LIFE

8 Maret 2025

Happy Salma Menggunakan Karya Sebagai Bentuk Perlawanan dan Ruang Merayakan Identitas Perempuan


PHOTOGRAPHY BY Thomas Sito

Happy Salma Menggunakan Karya Sebagai Bentuk Perlawanan dan Ruang Merayakan Identitas Perempuan

Styling Ismelya Muntu; fashion Dior, Fendi, makeup Ryan Ogilvy, hair Ichanna; assistant styling Istigozah Anisa, Raniah Intan

Ada Perempuan-Perempuan yang menolak diam, yang memilih menenun suaranya dalam karya, menjahit keberanian dengan kecerdasan, dan menganyam perlawanan dalam seni. Happy Salma adalah salah satunya. Ia adalah sosok yang bergerak luwes di antara berbagai ranah: seni peran, sastra, teater, dan budaya, menjadikannya lebih dari sekadar aktris atau seniman. Dalam lanskap seni Indonesia, perjalanan Happy Salma adalah kisah tentang keberanian seorang perempuan yang tak hanya beradaptasi, tetapi juga menantang dan menciptakan ruang bagi dirinya sendiri. Ia adalah bukti bahwa perempuan dapat berdaya dengan caranya sendiri. Di tangannya, sastra, teater, dan film tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga medium untuk menyuarakan kegelisahan, memperjuangkan warisan budaya, dan mengangkat suara mereka yang kerap terpinggirkan. Dalam perjalanan panjangnya, ia menyuarakan identitas dan perlawanan dalam ekspresi yang lembut namun menggema jauh. 

Sejak kecil, dunia telah menggiringnya ke banyak persimpangan. Happy Salma lahir di Sukabumi, 4 Januari 1980, dan menghabiskan masa kecilnya di kota itu sebelum akhirnya merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Universitas Trisakti. Namun jauh sebelum mengenal hiruk-pikuk Ibu Kota, dunia hiburan sudah lebih dulu mengetuk pintu hidupnya, mengajak ia untuk melangkah ke wilayah-wilayah baru. Sebuah kebetulan sederhana mengawali segalanya: di usia 15 tahun, Happy menemani kakaknya dalam ajang Putri Indonesia. Ketika itu, seorang fotografer memotretnya menggunakan sisa film di kameranya, lalu menyarankan agar ia mengirimkan fotonya ke redaksi majalah Gadis. Ia menurut, dan tanpa diduga, terpilih sebagai finalis Gadis Sampul. Dunia modeling sempat ia jajal, tetapi tak sepenuhnya membuat Happy nyaman. Awalnya ia merasa senang namun kemudian tertekan karena menjadi model ternyata bukan hal yang mudah, sampai akhirnya kegiatan modeling itu tidak terlalu ditekuninya. 

Musik kemudian menarik Happy masuk ke dalam ruang kreatif yang lebih personal. Bersama temantemannya, ia membentuk band bernama Fla dan juga menjadi penyanyi tambahan untuk band metal milik kakaknya, Kerrang. Perjalanan itu membawanya ke dapur rekaman di usia 17 tahun, namun industri musik punya dinamika sendiri. Ketika albumnya tak kunjung rilis, seorang musisi besar, Franky Sahilatua, melihat potensi Happy Salma dan mengajaknya terjun ke dunia akting. 

fashion Hermès (gaun); Fendi (sepatu bot).

Tahun 1998, Happy membintangi sinetron pertamanya, Kupu-Kupu Ungu. Dunia seni peran menjadi kanvas baru bagi Happy. Ia memulai kariernya di dunia seni peran dengan membintangi puluhan judul sinetron. Tahun 2006, Happy kemudian membintangi film-film layar lebar, yakni di antaranya Sang Penari, Dilan 1990, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Bebas, Ali & Ratu Ratu Queens, Before, Now & Then, Siksa Kubur, Tebusan Dosa, dan lainnya. Selain di depan layar, Happy pun pernah menjadi sutradara. Film omnibus Rectorverso adalah film yang disutradarainya bersama Marcella Zalianty, Olga Lidya, Cathy Sharon dan Rachel Maryam. Selain film layar lebar, Happy Salma juga menyutradarai film pendek di antaranya Kamis Ke- 300 dan Ibu dan Anak Perempuannya.

Namun, dunia sinema ternyata bukan satu-satunya ruang yang ingin ia tempati. Ada dorongan yang lebih besar di dalam dirinya—dorongan untuk menggali lebih dalam, mencari makna di balik seni, dan mendekatkan diri pada sesuatu yang lebih substansial. Di tengah kesibukan syuting sinetron, ada kecintaan pada sastra yang tak bisa diredam. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, Marah Roesli, Achdiat Karta Mihardja, dan Sutan Takdir Alisjahbana menjadi semacam pelita, membawanya menyelami dunia yang lebih filosofis. Ia mulai menulis, dan meski karyanya pernah ditolak penerbit, ia tak berhenti. Ketekunannya membuahkan hasil, hingga pada pertengahan 2006 ia bertemu Rieke Diah Pitaloka yang kemudian dari hasil pertemuan tersebut penerbit Koekoesan milik Rieke meluncurkan buku pertama Happy yang berjudul Pulang (2006). Kumpulan cerpen Pulang (2006) dan Telaga Fatamorgana (2008) bahkan masuk nominasi Literary Khatulistiwa Award, sebuah pencapaian luar biasa bagi penulis debutan. Happy juga berkolaborasi dalam antologi cerita pendek Titian: Antologi Cerita Pendek Kerakyatan (2008), Lobakan: Antologi Cerita Pendek (2009), 24 Sauh Kolaborasi Cerpen (2009) dan Dari Murai Ke Sangkar Emas (2009). Selain cerpen, Happy menulis novel kolaborasi bersama Pidi Baiq dengan judul Hanya Salju dan Pisau Batu (2010). Terakhir, ia menulis dan menerbitkan buku biografi kreatif Desak Nyoman Suarti berjudul The Warrior Daughter (2015). 

Diakui Happy bahwa karya-karya besar sastra Indonesia banyak memengaruhi cara pandangnya, dan bahkan dia berani menggeluti dunia panggung teater juga karena kecintaannya pada karya-karya tersebut. “Menulis mungkin bukan sepenuhnya profesi saya, namun dengan menulis, saya punya ruang untuk berekspresi. Sastra telah mengajarkan saya beragam bentuk kebijaksanaan dalam hidup. Banyak pelajaran disampaikan lewat sastra dan seni. Maknanya sangat dalam dan sastra membuat manusia tumbuh menjadi sosok yang punya empati. Kisah-kisah dalam sastra itu memunculkan solidaritas batin. Saya rasa apa pun profesi kita, penting untuk mendekatkan diri pada budaya membaca dan menelusuri karya-karya sastra. Dengan begitu kita terlatih merasakan batin orang lain dan terdidik untuk memikirkan kehidupan dari perspektif yang lebih luas,” tutur Happy. 

Namun sastra bukan hanya tentang membaca dan menulis bagi Happy. Ia ingin menghidupkannya, membawanya ke ruang yang lebih dekat dengan penonton, lebih nyata, lebih mendalam. Maka, panggung teater menjadi jawaban. Debutnya di dunia panggung terjadi pada 2007, ketika ia memerankan Nyai Ontosoroh dalam pementasan Nyai Ontosoroh. Sebagai adaptasi dari novel Bumi Manusia, pentas ini mencerminkan kegigihan kaum tertindas yang menentang kezaliman, sebagaimana lazim terbaca dalam karya Pram. Sosok Ontosoroh dalam novel tersebut pun sangat istimewa dan inspiratif bagi gerakan perempuan. Sebuah pengalaman pertama Happy bermain teater yang turut menggalang kolaborasi Happy dengan seniman-seniman kaliber seperti penulis naskah teater Faiza Mardzoeki, pematung Dolorosa Sinaga, dan sutradara teater Wawan Sofwan. Peran itu bukan sekadar tantangan akting, tetapi juga sebuah pernyataan sikap. Nyai Ontosoroh, seorang perempuan yang melawan ketidakadilan dalam sistem kolonial, ia ikon perlawanan dan simbol ketangguhan yang resonansinya masih terasa hingga kini. “Dalam sosok Ontosoroh, saya melihat refleksi banyak perempuan: tangguh, berani, dan tak mau tunduk pada sistem yang menindasnya. Peran ini menjadi titik balik, mempertemukan saya dengan senimanseniman besar dan meneguhkan langkah di dunia teater,” ujar Happy.


fashion Dior

Pengalaman bermain teater terus bergulir. Tahun 2009, Happy mementaskan monolog Ronggeng Dukuh Paruk di Amsterdam, Bern (Swiss), dan Taman Ismail Marzuki yang ceritanya diadaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan kemudian diikuti dengan pementasan yang lain yaitu Jabang Tetuko (2011), Java War “Opera Diponegoro” (2011), Monolog Inggit (2011 – 2014), Roro Mendut (2012), #3Perempuanku, Bukan Bunga Bukan Lelaki (2015), beberapa pentas teater bersama kelompok Indonesia Kita dan terakhir kembali berperan sebagai Nyai Ontosoroh dalam judul Bunga Penutup Abad (2016 – 2017). 

Bertahun-tahun, teater menjadi rumah bagi Happy. Ia terus bertransformasi di atas panggung dalam berbagai peran monumental. Dari satu panggung ke panggung lain, Happy terus menantang dirinya. Ia memainkan monolog Ronggeng Dukuh Paruk, menghidupkan kembali kisah Srintil yang tragis, dan kemudian menelusuri jejak Inggit Garnasih, perempuan yang berdiri di samping Soekarno dalam perjalanan revolusi Indonesia. Lewat monolog Inggit, ia membuktikan bahwa sejarah bukan hanya milik laki-laki; ada perempuan-perempuan yang menjadi pilar perjuangan, meski nama mereka sering kali terpinggirkan. Di atas panggung teater, Happy bukan sekadar aktris, tetapi juga seorang pengisah yang membawa penontonnya masuk ke dalam narasi tentang perempuan, sejarah, dan perlawanan. 

Kecintaannya pada sastra dan teater melahirkan sebuah gagasan besar: Titimangsa Foundation. Sebuah yayasan yang ia dirikan bersama Yulia Evina Bhara pada 2007. Melalui Titimangsa, ia tidak hanya memproduksi teater, tetapi juga memperkenalkan kembali karya sastra klasik kepada publik dengan cara yang lebih dekat dan kontemporer. “Saya tak membayangkan Titimangsa bisa bernapas panjang sampai hari ini. Sejak awal, Titimangsa digagas sebagai suatu wadah informal untuk perluasan proses kreatif dan minat saya dalam seni pertunjukan, juga kecintaan saya pada karya sastra untuk dialihwahanakan. Secara harfiah, Titimangsa memiliki arti kata ‘tepat pada waktunya’, merujuk pada titian proses perjalanan dalam saat atau waktu yang tepat. Sebagai lembaga nonprofit yang memproduksi seni pertunjukan, dikelola lebih karena kecintaan. Meski ada sejumlah produksi melibatkan tim yang sama, sebagaimana kodratnya seni pertunjukan, proses produksi selalu jadi peristiwa yang baru. Dalam rentang perjalanan itu, tak sedikit muncul situasi dan kendala yang membuat nyaris putus asa. Yang paling nyata saat pandemi, wabah yang membuat semua aktivitas terganggu, termasuk kesenian, lebih lagi seni pertunjukan. Namun hal itu membuka pikiran kami bahwa seni tak selalu berarti panggung, tetapi juga suara,” cerita Happy Salma. 

Di tengah pandemi 2020, saat panggung-panggung fisik terhenti, Happy dan Titimangsa beradaptasi dengan merambah produksi sandiwara sastra dalam format audio. Mereka menghidupkan kembali karya-karya besar seperti Ronggeng Dukuh Paruk dan Layar Terkembang, membuktikan bahwa seni selalu menemukan jalannya, bahkan dalam keterbatasan. Happy bukan hanya seniman yang menikmati panggungnya sendiri, tetapi juga penggerak yang membawa seni ke ruang-ruang yang lebih luas. Ia bergerilya ke sekolah-sekolah, memperkenalkan sastra kepada anak-anak muda, membangkitkan minat mereka pada cerita yang mengakar dalam identitas bangsa. Ia tidak sekadar menjadi aktris atau produser; ia menjadi jembatan antara generasi, antara masa lalu dan masa kini, antara seni dan kesadaran sosial. “Saya ingin Titimangsa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, memperkenalkan generasi baru pada karya-karya sastrawan besar yang mungkin terlupakan. Di bawah payung yayasan ini, saya tidak hanya ingin menjadi pelaku seni, tetapi juga fasilitator yang memastikan bahwa seni tetap menjadi bagian dari dialog kebudayaan yang hidup,” ujarnya. 

Happy Salma juga pernah menggandeng para seniman di Ubud untuk membuat sebuah pertunjukan seni secara daring. Dalam tajuk Taksu Ubud, ia berkolaborasi bersama banyak seniman di sana, mulai dari seniman musik, teater, lukis, hingga tari. Orang Bali dikenal dekat dengan adat dan kebudayaan. Di Ubud, sebagian warga menjalani profesinya di siang hari, lalu berkesenian di malam hari. Adat dan kesenian di sana, berkelanjutan karena menyatu dengan keseharian warga, kemudian diamplifikasi oleh sektor pariwisata. Orang Bali pun sejak dulu berkesenian di ruang domestik, kemudian berkembang ke panggung pertunjukan untuk pariwisata. Happy bercerita, melalui pertunjukan Taksu Ubud, ia jadi belajar banyak tentang spontanitas, berkesenian, dan belajar bahwa budaya bukan sekadar tempelan, melainkan merasuk menjadi bagian dari masyarakat. Taksu Ubud merupakan pertunjukan seni hasil kerja sama antara Titimangsa Foundation dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Happy mengajak Christine Hakim dan Reza Rahadian turut terlibat sebagai dua tokoh sentral di pertunjukan ini. Sedangkan senimanseniman Bali yang terlibat, yakni Dayu Ani, I Wayan Sudirana, Arsa Wijaya, Dewa Ayu Eka Putri, dan Made Sukadana. “Saya ingin terus berani menjalani segala kemungkinan dalam hidup. Dan saya rasa ada relevansinya terkait kecintaan saya pada sastra dan dunia tulis-menulis. Baik itu fiksi maupun kisah nyata, ragam bacaan telah memperkaya hingga saya menjadi perempuan yang berani menjelajahi apa yang tidak pasti di depan sana. Saya jadi merasa tidak sendiri dan menjadi kuat dari hari ke hari. Maka penting untuk terus setia dengan pilihan kita agar kita senantiasa bergerak mencari cara untuk terus bertahan bahkan di tempat yang gersang sekalipun,” tutur Happy. 


fashion Sapto Djojokartiko (blazer, rok tekstur quilt, dan rok dengan embellishment), Fendi (sepatu bot)

Sejak awal berdirinya Titimangsa Foundation pada 2007, Happy sudah berniat menjadi jembatan antara dunia sastra, teater, dan film. Ia tidak ingin membentuk komunitas eksklusif, yang sudah banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok sastra dan teater di Indonesia. Happy sendiri lebih menikmati menjadi produser, yang mempertemukan banyak talenta. Hampir dalam setiap pentasnya, Titimangsa Foundation selalu melibatkan nama-nama populer di panggung dan film. Happy misalnya pernah menggaet sutradara Agus Noor, Yudi Ahmad Tajuddin, Wawan Sofwan, dan Iswadi Pratama dari dunia panggung. Dari dunia film ia melibatkan aktor Reza Rahadian, Lukman Sardi, Chicco Jerikho, Chelsea Islan, dan Laura Basuki. Pemilihan mereka, kata Happy, tidak biasa. Mereka adalah orang-orang yang terkait langsung dengan dunia panggung. Semuanya dilandasi strategi meningkatkan dan memopulerkan dunia teater di mata publik. Sementara, ujar Happy, orang-orang film menganggap dunia teater itu seperti workshop. Selain melibatkan nama-nama populer, Titimangsa juga menggelar kelas-kelas menulis yang melibatkan publik secara lebih luas. Pada akhirnya, Happy ingin menciptakan ekosistem berkesenian yang lebih sehat yang tidak terkotak-kotak seolah tidak saling mengenal satu sama lainnya. “Setiap produksi selalu jadi peristiwa baru dan memberi pengalaman baru. Meski dikerjakan awak produksi yang sama—artistik, sutradara, sampai pemimpin produksi—sebuah produksi bukanlah pengulangan. Selalu ada tantangan dan kendala berbeda, dan itu memperkokoh kebersamaan. Kebersamaan dan kedekatan saya dengan sejumlah seniman membuat Titimangsa seperti rumah bersama. Bukan semata demi sebuah produksi, melainkan juga rumah untuk saling bertukar pikiran, menggodok ide bersama, membaca berbagai isu kesenian dan budaya yang bisa kami respons. Sesungguhnya sebagai titian, Titimangsa berusaha menjadi jembatan lintas bidang. Kami mengajak orang film untuk terjun ke dunia teater, begitu juga sebaliknya orang-orang teater bermain dalam film. Hal ini didasari pemikiran bahwa semua bidang kesenian harus bahu-membahu memajukan kesenian dengan misi kemanusiaan. Saya percaya ke depannya seni pertunjukan Indonesia bisa bernapas panjang untuk menampilkan kreativitas dan ekspresi, termasuk alih wahana karya sastra, dan memberi daya hidup pada ruang-ruang gagasan seni yang lebih bervariasi,” ujar Happy. Harapan itulah yang membuat Happy dengan ringan melakoni perjalanan bolak-balik Bali-Jakarta. Ia meluluhkan dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan kreativitas para talenta dari berbagai bidang sehingga mencapai tujuan bersama: menciptakan ekosistem berkesenian yang sehat dan bermartabat.

Dalam berbagai karyanya—baik di film, teater, maupun tulisan—Happy kerap mengeksplorasi tema identitas dan perjuangan perempuan. Ia percaya bahwa seni bukan hanya tentang estetika, tetapi juga medium untuk menyuarakan isu-isu yang sering diabaikan. “Perempuan adalah sosok yang rentan dan harus terus diperjuangkan,” ujar Happy. Pernyataan itu bukan sekadar kata-kata, tetapi sesuatu yang terus ia buktikan lewat karya-karyanya. Ia memilih karakter-karakter perempuan yang kompleks, penuh lapisan, dan jauh dari sekadar peran dekoratif. Dari Nyai Ontosoroh yang melawan sistem, Inggit Garnasih yang teguh mendampingi perjuangan, hingga para tokoh perempuan dalam film-filmnya, Happy menghadirkan sosok-sosok yang mencerminkan kekuatan, kegigihan, dan kecerdasan perempuan Indonesia. 


fashion Dior (Blazer motif plaid), Valentino (Gaun), Fendi (Sepatu bot)

Di luar dunia seni, Happy juga menjalani peran lain sebagai pengusaha perhiasan dengan merek Tulola yang didirikannya bersama Sri Luce Rusna dan Franka Makarim. Tulola memiliki konsep desain yang kental dengan nuansa Indonesia. Happy Salma berperan sebagai Founder dan Creative Conceptor yang mengisi setiap koleksi perhiasan Tulola dengan cerita yang menyentuh hati dan pendekatan psikologis. Sebagai contoh, desain perhiasan yang terinspirasi dari jenis musik Indonesia, keroncong, melahirkan koleksi bernama Juwita Malam. Melalui Tulola, Happy Salma berupaya menunjukkan bagaimana perhiasan yang terinspirasi dari warisan budaya Indonesia tetap relevan di dunia modern. 

Kendati merambah dunia bisnis, Happy tak pernah meninggalkan komitmennya pada seni dan budaya. Penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha dari ISI Denpasar yang diterimanya pada 2023 adalah pengakuan atas dedikasinya yang tak hanya memperkaya industri hiburan, tetapi juga melestarikan warisan budaya. “Bagi saya, seni bukan sekadar pertunjukan—tetapi cara untuk menghidupkan kembali sejarah, menggugah kesadaran, dan mengubah dunia. Alih-alih sebatas jadi seniman; saya ingin menjadi penjaga cerita, penghidup warisan, dan suara yang terus bergema dalam lintasan waktu. Saya menempuh banyak jalan: dari sinetron ke film, dari sastra ke teater, dari aktor ke produser. Tetapi satu hal yang tetap saya jaga adalah komitmen saya pada seni sebagai bentuk perlawanan, perayaan, dan penyampaian gagasan. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa perempuan dapat menempuh jalannya sendiri, melampaui batasan yang diciptakan oleh masyarakat, dan menemukan kekuatan dalam diri sendiri. Saya rasa kita perempuan tidak harus memilih antara kecerdasan dan keindahan, antara peran domestik dan publik, antara kehalusan dan ketegasan. Dalam diri perempuan, semua itu berpadu: seniman, pemikir, penggerak, dan perempuan yang suaranya mungkin lembut, tetapi tak akan pernah padam,” pungkas Happy.