantinya,â ia mengungkap perihal yang melatari kebimbangannya menggeluti jagat hiburan, âPertama, saya harus melepaskan kehidupan di Bali dan pindah ke Jakarta. Kedua, orang-orang bakal mengetahui siapa saya. Wajah saya akan dikenali oleh banyak orang ke mana pun pergi; rasanya seperti saya tidak akan dapat bergerak bebas. Pemikiran bahwa saya akan kehilangan privasi terasa sedikit menakutkan.â

Kendati menawarkan hujan sanjungan dan mampu menempatkan seseorang di sentral kehidupan sosial, kepopuleran tidak datang tanpa imbalan. Merelakan keleluasaan pribadi ialah satu di antara konsekuensinya; dan harga tersebut cukup menggentarkan Haico yang pada masa itu baru berusia 16 tahun, ketika direkrut oleh sebuah agensi entertainment di Bali. âIt was very difficult at the early stage of my career. Apalagi saat melihat anak-anak seumuran saya tengah leluasa menikmati hidup mereka, sementara saya berkutat dengan tanggung jawab. Saya menjadi mudah stres, dan kerap kali mengalami sindrom panic attack bilamana memikirkan kehidupan. Saya tahu masa muda tidak 100 persen berakhir seluruhnya hanya karena bekerja. Tetapi saya memulai perjalanan ini saat berusia 16 tahun, dan di umur itu, sikap saya tidak selalu baik dalam merespons segala sesuatu,â kisah perempuan yang kini tengah disibukkan kegiatan syuting sinetron Buku Harian Seorang Istri itu.
Di tengah pergulatan batin atas pilihan karier yang berimbas pada arah kehidupannya, Haico menemukan titik kesadaran. âSaya merenungkan kembali motivasi yang mengantarkan keputusan saya pada jalan profesi ini; saya ingin berbagi hal positif dan menginspirasi banyak orang. Hasrat itu senantiasa menjadi penggerak untuk saya terus maju sampai sekarang,â ujarnya. Di titik itu, saya dapat merasakan bagaimana kegelisahan Haico yang sejak tadi âmendominasiâ tajuk obrolan kami usai terpatahkan seiring semangatnya dalam berkarya terus tumbuh. Namun, apakah itu berarti ia telah berkompromi dan mengizinkan publik mengenal pribadinya secara terbuka? Tidak. Selama empat tahun merintis karier di dunia hiburan, pendapatnya terhadap nilai privasi mutlak tak terbiaskan.

âSaya berusaha memisahkan kehidupan personal dari kehidupan profesional,â katanya diikuti senyuman. Tentu saja Haico sadar sepenuhnya bahwa dunia tempatnya berkarya tidak membuat prinsipnya berjalan mudah. Terlebih lagi kemajuan teknologi telah menempatkan manusia hidup di zaman di mana kita bisa menemukan segala informasi tentang manusia lainnya hanya dengan satu ketukan jari. Meski demikian, sikap idealis Haico juga bukan mustahil terealisasi. âAnda percaya tidak jika saya bilang bahwa saya bukan penggemar media sosial?â ia bertanya pada saya. Saya terdiam. Jujur saja, nalar saya sedikit sulit mencerna kebenaran adanya generasi muda yang tidak antusias dengan media sosial.
Haico mengaku mulai aktif menggunakan media sosial semenjak masuk dunia entertainment. Ia memanfaatkan media sosial sebagai ruang komunikasinya dengan para penggemar. âRata-rata postingan saya berhubungan dengan pekerjaan. Saya tidak begitu menyukai mengunggah setiap kegiatan yang saya lakukan. Dan saya jarang atau tidak sama sekali mengunggah konten yang bersifat personal. Saya tidak menggunakan fitur private circle. Saya tidak memiliki âsecond accountâ. Saya hanya tidak akan membagikannya di media sosial,â ujarnya. Ia tidak pernah khawatir eksistensinya akan mati bilamana bersikap pasif di dunia maya. Baginya, karya nyata jauh lebih substansial. Bagi Haico, berkarya secara real adalah pembuktian substansialnya.