21 Februari 2024
Jefri Nichol Tak Pernah Sangsi Jadi Diri Sendiri
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

styling Ismelya Muntu; makeup Morin Iwashita; hair Joe; location Mewatu Coffee & Gallery
Ia sangat ramah. Auranya hangat dan mudah didekati. Kami tengah berdiskusi mencari tempat makan malam selagi berjalan keluar kedai kopi, di mana ia melakukan pemotretan bersama ELLE, tatkala sejumlah penggemar menghampiri untuk berfoto bersama. Dengan sopan, ia segera merapatkan diri ke sisi mereka secara bergantian. Percayalah momen ini tak hanya terjadi satu atau dua kali itu, namun berkali-kali sepanjang malam. Dan Jefri Nichol tak pernah berat hati menyunggingkan senyum kepada mereka.
Kami pergi makan malam di sebuah baresto (konsep restoran merangkap bar) di bilangan Jakarta Selatan. Masuk ke dalam, ia berseru menyapa hampir semua staf dan pramutama di balik bar. “Hoi, bang! Apa kabar?” serunya menjabat tangan mereka satu per satu, selayaknya pengunjung reguler mingguan—kendati itu kali pertama ia berkunjung. “Saya pernah beberapa kali mendatangi cabang bar mereka,” bisiknya menjelaskan situasi akrab barusan. Namun terlepas dari itu, faktanya, Jefri Nichol memang supel. Diungkapkan orang-orang yang mengenalnya, “Semua orang memang dia panggil ‘bang’ atau ‘kak’ seperti sudah kenal lama.” Sementara laki-laki berketurunan darah Minangkabau, Sumatera Barat, ini sendiri lebih suka disapa Nichol, ketimbang Jefri, meski ia juga tak berkeberatan. “Sebal soalnya sempat jadi bahan bercandaan teman-teman dulu gara-gara film Pocong Jefri,” celotehnya memecahkan tawa. Tapi ia hanya setengah bergurau. “Saya enggak masalah dipanggil Jefri, cuma memang lebih merasa nyaman—akrab—dengan panggilan Nichol,” ujarnya.
Nichol telah menyantap habis seporsi nasi daging sapi berbalur butter dan telur dari piringnya, ketika kami memutuskan menjauh dari keramaian ruang makan dan pindah duduk di meja bar. Saya bertemu Nichol selang dua minggu dari kejuaraan Superstar Knockout yang menghadapkannya dengan El Rumi. Pada gelaran bulan November 2023 tersebut, Nichol gagal merebut gelar juara. “El bukan lawan yang mudah. Setiap pukulannya dilancarkan secara matang sehingga poin yang dia dapat juga solid,” kenangnya. Olahraga tinju sebetulnya bukan sesuatu yang asing bagi Nichol. Semasa remaja, ia kerap diajak menonton pertandingan tinju di sebuah stasiun televisi swasta oleh sang bapak. Dari sekadar penonton, ia naik ke atas ring tatkala proses pendalaman peran film biopik petinju legendaris Indonesia sekaligus juara dunia, Ellyas Pical. Kala itu sekitar awal tahun 2019, dan sekarang ia masih kerap berlatih di sela-sela kegiatannya—walaupun “produksi filmnya tak lagi berlanjut.”
fashion Louis Vuitton (coat & celana denim)
Dalam beberapa tahun terakhir, portofolio peran Nichol banyak torehan sinema sarat aksi kekerasan dan adegan laga. Yang sedang tayang saat kami bertemu kala itu ialah musim kedua Pertaruhan the Series, perpanjangan dari kisah film orisinalnya yang rilis di tahun 2017, dan kini berfokus pada anak-anak keluarga Pak Musa yang berjuang hidup melalui lingkaran dunia gangster. Anda juga bisa menyaksikannya dalam reboot film legendaris era ‘70-an, Ali Topan. Manifestasi figur maskulin nan perkasa pun tak pelak membangun citra merek seorang Jefri Nichol. “Saya rasa pandangan publik tumbuh secara natural bersamaan dengan peran saya di film yang sering melibatkan adegan berantem. Apalagi saya juga menyukai jenis olahraga bela diri,” ujar Nichol sebelum mengambil jeda sejenak untuk memikirkan kalimat selanjutnya. “Dan terutamanya karena cuitan saya di X, sih,” sambungnya diiringi senyuman—kami berdua tersenyum—seolah-olah saling sepakat betapa ia bisa menjadi begitu “kekanak-kanakan” (baca: menyebalkan) saat jari-jarinya sedang ‘aktif’ berinteraksi di media sosial. “Kadang netizen bisa benar-benar bikin panas,” ia berujar. Anda tahu apa yang berkorelasi dengan aksi? Reaksi. “Saya cuma manusia biasa yang gampang terpancing emosinya, dan bisa membalas mereka satu per satu seperti perlakuan mereka terhadap saya.” Ia sadar adakala sikapnya yang cenderung impulsif itu meletup agresif sampai melontarkan kalimat-kalimat berangasan di luar batas; dan ia tahu hal itu tidak membanggakan. “Saya berharap bisa jadi pribadi yang lebih tenang, damai dan unbothered. Yeah, pelan-pelan belajar,” ujarnya.
Karier Jefri Nichol sampai di hari ini dibentuk atas kombinasi gelora eksploratif jiwa muda, keberuntungan, popularitas, pilihan yang berani, dan tentu saja, talenta. Nasib baik mempertemukannya secara tak sengaja dengan pencari bakat saat sedang jalan-jalan di mal. Usai debut layar lebarnya di film Pertaruhan (2017), ketenaran memeluk Nichol lewat waralaba Dear Nathan, romansa remaja yang menasbihkan ia sebagai Aktor Pendatang Baru Terpilih Piala Maya tahun 2017, dan mengarahkan pergerakannya ke jalur stereotipe: drama romantis. Selama hampir empat tahun awal berkiprah, sosoknya dominan menampilkan hero romantik, baik dalam karakter laki-laki manis atau jagoan; keduanya tetap mewujudkan Jefri Nichol laksana pujaan segenap perempuan Indonesia. “Saya sebetulnya bukan penggemar drama romantis. Cerita di mana sang pemeran utama telah ditetapkan sebagai hero, terlalu klise di pemikiran saya. Karena klise, saya jadi khawatir kalau mengeksplorasi peran bakal malah mengacaukan karakternya. Beruntungnya selama ini peran-peran drama yang ditawarkan unik, dan lawan mainnya menyenangkan,” kata Nichol. Meski begitu, ia tak memungkiri jika gairahnya bergelora dua kali lipat bilamana memerankan karakter-karakter yang berjiwa rebel dan dekat persoalan sosial. Seperti saat ia memerankan Surya/Satriya di Aum! (2021), yang menampilkannya sebagai seniman pendukung gerakan aktivis reformasi; atau Ali Topan, pemuda berjiwa bebas yang memiliki rasa empati tinggi pada lingkungan sekitarnya, dan berani bersuara kritis. “Ada rasa yang bikin hati saya berdebar ketika memerankan Ali Topan. Spiritnya rebel, suka melawan aturan, tapi untuk alasan yang masuk akal,” katanya.
fashion Dior (turtleneck & jaket bomber), Temma Prasetio (Celana).
Vokal mengutarakan pandangan akan suatu persoalan tertentu pun berkonotasi kuat dengan kepribadian Nichol. Suatu kali di bulan April tahun 2023, ia melakukan unjuk rasa bersama ribuan mahasiswa Indonesia di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Bahkan aktor kelahiran Jakarta 24 tahun silam ini naik podium dan berorasi menentang Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Cipta Kerja. Ironinya, kelantangan Nichol menyuarakan kegelisahan rakyat justru dinilai sebelah mata oleh sejumlah pihak yang menyangsikan intensinya sekadar untuk sensasi. “Mereka bilang saya demo cuma buat ikut-ikutan, karena saya enggak hafal seluruh pasal-pasal hukumnya di luar kepala. Apa dengan tidak hafal lantas saya tidak paham apa yang saya bela? Keyakinan saya tanpa alasan, begitu? Saya berdiri di sana karena merasa tidak bisa cuma diam menyaksikan ketakadilan,” tegasnya. Sentimen tak mengenakan juga ia terima dari barisan kolega profesional yang memandang aksinya “vandalisme”. Dampaknya, “Sempat ada kontrak saya yang hampir diputus karena keterlibatan saya dalam demo waktu itu,” cerita Nichol.
Nyali besar Nichol berhadapan dengan risiko, termasuk untuk urusan memilih peran. Tahun 2020, ia tampil vulgar memerankan Dominik, pemuda yang merepresentasikan sisi kelam kehidupan kota metropolitan di Jakarta vs Everybody. Perilaku kelamnya meliputi penyerangan, kemesuman, hingga menjadi kurir sindikat obat terlarang. Namun di lubuk jiwanya, ia mendamba mimpi besar untuk menjadi aktor terhormat. Apa yang ia lakukan hanyalah instingnya melalui realitas sampai meraih cita-cita. “Dalam berperan, saya menyukai karakter seperti Dominik yang raw; bikin saya merasa relate dengan perannya,” kata Nichol. “Bukan bagian ‘gelapnya’, ya!” ia buru-buru mengoreksi ucapannya khawatir saya salah paham. Teringat skandal kepemilikan ganja yang membuatnya berurusan dengan pihak berwajib lima tahun silam. Anda mau membahasnya? Tanya saya menggoda. Kini giliran ia tergelak, “Enggak masalah. Masa lalu itu adalah pengalaman hidup yang sudah bisa saya tertawakan. Saya telah belajar dari kesalahan itu, dan move on dengan pengertian yang lebih baik.” Sebagaimana diutarakan olehnya, ia telah move on, begitu pula kami melanjutkan topik pembicaraan.
fashion Jan Sober (kemeja, jaket, dan celana)
Keterhubungan dengan karakter Dominik yang dimaksud Nichol lebih kepada perasaan bergelut meniti awal karier. Sebagai anak awam tanpa bekal ilmu akting, aktor yang berangkat dari sinetron itu kerap dikecilkan. Peran-peran yang ditawarkan pun condong melampaui fiktif sehingga ia sendiri kesulitan merasa relate. Di satu sisi, selaku pendatang baru, ia tak mengira bilamana punya hak memilih. Setiap peran yang datang, dalam benaknya, adalah peluang baik. “Saya senang bermain peran karena bosan dengan cerita diri sendiri. Profesi aktor membuat saya mengetahui banyak cerita baru; sebuah dunia baru,” katanya. Saya menginterupsi untuk mencari tahu tentang kisah membosankan hidupnya. “Dulu keinginan saya adalah menjadi game developer. Saya mengambil sekolah kejuruan IT dan sempat belajar coding. Tapi setelah beberapa lama menekuninya, saya merasa terus-menerus duduk di balik meja jadi monoton,” ceritanya. Ia tidak sebegitunya gemar bermain game, jika Anda berasumsi itu landasan angannya. Ia pikir, “pekerjaannya asyik, dan bisa menghasilkan banyak uang.”
Saat ia berusia 13 tahun, usaha toko emas milik orangtuanya mendapat kemalangan yang menyebabkan kesejahteraan keluarganya jatuh ke titik terendah. Sebagai anak sulung—dari dua bersaudara—Nichol merasa berkewajiban turun tangan membantu kedua orangtuanya. “Sebut saya old school. Buat saya, ketika saya bisa provide untuk orang-orang yang saya sayangi, terutamanya keluarga; saya merasa menjadi laki-laki seutuhnya,” ujarnya. Ia tidak bercanda. Sepanjang ia membangun karier, sepanjang itu pula Nichol telah menjadi tulang punggung keluarga. Di luar seni peran, ia turut menyusun rencana masa depan lewat dunia bisnis. “Berbisnis sepertinya rencana yang paling realistis. Tapi saya juga masih belajar,” katanya selagi bercerita perihal investasinya (bersama sejumlah temannya) di beberapa bistro-bar; LIME Lightbar dan Oliv.
fashion Temma Prasetio (jaket dan celana)
Malam itu, Nichol mengajak saya berpindah tempat untuk menghadiri pembukaan bar di Kemang milik seorang kenalannya. Di sana, saya berkesempatan melihat bagaimana ia berinteraksi di antara teman-teman yang beberapa tumbuh bersamanya sejak bangku sekolah. Menarik mengetahui bagi mereka, Jefri Nichol bukanlah Pemeran Utama Terbaik nomine Festival Film Indonesia dan Indonesian Movie Actor Awards. Tidak, ia hanya Jefri Nichol, si teman ‘satu permainan kompleks rumah’. Mereka mengobrol, saling melempar canda, dan berangkulan sembari menyanyikan lagu-lagu lawas deretan band Indonesia. Setelah beberapa jam, saya putuskan meninggalkannya bersenang-senang dengan para kawanan. Tetapi sang aktor justru mengikuti saya keluar, dan kami malah berakhir melakukan kelas singkat berkendara mobil manual.
Terakhir kali Nichol mengendarai mobil manual adalah sekitar tahun 2018, “Waktu itu untuk syuting adegan film pakai mobil vintage. Tapi tenang, saya masih ingat, kok!” ujarnya. Dalam perjalanan itu, saya bertanya akan bagaimana hidupnya jika ia tetap duduk menghadap komputer dan bukan bergerak di layar sinema. “Waktu kali pertama terjun ke industri hiburan, saya tidak sebegitu cintanya pada seni peran. Sampai kemudian terlibat film Pertaruhan, perpektif saya berubah. Saya pikir di film itulah awal saya benar-benar jatuh cinta dengan akting. Buat saya sekarang, tidak ada pilihan selain seni peran,” kata Nichol. Sejumlah agenda berperan pun telah direncanakan sebagai jadwalnya di tahun 2024. Dan iya, kita masih akan melihatnya beraksi laga. “Saya tidak keberatan dipandang sebagai bad boy,” ujarnya. Sebagai karakter peran atau realitas? sela saya, dan ia tertawa, “Di dalam set atau pun kehidupan nyata, tidak masalah. Saya enggak bisa mengontrol pandangan orang terhadap saya. Yang penting saya tahu siapa saya sebenarnya,” pungkasnya sebelum kami akhirnya berpisah.