LIFE

27 Februari 2024

Lebih dari dua dekade berkarya, Adinia Wirasti Konsisten Beri Kejutan Lewat Karya


PHOTOGRAPHY BY Andre Wiredja

Lebih dari dua dekade berkarya, Adinia Wirasti Konsisten Beri Kejutan Lewat Karya

styling Ismelya Muntu; makeup Vinna Gracia; hair Cicilia Tan

Waktu rasanya membeku saat Adinia Wirasti bercerita tentang dirinya. Sebuah studio foto yang ramai di hari itu terasa senyap, terbawa kisah. Andai boleh mengutip memoar Sidney Sheldon dalam The Other Side of Me, maka alur kehidupan yang dialami Adinia tak jauh dari pesan kehidupan tersebut. Hidupnya ibarat novel. Sesekali penuh ketegangan. Sesekali penuh kejutan. Setiap hari selalu berbeda. Ia tak akan pernah tahu apa yang terjadi kemudian, tanpa membuka halaman-halaman berikutnya. Tanpa kekuatan dan keberanian, mungkin ia tak akan pernah sampai di sini. Mungkin.

Sudah cukup lama saya menonton film yang diperankan Adinia Wirasti. Terakhir tahun lalu, serial berjudul Mendua yang disutradarai Pritagita Arianegara. Pada awal Januari 2024, saya menemuinya di sebuah studio di kawasan Jakarta Selatan. Adinia sedang tidak memiliki proyek baru untuk dipromosikan, pun belum ada karya baru yang bisa diceritakan. Namun meski tak ada pemberitaan, hari itu saya sangat bersemangat menemui perempuan kelahiran 1987 silam ini yang baru tiba di Jakarta satu hari sebelum hari pertemuan kami. Dua minggu sebelumnya, saya mengirim pesan singkat WhatsApp kepada Adinia yang saat itu tengah berada di Melbourne, Australia. Isinya undangan wawancara dan pemotretan. Tidak berlama-lama, ia bilang ia berkenan dan mengaku sangat antusias. “Saat itu saya sedang piknik sambil menikmati cheese platter di salah satu pantai di Australia ketika saya membaca chat dari Anda. Sejujurnya saya sangat menyenangi majalah ELLE, sebegitu besarnya cinta saya pada media tersebut sampai-sampai ketika diajak pemotretan, saya merasa saya tidak punya alasan untuk menolak. Saat itu juga saya segera mengubah tanggal di tiket pesawat agar saya bisa pulang lebih awal,” kisahnya sambil tertawa.

watches Cartier Santos-Dumont (jam tangan); jewellery Trinity de Cartier (cincin, anting, dan kalung bertatahkan berlian).

Adinia Wirasti memulai karier di industri perfilman melalui film layar lebar Ada Apa dengan Cinta? yang dirilis tahun 2002. Adinia yang kala itu baru lulus SMP memerankan sosok Karmen, seorang remaja SMA yang berpenampilan tomboi dan gemar bermain basket. Tiga tahun kemudian, Adinia kembali unjuk peran dalam film Tentang Dia. Atas perannya sebagai Rudi di film tersebut, Adinia yang saat itu berusia 18 tahun memenangkan Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik yang sekaligus menjadikannya aktris termuda sepanjang sejarah perfilman Indonesia yang memenangkan Piala Citra untuk kategori tersebut. Sudah 22 tahun Adinia Wirasti meniti karier sebagai pemain film. Selama itu ia memilih peran yang lebih memerlukan tantangan penjiwaan. Mungkin karena dilandasi rasa cinta dan penghayatan yang dalam, setiap peran yang dilakoni hampir pasti menuai puji dan apresiasi. Tercatat nama Adinia Wirasti berkali-kali masuk sebagai nominasi dan pemenang di ajang bergengsi Festival Film Indonesia atas perannya di berbagai judul film; Jakarta Magrib, Arisan! 2, Laura & Marsha, Kapan Kawin, Cek Toko Sebelah, Critical Eleven, Susah Sinyal, Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta, serta Kamu Tidak Sendiri

Adinia Wirasti bukan satu-satunya nama yang pernah masuk sebagai nominasi dan pemenang di ajang Festival Film Indonesia. Namun ia satu dari sedikit contoh pekerja seni yang memiliki kesungguhan dalam berkarya di dunia seni peran. Keberhasilan perempuan lulusan New York Film Academy ini berakar dari usahanya yang sepenuh hati membuktikan kemampuan diri. Siapa pun yang pernah menonton barangkali sulit melupakan penampilannya di 3 Hari Untuk Selamanya (2007), film low budget namun sarat makna yang diperankan Adinia bersama Nicholas Saputra. Dalam perjalanan darat dari Jakarta menuju Yogyakarta, Adinia memerankan Ambar, seorang mahasiswi yang jatuh cinta kepada sepupunya. Pengalaman pertamanya bermain dalam genre romantic comedy berjudul Kapan Kawin turut menjadi bukti dari keluwesan akting Adinia. Memerankan seorang perempuan karier yang sukses di dunia profesional namun masih melajang di usia 30-an sampai akhirnya ia harus ‘menyewa’ seorang laki-laki (diperankan Reza Rahadian) agar berpura-pura menjadi kekasihnya untuk diperkenalkan pada kedua orangtuanya.

Watches & Jewellery Tank Louis Cartier alligator strap (jam tangan); Cartier Love rose gold (anting, gelang, dan kalung bertatahkan berlian); fashion Valentino (jaket).

Meski masuk industri film karena tak sengaja saat Adinia ditemukan sutradara Rudy Soedjarwo di sebuah acara pernikahan, nyatanya Adinia Wirasti kini jatuh cinta pada seni peran. “Saya tidak pernah punya mimpi untuk menjadi pemain film. Saya malah baru mengenal film-film Indonesia waktu kemunculan film Kuldesak, Petualangan Sherina, dan Jelangkung. Jadi sewaktu diajak casting untuk peran Karmen di Ada Apa dengan Cinta, saya belum bisa membayangkan seperti apa profesi pemain film yang ternyata menyenangkan sekali. Suatu masa saya jadi anak remaja, kemudian saya berperan sebagai perempuan yang hidup di era 1800-an. Pada momen berbeda, saya merasakan pengalaman hidup seorang single mother dengan karier cemerlang namun tak punya hubungan yang baik dengan anaknya. Siapa yang dapat mengalami kesempatan itu? Rasanya hanya aktor yang bisa mengeksplor kehidupan manusia tanpa harus benar-benar menanggung resikonya karena kami hanya sedang berakting,” ujar Adinia.

Hingga kini Adinia Wirasti terus mengembara di industri seni peran lewat berbagai judul film dan serial. Dengan ketenaran yang diperoleh dan penampilan yang mencuri perhatian, apakah kesuksesan ini membuat hidupnya lurus? Tidak. Bekerja sebaik-baiknya bukan berarti halangan tidak datang. Dalam perjalanan apa pun, kenyataan tidaklah semulus apa yang terlihat di permukaan. Film Ada Apa dengan Cinta? yang meledak sedemikian rupa, memberi popularitas tinggi kepada Adinia Wirasti. Namun masa-masa bahagia atas ketenaran itu seperti mimpi yang berlangsung singkat. Dampak popularitas ternyata bisa begitu menyakitkan untuk Adinia Wirasti. Popularitas yang membuka banyak kesempatan, ternyata juga bisa memberi trauma tersendiri. Adinia Wirasti sempat dianggap “terlalu Indonesia” untuk memerankan sebuah karakter orang Indonesia. Ia beberapa kali pernah ditolak casting karena dinilai tubuhnya kurang kurus dan warna kulitnya kurang putih. Tidak sedikit kesempatan lenyap karena alasan-alasan yang tidak masuk akal. “Ada banyak sekali orang yang ingin mengubah saya. Kulit harus lebih putih, badan mesti kurus langsing. Tidak boleh terlalu ‘besar’, tidak boleh terlalu ‘gelap’. Ironis sekali bahkan di negara sendiri, saya kehilangan kesempatan justru karena warna kulit saya ‘Indonesia banget’. Benar memang bahwa kita patut merawat diri dengan baik melalui makeup dan beauty treatments, tapi bukan berarti jadi mengubah warna kulit. Dan saya perhatikan perlakuan seperti ini seringnya terjadi hanya pada perempuan. Laki-laki yang tidak berkulit putih dianggap tidak jelek. Bentuk tubuh laki-laki yang beragam itu pun nyaris tidak pernah menerima kritik tajam seperti yang terjadi pada perempuan. Tuntutan, label, dan acuan “standar kecantikan” bahkan sudah saya rasakan sejak remaja. Di usia 13 tahun saya pernah berusaha kurus. Saya takut tidak disukai orang karena badan saya tidak kurus jadi saya mati-matian diet dengan mengurangi asupan makanan di usia semuda itu. Saya juga pernah ingin sekali punya kulit putih seperti yang orang lain harapkan dari saya, maka saya sempat melakukan suntik putih setiap minggu selama lebih dari dua tahun. Sampai akhirnya seorang kawan menyadarkan saya dengan mengatakan saya itu cantik tanpa harus melakukan semua itu. Saya sempat tidak percaya diri karena sejujurnya saya merasa susah sekali untuk mengakui bahwa saya bisa cantik. Sejak momen itu saya menyadari, self-love ternyata tidak melulu tentang melakukan hal-hal yang kita senangi. Mencintai diri sendiri kadang bentuknya sesuatu yang tidak nyaman yang harus kita lewati. It’s uncomfortable process for me. Dan suami saya, Michael Wahr, orang yang selalu mengingatkan saya bahwa ketika saya tidak suka dengan sesuatu, maka bukan berarti sesuatu itu tidak bagus. Ada garis tipis yang membedakan antara sesuatu yang tidak baik dan sesuatu yang tidak kita sukai. Bagaimana kita membedakan keduanya membutuhkan waktu, pengalaman, sakit hati, dan kekecewaan,” cerita Adinia.

watches Cartier Ballon Bleu rose gold (jam tangan bertatahkan berlian); jewellery Clash de Cartier rose gold (cincin, anting, dan gelang); fashion Celine (Gaun beledu).

Pengalaman hidup memang mahal harganya. Namun di sisi lain, masa-masa sulit itu mendewasakan dan akhirnya membuat Adinia Wirasti tetap relevan dengan zaman di tengah bermunculannya nama-nama baru di industri perfilman. “Bertahun-tahun berkarier di industri ini, saya akhirnya menyadari ternyata saya bisa menjadi orang yang sabar. Sebagai aktor, saya berusaha mengerjakan segala sesuatunya dengan cermat dan teliti. Saya berusaha tidak gegabah. Saya tidak ingin mengambil semua peluang tanpa pikir panjang, atau mumpung ada kesempatan di depan mata. Saya harus sabar menanti datangnya proyek yang sesuai keinginan, sabar menunggu di lokasi syuting, sabar mengharap kabar dari produser dan sutradara, dan sabar atas hal-hal kurang menyenangkan. Namun di sisi lain, saya rasa hal penting yang bikin saya bertahan adalah keberanian untuk melewati semua tantangan. Let’s embracing the struggle. Sekeras apa pun penolakan dan tantangan, saya terus berjalan karena untuk melewati apa yang perlu dilewati adalah hanya dengan melewatinya. Saya terus-menerus menunjukkan kemampuan diri dan membuktikan bahwa tak ada yang bisa memisahkan saya dengan dunia seni peran, kendati saya kerap dianggap tidak memenuhi standar kecantikan tertentu,” ungkap Adinia. 

Adinia tersenyum sejenak. Mengenang kehidupannya yang penuh warna. Tak banyak cerita perih yang terlihat di permukaan selama ini. Ia menikmati setiap perjalanan yang telah dilakukannya. Tantangan, halangan, duka, cobaan, penolakan, bukanlah hal yang perlu ditakuti melainkan mesti dihadapi. “Dalam kehidupan itu banyak pelajaran dan saya merasa semua peristiwa yang saya alami memiliki makna. Ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil dari setiap langkah perjalanan kita mengarungi kehidupan. Kita hanya harus melihatnya dengan cara pandang yang lebih luas. Di usia 37 tahun, saya tidak ingin merasa menyesal atas apa pun yang telah terjadi. Namun kalau waktu bisa diulang kembali ke usia awal 20 tahun, saya ingin belajar menulis agar bisa menjelaskan apa pun secara verbatim, saya mau lebih sering membaca buku, dan mengerjakan apa-apa yang bisa bikin isi pikiran saya ‘penuh’. Ada sebuah ungkapan yang kerap kita dengar yakni ‘Women empowering other women’, namun kalimat tersebut buat saya rasanya lebih tepat kalau diubah menjadi ‘Women are empowering themselves’, and when that happens, then she will empower others,” ujar Adinia Wirasti. Menit-menit berikutnya Adinia bercerita tentang hal-hal yang akan dilakukannya, tetap berkontribusi pada dunia perfilman dan berusaha belajar menulis esai salah duanya. Tak habis-habisnya ia berkisah dengan nada optimis dan penuh rasa bahagia, sehingga lupa akan segala duka yang baru saja dikisahkannya. Ah, ternyata bahagia itu harus dicari, meski dengan caranya sendiri.