LIFE

12 Oktober 2022

Isyana Sarasvati dan Rara Sekar Larasati Berdaya dengan Jalan Hidup Pilihan


PHOTOGRAPHY BY Ryan Tandya

Isyana Sarasvati dan Rara Sekar Larasati Berdaya dengan Jalan Hidup Pilihan

Rara Sekar dan Isyana Sarasvati mengenakan busana koleksi Coach

Isyana Sarasvati dan Rara Sekar Larasati. Dua musisi perempuan berbeda karakter; kakak-beradik, saudara kandung. Masing-masing punya kisah sendiri tentang bagaimana mereka menemukan jati diri dalam musik seiring pilihan menjalani hidup sesuai nurani.


Darah keluarga bukan satu-satunya benang merah antara Rara Sekar dan Isyana Sarasvati. Kakak-beradik terpaut 3 tahun tersebut—Rara lebih dulu menghirup udara bumi pada 1990, lalu Isyana menyusul di tahun 1993—sama-sama menaruh hati pada satu subjek: musik. Keduanya piawai berolah vokal, plus mahir bermain ragam alat musik, piano, organ, biola, gitar, flute, dan entah berapa banyak lagi yang tidak tersebutkan. Kendati bukan perihal mengherankan, meskipun tak selalu tipikal, bilamana Anda dibesarkan oleh keluarga yang memiliki kedekatan dengan dunia musik. 

Rara dan Isyana lahir dari seorang perempuan berprofesi guru musik yang telah lama pensiun, Luana Marpanda. Berbagai bunyi nada pun mengalun akrab di telinga keduanya sejak usia kanak-kanak. “Ibu adalah orang pertama yang, tentunya, memperkenalkan kami pada musik. Terutama klasik, karena beliau berakar pada musiknya,” Isyana bercerita saat kami duduk bersama di ruang makan privat area lantai dua restoran Smriti selagi jeda waktu pemotretan cover web elle.co.id beberapa waktu silam. Persis di sebelah Isyana, Rara tengah duduk menghadap meja rias dengan mata terpejam mengikuti arahan sang makeup artist; sembari telinganya senantiasa mengikuti perbincangan. “Kami dibekali pendidikan informal hingga formal; mengikuti berbagai les alat musik, belajar vokal dan teori musik, sampai menjajal tes bersistem untuk mengetahui level perkembangan potensi kami,” timpal Rara.

Obrolan kami bertiga selanjutnya terpecah-pecah agar dapat mengejar waktu yang lebih efisien, mengingat agenda kedua perempuan ini tidak selalu luang; mencuri waktu di ruang ganti—yang hari itu penuh dengan deretan busana Coach koleksi musim gugur-dingin 2022, di sela-sela pemotretan, hingga akhirnya dapat duduk berdampingan begitu syuting rampung.

Keterlibatan Rara dan Isyana di dunia musik barangkali seperti sebuah pola yang disengajakan, namun sejatinya tidak. Mereka kompak menekankan bahwa musik adalah murni buah nurani masing-masing. “Orangtua memang memperkenalkan kami pada musik, tapi tidak pernah memaksakan. Pilihan hidup itu dibebaskan kepada kami sepenuhnya. Mereka menggarisbawahi untuk selalu mengerjakan sesuatu berlandaskan passions, dan sesuai dengan apa yang kami cintai,” ujar Isyana yang turut disetujui oleh saudara perempuannya.

Pertautan sedari kecil itu pun, pada akhirnya, mengantarkan jalan Rara dan Isyana ke dunia tempat mereka berpijak hari ini. Dunia di mana kedua perempuan ini dikagumi sebagai seorang komposer serta penulis lirik lagu nan ulung; dan atas kredibilitas itu, masing-masing menuai apresiasi Anugerah Musik Indonesia, ajang penghargaan musik prestisius di Indonesia. Secara profesional, perjalanan bermusik Rara dan Isyana sudah berlangsung hampir satu dekade. Karier mereka tidak terekam sebagai kesatuan grup selayaknya The Carpenters, Haim, Hanson, The Corrs, Bee Gees, atau grup musik keluarga lain yang Anda kenal. Rara Sekar dan Isyana Sarasvati mengukir jalan mereka secara terpisah; dalam ‘cabang arus yang berbeda’ bilamana istilah Rara.

Karakter vokal yang lembut dipadu aransemen catchy musik pop bernuansa R & B mengantarkan langkah kaki Isyana Sarasvati merajai tangga lagu populer sejak awal kemunculannya jagat musik Indonesia. Sementara Rara Sekar telah merengkuh reputasi yang solid di jalur musik indie. Lewat berbagai proyek musiknya bersama Banda Neira dan Daramuda di masa lampau, hingga kini mengibarkan benderanya sendiri di bawah nama hara.

Rara mengenakan Plaid Babydoll dress; Isyana mengenakan knit dress; (seluruhnya koleksi Coach).

Anda berdua telah mendalami musik sejak usia sangat muda. Namun, apakah keinginan untuk menekuni musik sebagai profesi serta jalan hidup sudah ada sedari awal?

Isyana Sarasvati (IS): “Sudah sejak dulu, setiap kali ditanya perihal cita-cita, saya selalu menjawab ingin punya sekolah musik dan label rekaman. Jawaban itu bahkah jauh sebelum saya merintis karier di jalur musik populer.”

Rara Sekar (RS): “Hmm… Barangkali baru beberapa tahun lalu, ketika akhirnya berencana merealisasikan proyek musik solo, saya secara sadar dan yakin memutuskan ingin menjadi musisi profesional. Sebelum itu, saya tidak pernah benar-benar memandang musik sebagai sebuah karier. Sebab, sejujurnya, dahulu saya merasa kurang ada bakat di musik. Hahaha.”

Mengapa demikian, Rara?

RS: “Oh, saya sangat suka musik, terlebih menyanyi. Bahkan sepertinya, vokal merupakan ‘alat musik’ yang paling saya cintai. Saya selalu merasa ‘penuh’ setiap kali menyanyi. Namun, perasaan menjadi orang yang kalah, yang timbul akibat model sistemis yang begitu kompetitif kala mempelajari musik semasa remaja dulu, benar-benar menanamkan pemikiran dalam benak saya bahwa musik tidak lebih dari sekadar hobi.”

Bahkan dengan keberhasilan Banda Neira?

RS: “Yeah. Saat memulai Banda Neira, saya dan Ananda tidak merencanakan musik kami bakal dikonsumsi oleh publik. Kami hanya dua orang yang gemar bermusik, dan tanpa niatan tertentu menggungah hasil karya kami di platform digital—Soundcloud, pada waktu itu—selain sekadar berbagi musik yang kami cintai. Benar-benar proyek iseng. Ketika akhirnya musik kami menarik lebih banyak massa pendengar—di luar lingkaran pertemanan—kami pun sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk itu. Jadi, sebenarnya, keberadaan saya di ranah ini semula lebih kepada merespon kondisi; atas reaksi masyarakat terhadap karya-karya Banda Neira; bukan karena secara sadar saya memutuskan menjadi musisi.”

Dan butuh waktu enam tahun untuk meneguhkan hati bahwa Anda ialah seorang musisi.

RS: “Melihat kelurusan Isyana dalam membangun kariernya secara serius, memukul kesadaran saya akan dedikasi seorang musisi yang harus 100 persen mencurahkan dirinya. Sementara, selama masa waktu itu, fokus saya masih terbagi-bagi mengerjakan banyak kegiatan di luar musik; sebagai peneliti dan akademisi. Jadi, saya perlu mencari formula ideal untuk membagi tiap fokus, termasuk juga waktu. Saya paling tidak suka mengerjakan sesuatu setengah hati. Pun saya enggak bakal tega kalau karya yang saya lahirkan tanpa sepenuh hati kemudian didengar orang. Sekarang saya masih terus berupaya untuk selalu sebisa mungkin membagi porsi yang utuh bagi setiap hal yang saya kerjakan. Tapi setidaknya saya merasa setiap langkah yang saya ambil lebih bermakna. Saya tidak berniat hidup dengan melakukan sesuatu tanpa makna.”

IS: “Saya punya andil?”

RS: “Sedikit.”

Isyana mengenakan knit dress, Bandit shoulder bag, seluruhnya koleksi Coach.

Isyana, bagaimana Rara berpengaruh dalam pengembangan kreativitas bermusik Anda hingga menjadi Isyana Sarasvati hari ini?

IS: “Kalau dari ibu saya menikmati belajar musik klasik; Rara adalah orang yang memperkenalkan saya pada musik pop, folk, sampai R & B. Saya dibesarkan oleh keluarga yang begitu kaya akan referensi musik, sehingga saya menjadi terbiasa untuk tidak berpatokan pada satu genre dan selalu bersikap terbuka terhadap berbagai jenis musik.”

Dengan kekayaan referensi itu, bagaimana Anda kemudian menemukan karakteristik musik yang merepresentasikan jati diri Anda?

IS: “Saya pikir, setiap musisi akan menemukan karakter musiknya seiring berjalan waktu selayaknya manusia mencari jati diri. Kita menemukan banyak role model yang menginspirasi di sepanjang perjalanan hidup ini; yang membantu kita menemukan jati diri sendiri. Mungkin untuk sampai ke titik penemuan itu, kita kerap mencaplok inspirasi yang didapat dari sana-sini; tapi pada akhirnya kita akan menemukan karakteristik sendiri. Jadi, saya pikir, enggak ada rumus khususnya.”

Minialbum teranyar yang Anda rilis di tahun ini, My Mistery, memperdengarkan musik yang jauh berbeda dari gambaran Isyana Sarasvati kali pertama muncul. Beberapa orang bilang, Isyana Sarasvati seakan-akan terlahir kembali. Apakah Anda berpikir demikian; bahwa album tersebut cerminan titik awal seiring kini Anda berdiri di bawah label musik sendiri, Redrose Records?

IS: “Hidup berproses dalam siklus. Sebuah fase dimulai, berjalan, sampai menemukan akhirnya; lalu berganti fase yang baru lagi. Jadi, kalau album tersebut dipandang sebagai kelahiran kembali diri saya, tidak salah. Saya lahir kembali dengan musik yang menandai awalan titik fase kehidupan Isyana yang baru ini. Tetapi saya tidak dengan sengaja merencanakannya sebagai suatu ‘keharusan perubahan 180 derajat’ karena label yang baru. Exploration is my natural instinct. Wajar saja jika masyarakat luar yang tidak benar-benar mengenal saya—hanya lewat musik, media massa, social media—melihat sikap eksploratif saya sebagai sebuah perubahan. Tapi sesungguhnya, tidak ada yang berubah.”


Isyana mengenakan leather skirt Sub, Bonnie Cashin Advert print t-shirt, leather jacket, Coach x Mint + Serf Rogue Slim Brief 25, seluruhnya koleksi Coach.

Dipayungi label musik rintisan pribadi; apa artinya menjadi independen buat Anda?

IS: “Saya dapat memilih alur musik sendiri dan jalan hidup pribadi. Saya bisa bereksplorasi tanpa batas. Saya bebas memilih perihal sesuatu, terkait apa pun, sebagaimana apa yang menjadi keinginan saya; tanpa ada dorongan eksternal.”

Apakah kebebasan tersebut tidak Anda dapatkan sebelumnya?

IS: “Label saya kala itu telah memahami bahwa sebagai singer-songwriter, saya memiliki idealisme pribadi. Jika dahulu musik saya terdengar berbeda dari sekarang, atau akar klasik yang saya tekuni sebelumnya, pun itu sepenuhnya wujud eksplorasi yang pada waktu itu ingin saya jajal.”

Di setiap fase perjalanan bereksplorasi itu, apa yang senantiasa ingin disuarakan oleh Isyana Sarasvati?

IS: “Kejujuran dan kebebasan. Kita bebas untuk bersuara dan bereskpresi sesuai dengan apa yang ada di dalam diri kita. Saat berkarya, saya tidak memikirkan jumlah streaming. Saya percaya setiap karya yang tercipta memiliki jalannya masing-masing. Seperti eksplorasi musik progressive rock yang mengisi album My Mistery mengantarkan saya berkolaborasi dengan Deadsquad. Dan bahkan dengan musik yang tidak lagi begitu ‘nge-pop’ ditambah penampilan yang nyentrik seperti sekarang ini—rambut setengah hitam setengah merah—malah membukakan kesempatan kerja sama dengan beragam pihak. Jadi, kita hanya perlu yakin dan menjalaninya saja; yang penting adalah kita, sebagai seniman, bahagia dengan karya yang kita buat; selanjutnya itu akan mengaum dengan sendirinya.”

Anda pernah berkata, salah satu pelajaran hidup yang Anda lewati adalah kenyataan bahwa Anda tidak bisa dan tidak perlu harus selalu menyenangkan orang lain.

IS: “Benar, saya belajar untuk tidak mendengarkan setiap perkataan orang, terlebih mereka yang tidak saya kenal dan tidak benar-benar mengenal saya. Saya pernah melalui sebuah fase, di awal debut, di mana eksistensi saya dibanding-bandingkan dengan perempuan lain. Hal itu benar-benar toxic; seseorang dalam situasi tersebut bisa saja kehilangan jati diri; apalagi dengan keberadaan media sosial yang menipiskan dinding antara kita dan mereka. Saya paham, menjadi dikenal oleh banyak orang membuat setiap gerak saya berada under spotlight, dan dihujani beragam macam komentar yang tidak selalu baik hingga ekspektasi yang tak jarang ‘menuntut’. Dari kondisi itu kemudian saya belajar, untuk bisa survive, saya perlu membuat batasan dan fokus berkarya saja.”


Rara mengenakan Plaid Babydoll dress, Bandit shoulder bag, seluruhnya koleksi Coach.

Rara, dalam situasi yang berbeda, Anda pun tengah merangkul independensi yang baru terkait karier bermusik. Anda mulai berkarya solo sejak tahun 2020. Bagaimana transformasi ini memengaruhi gerak berkesenian Anda?

RS: “Tidak dipungkiri kalau beberapa kepala bersinggungan, dengan pemikiran serta ideologi berbeda-beda, bukanlah perkara ringan. Namun, sebenarnya mekanisme berkesenian saya senantiasa mengusung semangat kolaboratif; misalnya saya bekerja sama dengan berbagai pihak untuk merealisasikan Tur Kenduri. Cuma perbedaannya, dalam hal menentukan visi atau arah keberpihakan seninya jauh lebih sedikit komprominya, karena sumber utamanya adalah saya sendiri. Saat bekerja sama dengan pihak luar, saya akan mencari orang-orang yang satu pemikiran dan keyakinan dengan apa yang sedang ingin saya suarakan.”

Sekian lama meniti jalan di jalur musik indie, apa tantangan besar yang masih Anda temukan?

RS: “Tantangan untuk musik saya pribadi ialah tidak banyaknya ruang yang ideal merepresentasikannya. Persoalan minimnya ketersediaan ruang—khususnya di Indonesia—yang mewadahi musik-musik ‘arus pinggir’; atau musisi yang memiliki visi jelas, atau yang menggunakan metode-metode yang berbeda dari ‘arus utama’; sebenarnya merupakan perkara lama. Walaupun, sekarang situasinya sedikit lebih membaik dengan kehadiran festival-festival yang semakin banyak. Sayangnya, saya pun merasa kalau panggung besar itu kurang ideal untuk jenis musik saya. Oleh karena itu, saya memilih untuk menciptakan ruang sendiri. Saya bikin tur musik di alam terbuka—sebagaimana merepresentasikan konsep musik album saya, Kenduri (2021), yang dipersembahkan untuk alam—tanpa sound system megah, dan hanya dengan penonton berkapasitas kecil.”

Apakah itu cukup memuaskan ambisi seorang Rara Sekar?

RS: “Saya bukan orang yang ambisius, tapi saya punya visi; tahu apa yang ingin saya raih dan bagaimana cara saya untuk mencapainya. Barangkali apa yang ingin saya gapai enggak selalu selaras dengan pengertian kebanyakan orang. Seperti tur musik Kenduri yang tampaknya sangat sederhana, bila dibandingkan dengan bermain di stadion terbesar dan ditonton oleh ratusan ribu orang. Tapi buat saya, tur sederhana itu adalah impian yang membuat diri saya merasa penuh dan utuh sebagai manusia; saya bisa mendengar suara sendiri dengan jelas, melihat ekspresi orang-orang yang mendengarkan saya dan bertukar emosi bersama mereka.”

Rara mengenakan Signature denim shorts, Bonnie Cashin leather cape, Rogue 12 in signature textile jacquard; Isyana mengenakan Rave Bare t-shirt, Corduroy Loom pants, Plaid Shearling, Pillow Taby shoulder bag 18 in shearling; (seluruhnya koleksi Coach).

Sebagai musisi, apakah pernah ada kecemasan bilamana suara Anda tidak didengar?

RS: “Sedari awal saya sudah bersiap atas konsekuensi itu. Musik adalah tentang pilihan selera. Di luar itu, saya sadar bahwa dengan mengambil jalur independen, artinya saya bermain di ‘arus pinggir’, di mana pasar pendengarnya tidak sebesar seperti di ‘arus utama’. Tapi bukan berarti tidak ada kemungkinan bilamana suatu saat ‘riaknya’ dapat bermuara ke arus utama.”

IS: “Ya, saya pikir selama kita berkarya dengan kejujuran dan dari hati, musik yang dibuat akan sampai ke hati tiap pendengarnya. Saya pun tidak mengkhawatirkan karier saya terancam mati, lantaran saya mencoba sesuatu yang berbeda.”

Jika bicara makna musik itu sendiri, bagaimana perannya bagi hidup Anda masing-masing?

IS: “Sebagai seseorang dengan kepribadian introver, musik adalah cara saya bereskpresi; menuangkan rasa yang tidak bisa terungkapkan lewat kata-kata.”

RS: “Ketika menempuh pendidikan S2 di New Zealand (Rara menekuni jurusan bidang Cultural Anthropology di Victoria University of Wellington), saya merenungkan bentuk berkesenian apa yang dapat merangkum segenap aktivitas, hasrat, serta keberpihakan ideologiku sebagai seorang manusia juga; dan jawabannya saya temukan pada musik. Bermusik membuat saya merasa lebih hidup. Akhirnya saya telah yakin kalau musik adalah jalan hidup saya.”