LIFE

22 Oktober 2022

Langkah Detoks Digital dan Mengapa Anda Membutuhkannya


Langkah Detoks Digital dan Mengapa Anda Membutuhkannya

Viktoriia (Mad Models) photography by Alyona Kuzmina for ELLE Indonesia March 2021 styling Ana Tess

Ketika suatu hal yang telah menjadi bagian dari denyut keseharian ternyata bisa menjadi sesuatu yang juga mencuatkan ketidakbahagiaan. Maka saatnya kita mulai menggapai kesehatan jiwa dan raga dengan menepi dari keriuhan jagat digital. Hermawan Kurnianto memaparkan.


Segala perkembangan dan pencapaian yang mengubah kehidupan manusia selama dua dekade terakhir tidak terlepas dari nama-nama besar seperti Microsoft, Apple, Samsung, Google, Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, YouTube, TikTok, Spotify, Netflix, dan lainnya. Kecuali Anda telah memutuskan untuk menjalani hidup sebagai pertapa yang menyendiri di sebuah tempat yang terisolasi dari peradaban, sepertinya tidak mungkin untuk tidak menjejak sedikitpun di ranah digital, terlebih di media sosial.

Ini memang seperti cerita-cerita dalam film sci-fi thriller. Kita dibuat terpukau oleh kecanggihan dan percepatan teknologi. Namun, ada sisi kelam yang mengintai. Ada bahaya laten yang mengancam. Yang tadinya terlihat seperti karakter protagonis dengan segala kebaikannya, ternyata menyimpan sisi antagonis yang mencekam. Menghabiskan begitu banyak waktu bersama gawai dan tenggelam dalam dunia virtual yang memabukkan, melahirkan dampak dan konsekuensi yang tidak bisa dipandang sebelah mata, baik secara fisik maupun mental. Akhirnya teknologi menjadi analogi yang sering kita dengar: dua sisi mata uang atau pisau bermata dua.

Berbicara tentang ketergantungan yang kuat antara manusia dengan perangkat dan aplikasi digital, sulit untuk tidak menyebut FOMO (Fear Of Missing Out). Orang yang mengidap FOMO memiliki rasa takut atau khawatir secara berlebihan apabila sampai ketinggalan apa yang sedang diperbincangkan atau tengah menjadi viral di media sosial.


Istilah FOMO pertama kali dicetuskan oleh ilmuwan Inggris, Dr. Andrew K. Przybylski pada 2013. Pada awalnya, FOMO tidak dikaitkan dengan media sosial, tetapi lebih merujuk pada perasaan cemas berlebihan yang dirasakan seseorang ketika dirinya tidak diundang atau tidak hadir dalam ajang pertemuan atau acara kumpul-kumpul. Ia merasa gelisah, tertinggal, dan dikucilkan.

Seiring perkembangan zaman, FOMO telah identik dengan media sosial. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, media sosial banyak digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan—memamerkan, lebih tepatnya—eksistensi dan gaya hidup seseorang. Upaya pencitraan pun tidak terelakkan, mulai dari tampilan fisik, preferensi tempat makan dan nongkrong, hingga unjuk kemewahan. Hal tersebut membuat sebagian orang membandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang terlihat sempurna di media sosial. Orang yang mengalami FOMO akan merasa kehidupannya tidak menarik dan memiliki derajat sosial yang lebih rendah dibandingkan orang lain. Ia juga merasa mati gaya ketika tidak memegang smartphone dan sangat resah apabila tidak melihat berbagai macam postingan di media sosial.

Sarah Deni (Priscillas Model Management) photography by Peter Van Alphen for ELLE Indonesia May 2022 styling by Cheryl Tan.

Sejumlah dampak negatif dari FOMO:

Kesehatan Fisik

Penggunaan smartphone berpotensi membuat postur tubuh jadi buruk. Para pengguna rentan terserang tech-neck yang memberi beban lebih pada bagian pundak dan leher. Belum lagi masalah gangguan tidur berupa insomnia dan pendeknya durasi tidur yang bisa menimpa orang-orang yang menghabiskan waktunya dengan smartphone sebelum tidur.

Kesehatan Mental

Menurut National Center for Biotechnology, FOMO yang terus-menerus terjadi dan tidak terkendali akan menimbulkan gejala-gejala yang berpengaruh terhadap kesehatan mental, seperti cemas, stres, dan depresi. Sebuah survei Stres dan Kesejahteraan Nasional di Australia, Very Well Family, mengungkapkan bahwa 60 persen remaja merasa khawatir saat mengetahui melalui media sosial bahwa ternyata teman-temannya bersenang- senang tanpa mereka. Masih menurut Very Well Family, FOMO juga dapat menyebabkan seseorang merasa kehilangan identitas diri akibat lebih banyak memusatkan perhatian ke hal-hal di luar dirinya ketimbang melihat lebih dalam ke diri sendiri.

Finansial

Demi tidak ketinggalan dengan tren terkini dan mengikuti gaya orang lain agar terlihat keren di media sosial, sebagian orang rela untuk membobol tabungan atau bahkan berhutang. Semua demi mengejar gaya hidup yang dipaksakan. Semua demi flexing yang diharapkan dapat menuai jumlah follower, like dan comment yang berlimpah.

Produktivitas

Apabila media sosial telah menjadi candu yang sulit dilepaskan, maka seseorang bisa lupa diri dan seakan-akan memiliki dunia sendiri karena perhatiannya selalu tertuju pada smartphone, di mana saja dan kapan saja. Hal ini bisa mengganggu fokus dan konsentrasi pada saat bekerja atau belajar, yang berakibat pada menurunnya produktivitas.


Seperti halnya racun yang memiliki penawar, maka FOMO pun memiliki antitesis, yaitu JOMO (Joy Of Missing Out). Kalau FOMO membuat Anda terperangkap oleh daya tarik membius dari media sosial dan alam virtual, maka JOMO adalah perasaan kepuasan diri karena sudah merasa cukup dengan hidup yang dijalani, tanpa harus melihat dan membandingkan dengan apa yang ditampilkan orang lain di media sosial. Seseorang yang menganut JOMO akan merasakan kebebasan, bisa lebih tenang dan fokus pada hal-hal yang mereka sukai.

Untuk bisa meraih segala kenikmatan hidup dari JOMO dan menangkal berbagai dampak negatif dari ketergantungan terhadap media sosial, maka Anda perlu menerapkan langkah-langkah detoks digital. Namun, ini bukan berarti Anda langsung memutuskan hubungan secara total dengan smartphone dan aplikasi-aplikasi di dalamnya. Bagaimana pun juga, pekerjaan yang Anda jalankan sedikit banyak masih membutuhkan keberadaan aplikasi digital. Mulailah lakukan detoks digital secara bertahap sebagai berikut:

Maggie Jones (Titanium Management) photography by Si Melber  for ELLE Indonesia September 2021 styling Olga Kasma.

Pilih Waktu Offline

Cobalah Anda buat jadwal untuk terputus dengan aplikasi-aplikasi digital di waktu tertentu. Misalnya pada pagi hingga sore hari Anda membutuhkan WhatsApp, email, hingga media sosial untuk menunjang pekerjaan, maka pada malam hari menjadi saat bagi Anda untuk menaruh smartphone di atas meja.

Buat Batasan dan Aturan

Tetapkan berapa jam dalam sehari Anda bisa menggunakan smartphone untuk urusan di luar pekerjaan. Misalnya untuk menjelajahi media sosial, Anda dapat memulai dengan batasan durasi dua jam sehari, hingga akhirnya berkurang menjadi satu jam sehari. Pastikan durasi tidur Anda tidak terganggu karena kebablasan melihat-lihat postingan Instagram atau TikTok, atau ngobrol hingga lupa waktu di WhatsApp.

Anda juga bisa menerapkan aturan untuk tidak menyentuh smartphone atau tablet di momen tertentu, misalnya pada saat makan bersama keluarga atau pasangan. Supaya tingkat kepatuhan lebih tinggi, Anda juga dapat memberlakukan sanksi bagi mereka yang melanggar, misalnya mencuci piring atau pekerjaan rumah lainnya.

Redam Gangguan

Satu cara supaya Anda tidak terdistraksi dan membuat Anda melongok layar smartphone adalah menonaktifkan notifikasi berbagai aplikasi, terutama media sosial. Dengan ketiadaan notifikasi tentang siapa yang baru memposting, siapa yang memberikan like dan comment, siapa yang mengirimkan direct message, maka akan mengurangi screen time sekaligus membuat Anda tetap fokus pada apa yang Anda lakukan.

Luangkan Lebih Banyak Waktu Bersama Orang-orang Terdekat

Ini boleh jadi adalah salah satu manfaat terbesar dengan melakukan detoks digital. Anda akan kembali melakukan interaksi yang nyata dan sesungguhnya yang selama ini Anda tinggalkan, yaitu berbicara secara langsung dengan keluarga, pasangan, atau anak. Betapa pun kerennya unggahan Anda di media sosial, tetap saja tidak mampu menggantikan like berupa pelukan hangat dan tawa ceria dari anggota keluarga, dan comment berupa celotehan dan obrolan yang menenteramkan hati.