19 Maret 2020
Jefri Nichol Jaga Diri Tidak Terjebak Sikap Tinggi Hati

Jefri Nichol mengungkap tentang cintanya pada seni peran dan gairahnya untuk menoreh karya lewat jejak yang terbilang baru.
Ketika dulu kali pertama mulai menulis, saya menganggap penting pendapat orang lain terhadap tulisan saya. Merasa lega mendengar ulasan positif dan resah akibat berbagai kritik. Saya menganggap pujian sebagai ukuran kesuksesan. Singkat cerita, pada satu titik di usia 30-an, saya sampai pada momen di mana saya menyadari bahwa pendapat orang lain tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas kerja saya. Pendapat mereka tidak membuat tulisan saya lebih baik atau lebih buruk. Mendapatkan pemahaman ini rasanya terbebas dari penjara yang saya buat sendiri. Barangkali itu sebabnya saya lantas menyenangi orang-orang yang merespon pujian dan celaan dengan ramah sekaligus tenang. Bagi saya, orang itu salah satunya ialah Jefri Nichol.

Aktor muda ini awalnya ditemukan seorang pencari bakat di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Jefri Nichol yang saat itu berusia 13 tahun mendapat tawaran untuk mengikuti casting model iklan dan pemain sinetron. Ia kemudian mengawali karier sebagai model dan merambah ke dunia akting. Debut pertamanya yakni dalam miniseri Kami Rindu Ayah (2013) dan Keluarga Garuda di Dadaku (2015) karya sutradara Angga Dwimas Sasongko yang tayang di stasiun televisi swasta Indonesia. Tahun 2017, Jefri lolos casting dan ikut berperan dalam film layar lebar Pertaruhan.
“Di film ini, saya mendapat kesempatan lewat leading role dan bersyukur sekali bisa banyak belajar dari para sineas yang terlibat. Di titik ini, saya menemukan ketertarikan yang luar biasa terhadap seni peran dan dunia perfilman,” kisahnya. Film ini merupakan film pertama bagi Jefri.

Di Pertaruhan, ia memerankan karakter Elzan, anak kedua dari empat bersaudara yang semuanya laki-laki. Pertaruhan menceritakan kisah keempat bersaudara yang mencari jalan demi mengumpulkan uang untuk ayah mereka yang sedang sakit. Dalam film tersebut, Jefri beradu akting dengan Adipati Dolken, Tio Pakusadewo, dan Giulio Parengkuan.
Salah satu peran yang berhasil melambungkan nama Jefri Nichol adalah perannya sebagai Nathan dalam Dear Nathan (2017). Film yang mengantarkan ia menjadi salah satu nominasi Pemeran Utama Pria Terpuji di Festival Film Bandung 2017 sekaligus memperoleh penghargaan Aktor Pendatang Baru Terpilih di Piala Maya 2017.

Selama perjalanan kariernya yang terhitung baru, Jefri terus menunjukkan kemampuannya lewat sejumlah peran di berbagai film Indonesia. Setelah Pertaruhan dan Dear Nathan, ia ikut terlibat dalam berbagai judul film, yakni Jailangkung (2017), One Fine Day (2017), Surat Cinta untuk Starla (2017), Something in Between (2018), Dear Nathan 2 (2018), Dread Out (2018) karya sutradara Kimo Stamboel, dan Hit & Run (2019) di mana ia beradu akting dengan Joe Taslim dan Tatjana Saphira.
Keinginan menemui Jefri Nichol sempat tertunda akibat ia ditangkap kepolisian setelah petugas menyita ganja di dalam kulkas miliknya dan hasil tes urin menyatakan bahwa Jefri positif menggunakan ganja pada Juli 2019 silam. Ia divonis hukuman rehabilitasi di Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Jakarta Timur.
Pada Desember tahun lalu, laki-laki kelahiran 15 Januari 1999 ini dinyatakan bebas bersyarat serta mendapat pengawasan dari pihak rumah sakit. Sejujurnya, agak tidak enak hati untuk menanyakan permasalahan ini. Saya pikir, bisa saja ia tidak nyaman membicarakannya. Namun saya beranikan diri untuk bertanya, seberapa bahagia Jefri Nichol sekarang?
“Kesalahan yang telah terjadi menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagi saya. Saya sangat sedih bahkan marah kepada diri sendiri. Namun saya sangat bersyukur atas dukungan dan kepercayaan dari keluarga, teman-teman di industri perfilman, dan sahabat-sahabat. Dari permasalahan ini, satu hal penting yang saya pelajari adalah tentang makna integritas. Ke depannya, saya ingin jadi orang yang lebih baik lagi. Saya ingin terus belajar, berkembang, tetapi juga menjaga diri agar tidak terjebak sikap tinggi hati,” katanya.
Saat sesi obrolan, Jefri berulang kali mengucap kata ‘syukur’ atas apa yang terjadi belakangan ini. Saya menanggapinya dengan tersenyum sambil mengangguk setuju. Tak hanya pernyataan dukungan, kritik dan kecaman juga diterima laki-laki ini akibat kasus yang menimpa dirinya. Lagi-lagi, ia menanggapinya tanpa kegelisahan. “Apa pun tanggapan orang lain, saya lebih memilih untuk menjadikannya sebagai bahan pembelajaran. Saya banyak belajar dari apa yang terjadi, tapi juga ingin terus melanjutkan hidup dengan segala cita-cita saya,” ujarnya dengan tenang.

Jefri Nichol menemui saya persis satu hari setelah hari ulang tahunnya yang ke-21. Ia datang mengenakan kaus putih berpotongan longgar serta celana denim biru dengan topi sebagai aksesorinya. Setelah saling menanyakan kabar, Jefri bercerita tentang keseruan acara ulang tahunnya tadi malam. “Menyenangkan sekali. Saya merayakannya di rumah bersama keluarga. Dan rasa-rasanya saya harus mulai program diet. Sewaktu rehabilitasi berat badan saya naik 13 kg. Apalagi ditambah semalam saya makan daging kambing banyak banget!” Jefri bercerita riang sambil menyeruput kopi hitam, minuman favoritnya.
Tidak semua film Jefri Nichol pernah saya tonton. Selain Hit & Run, saya sempat menyaksikan penampilannya di film Bebas (2019) karya sutradara Riri Riza. Film tersebut diputar di bioskop-bioskop saat Jefri tengah menjalani proses peradilan kasusnya. Usai Bebas, publik kembali disuguhkan akting Jefri lewat film Habibie & Ainun 3 (2019) bersama aktor Reza Rahadian dan Maudy Ayunda. Beberapa waktu sebelum Jefri terkena kasus, sebetulnya ia sedang dalam persiapan syuting film The Exocut yang menceritakan kisah hidup petinju legendaris Indonesia sekaligus juara dunia, Ellyas Pical.
“Saat itu kami sedang proses persiapan. Mei tahun lalu, saya latihan tinju. Bulan Juni mulai script reading dan latihan berbahasa Ambon serta mendalami logat Saparua. Sayangnya film ini mesti tertunda sampai waktu yang belum ditentukan,” katanya yang diikuti tarikan napas cukup panjang. Kini Jefri tengah menggarap proyek serial film yang akan ditayangkan di platform digital. Ia juga mengungkap cita-citanya untuk menyelesaikan pendidikan, mengambil short course dalam bidang penyutradaraan dan penulisan naskah, belajar memahami teknis-teknis dalam perfilman, dan mulai mendalami filsafat sebagai salah satu upayanya untuk mempertajam pemikiran. “Setelah menunaikan seluruh kewajiban, saya ingin melanjutkan berbagai rencana dan mimpi yang sempat tertunda. Mudah-mudahan semuanya lancar,” ungkapnya.
Jefri Nichol merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayah dan ibunya berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Semasa kecil, ia sering menghabiskan waktu dengan bermain gim di komputer, membaca buku, dan menonton film. Jefri mengaku lebih senang di rumah ketimbang main bersama temantemannya. Lulus sekolah menengah, Jefri sempat masuk sebuah sekolah menengah kejuruan dan mengambil jurusan Teknologi Informasi. Karena berbarengan dengan kesempatan bermain film, ia lantas memilih homeschooling agar bisa terus mendalami seni peran.

“Sebetulnya dulu saya bercita-cita menjadi game developer. Sempat belajar coding, lalu ada kesempatan mengenal akting dan jadi jatuh cinta dengan film. Lucunya, dulu waktu sekolah saya sempat menulis catatan
di komputer. Bertuliskan ‘Usia 17 tahun, satu film, seperti Nicholas Saputra’. Nicholas Saputra adalah salah satu aktor Indonesia yang saya kagumi dan hormati. Saya luar biasa bersyukur, mimpi itu akhirnya terwujud,” kenangnya.
Jefri mengaku amat senang melihat antusiasme para sineas Indonesia yang bekerja sangat keras untuk membuat karya yang bagus. “Melihat karya-karya Timo Tjahjanto dan Joko Anwar, saya semakin cinta dengan dunia film. Ada harapan dan optimisme ketika menyaksikan bagaimana dunia perfilman negeri ini diisi oleh orang-orang yang berdedikasi yang ingin mengubah perfilman Tanah Air ke arah yang lebih baik lagi,” kata Jefri.
Ketika ditanya apa yang mengesankan dari dunia film, Jefri bilang bahwa profesi aktor membuat ia punya kesempatan untuk mendalami berbagai karakter manusia dari bermacam latar belakang. “Sesuatu yang mungkin mustahil saya rasakan jika saya tidak berprofesi sebagai aktor. Yayu Unru, aktor senior sekaligus acting coach saya, pernah bilang bahwa aktor itu bekerja di saat hari liburnya. Mengobservasi situasi dan mengamati berbagai karakter sehari-hari. Dan ketika mulai syuting, saat itulah para aktor ‘menikmati’ hasil observasinya. Saya setuju dengan beliau. Saat ini waktunya saya belajar sebanyak-banyaknya. Termasuk belajar lebih peka dalam mengamati karakter manusia lalu menerapkannya ke dalam seni peran,” ujarnya.

Jefri Nichol menyadari ada banyak hal harus dipelajari untuk menjadi aktor yang mumpuni. Industri perfilman Indonesia yang semakin menunjukkan ‘taring’nya kian mengobarkan semangat Jefri untuk terus berkontribusi secara positif. Namun laki-laki ini juga mengetahui pentingnya memiliki pemahaman sebelum memilih. Baik memilih pasangan maupun jalan karier, ia merasa perlu untuk terlebih dahulu mencoba berbagai pilihan berbeda—sebanyak mungkin—sebelum mengambil keputusan.
Di tengah perkembangan industri perfilman, Jefri ingin mengambil peluang sebanyak mungkin selama ia bisa, selagi masih muda. Sebab tahun-tahun pertama seseorang dewasa bukanlah tentang semata-mata menghasilkan uang. Masa muda ialah masa-masa menemui kemungkinan sebanyak mungkin. Sehingga pada saat menua dan dewasa, di titik itu kita telah tahu mana yang kita suka dan mana yang tidak kita suka.
Photo: Courtesy of ELLE Indonesia; photography CHRIS BUNJAMIN styling ISMELYA MUNTU grooming ADITYA WARDANA