23 September 2024
Lewat Dedikasi dan Integritas, LISA Sukses Mengukir Jalan Hidup hingga Jadi Ikon Global
Dalam bahasa K-Pop “killing part” adalah karya yang ‘mematikan’. Bagian lagu ini berbeda dari yang biasanya kita pahami sebagai hook, yaitu bagian dari pop chorus yang direkayasa secara advance oleh para pakar musik hingga mampu tertanam di benak. Sebaliknya, killing part adalah momen unik dan tidak terduga dalam lagu—biasanya diletakkan di paruh kedua video musik dalam bentuk perpaduan elemen visual dan vokal yang sangat dahsyat, serta mampu menjadi inti sari dari keseluruhan musik sekaligus visual. Dan tentu saja, bagian ini ditayangkan berjuta kali di media sosial.
Lalisa Manobal—dikenal secara mononim sebagai LISA sejak debut fenomenal BLACKPINK di tahun 2016 silam—nampak hampir seperti subspesies yang berevolusi khusus untuk membawakan satu killing part ke killing part berikutnya. Anda akan memahami hal ini bila Anda pernah mengalami “terhipnotis” oleh BLACKPINK wormhole (sebuah pengalaman—yang telah dialami oleh jutaan orang—saat menonton video musik BLACKPINK pertama kali dan seketika merasakan kebutuhan kompulsif untuk dapat segera menonton video musik lainnya—percayalah, hal tersebut nyata adanya). Anda telah menyaksikan berbagai keterampilan personal LISA yang terasah secara mendalam, seperti bibir membentuk pout dan anggukan kepala yang tegas dengan attitude; penyampaian lirik rap berkata-kata berani tanpa terbata-bata (“Middle finger up, F-U pay me/‘90s baby, I pump up the jam”); atau mengenakan styling busana berisiko tinggi dan mampu dikenakan dengan sempurna (seperti sarung tangan hijau yang ia pasangkan dengan boots magenta setinggi paha di video musik DDU DU DDU-DU tahun 2018). Faktanya, seseorang tidak mungkin menjadi ikon K-pop dunia tanpa memiliki banyak gaya personal yang berani.
“Play it safe? Tentu tidak,” ujar LISA sambil menyeringai dan menggoyangkan jarinya. Ia baru tiba di Los Angeles beberapa jam yang lalu setelah melewati penerbangan panjang. Dalam dua hari, Rockstar—single solo pertamanya dalam kurun waktu tiga tahun—akan dirilis secara global. Di awal sesi Zoom, saya mengatakan bahwa saya baru saja mendengarkan Rockstar sebelum kami berbincang dan reaksi pertamanya adalah membelalakkan mata, melempar kedua tangan memegang kepala, dan terkejut dalam bahagia sekaligus kepanikan, “Oh, nooo!” Jika Anda hanya mengenal LISA dari penampilannya yang berani dan tak acuh, reaksi yang rendah hati tersebut tampak seperti kontradiksi. Namun, seperti rekan-rekannya di BLACKPINK, yang telah memecahkan sejumlah rekor industri musik dan masingmasing telah meraih kesepakatan dengan berbagai merek luksuri dunia—dan yang baru-baru ini dinobatkan sebagai Honorary Members dari Order of the British Empire oleh Raja Charles III—ia seakan meninggalkan tampilan penuh ego di atas panggung.
Mereka berempat mengepakkan sayap dalam naungan YG Entertainment, agensi manajemen Korea Selatan yang tersohor, sekaligus perusahaan produksi rekaman musik, dan label rekaman yang bertanggung jawab atas munculnya barisan artis-artis bombastis seperti Psy, BigBang, dan 2NE1. Ego dan perilaku tak acuh tersebut hanya sebuah alter ego di panggung, karena di dunia K-pop sebenarnya kesombongan atau perilaku diva sangat tidak ditoleransi, apalagi diagungkan. Sebagian dari daya tarik para bintang K-pop yang mampu berkiprah di Barat sesungguhnya sangat kontras dengan sikap dari beberapa selebritas Hollywood—yaitu kerendahan hati dan ketulusan yang justru memberi angin segar pada karpet merah Hollywood.
Dan LISA bukan pengecualian. Kendati Rockstar menghimpun kata-kata seperti “stealin’ diamonds” pada liriknya dan menyombongkan diri tentang gaya hidup mewahnya (“tight dress, LV sent it”), ia dikenal oleh temanteman dan rekan-rekannya sebagai sosok yang lucu dan santai. Di hari cuti yang jarang sekali ia miliki, ia kerap menghabiskan waktu dengan menonton serial favoritnya House of the Dragon “Sekarang, saya menunggu episode barunya dengan sabar setiap minggu,” katanya dengan penuh antusias; berbelanja online di tempat tidur, mengunyah camilan rumput laut, dan bersantai mengenakan hoodie tebal dan celana piyama.
LISA sesungguhnya selalu memiliki semangat rock star dan ia telah mendambakan untuk dapat melepaskannya di hadapan dunia. Akhir-akhir ini, ia kerap mengeksplorasi personalitasnya di balik hoodie tebal yang biasa ia kenakan dan lebih memberi perhatian ke sisi dirinya yang cenderung baddie. “Saya menyukai barang-barang yang terbuat dari kulit,” ucapnya. “Anting-anting besar. Aksesori perak. Saat mengenakannya, saya merasa seperti, ‘Okay, I’m a rock star.’ Sebab itu saya akan berjalan layaknya seorang rock star. Saya juga akan duduk layaknya seorang rock star.” Dan bagi seorang style icon, mode juga mampu menceritakan kisah yang terdalam. “Saya bukan orang yang mudah mengekspresikan perasaan. Namun akhir-akhir ini saya merasa lebih percaya diri akan pemikiran saya, dan mampu mengungkapkannya dengan lantang.” Ia pun memanfaatkan kelantangan tersebut di momen ini, kala memasuki babak baru dalam kariernya: dengan musik solo terbaru dan sebagai penampil utama di ajang Global Citizen Festival yang akan dihelat di New York pada 28 September mendatang, yang juga akan menjadi pertunjukan festival solo pertamanya. Ekspektasi yang bermunculan pun kian tinggi: lagu solo pertamanya di tahun 2021 silam, Lalisa, memecahkan rekor dengan 73,6 juta penayangan dalam waktu hanya 24 jam setelah dirilis, di mana single kedua Money pun mencapai viralitas yang nyata dengan menjadi single K-pop pertama yang mencapai 1 miliar streaming di Spotify.
Kendati kesuksesan Lalisa tak dapat disangkal, proyek baru ini (yang masih dirahasiakan saat berita ini ditulis) terasa seperti sebuah perkenalan ulang bagi sosok LISA—debut yang sebenarnya. Proyek ini menjadi karya pertamanya yang seutuhnya mandiri dari YG. Berbeda dengan Lalisa, album ini dirilis di bawah kerjasama antara RCA Records dan perusahaan manajemen LISA sendiri, yaitu Lloud Co.—yang namanya berfungsi sebagai manifesto satu kata yang sempurna sekaligus memainkan dua huruf L dari nama Lalisa.
“Saya rasa, hal yang benar-benar saya pelajari dari terakhir kali itu adalah diri saya sendiri; mengatakan apa yang saya suka dan tidak suka,” LISA menjelaskan kisah di balik keputusan kreatifnya dalam membuat labelnya sendiri. “Saya rasa hal itu penting. Karena kalau saya berujar ‘Ah, tidak apa-apa,’ orangorang tidak akan tahu—bahwa apakah sesungguhnya saya baikbaik saja dengan itu? Karenanya, saya harus bisa mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’. Tidak di tengah-tengah.”
Tingkat kemandirian seperti itu mungkin tidak terdengar begitu radikal bagi seorang superstar dengan pengaruh global yang mendalam—LISA adalah artis K-pop yang paling banyak diikuti di Instagram, dengan 104 juta pengikut—namun sebenarnya hal tersebut menjadi luar biasa bagi seorang artis yang bangkit melalui kompleksitas industri K-pop. Seperti grup idola lain yang dibentuk di bawah perusahaan papan atas Korea Selatan seperti YG, BLACKPINK adalah produk dari proses pelatihan K-pop yang legendaris dan sebenarnya masih bersifat misterius.
Pendisiplinan ekstrim dari proses pelatihan tersebut sulit untuk diceritakan. Ketika saya menulis cerita fiksi tentang kehidupan seorang K-pop trainee dalam novel, editor saya di Scholastic—yang menerbitkan The Hunger Games—mengira saya sedang memainkan detail-detail penting untuk menambah drama. Kalaupun memang ada, nyatanya saya telah melunakkan fakta-fakta yang saya temukan dalam penelitian: jadwal latihan 14 jam sehari; aturan ketat tentang kencan (dilarang keras), diet, serta perilaku “pantas”; dan mungkin yang paling berat dari semuanya adalah penderitaan psikologis karena mempertaruhkan seluruh masa muda Anda pada peluang yang sangat kecil untuk dipilih agar dapat melakukan debut dalam sebuah grup, belum lagi grup yang kemudian mencapai hanya sedikit kesuksesan.
Bagi LISA, yang lahir di Provinsi Buriram, Thailand, dilempar ke dalam sistem pelatihan bak Thunderdome menjadi pengalaman yang jauh lebih menantang, sebab ia harus menjadi orang asing di industri yang tidak dikenal ramah terhadap kehadiran orang luar pada saat itu. Di tahun 2010, di usia 13 tahun, ia mengalahkan ribuan calon lainnya dalam audisi terbuka YG—namun hal tersebut baru menjadi awal dari bagian yang sulit. Tahun berikutnya, ia meninggalkan keluarganya untuk pindah ke asrama pelatihan, menjadi sosok idola pertama YG yang bukan keturunan Korea. Satu-satunya bahasa Korea yang ia ketahui saat itu adalah kata untuk “halo”.
Film dokumenter Netflix di tahun 2020, BLACKPINK: Light Up the Sky, menawarkan sekilas pandangan langka ke harihari pelatihan brutal yang dilewati grup tersebut—masa-masa ketika sesama trainee menjadi teman, dan sebagai hasil alami dari sistem yang dirancang untuk menjadi kejam, mereka pun menjadi rival terberatnya. Dalam film dokumenter tersebut, tidak ada satu pun anggota yang mengatakan bahwa mereka menyesali masa-masa sulit dan sepi itu, meskipun salah satu dari mereka menangis mengingat momen meninggalkan keluarganya. Namun LISA termasuk di antara mereka yang menunjukkan keberanian nyata. Ia mengenang, “Saya harus terus berjuang. Saya harus memberikan segalanya. Saya tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan. Saya ucapkan saat itu, ‘Bring it on! I don’t care anymore!’”
Saat itu, rekan sesama trainee pun tercengang melihat betapa cepat ia menjadi fasih berbahasa Korea. Ia juga fasih berbahasa Thailand dan Inggris (dalam wawancara kami, ia hanya sesekali menggunakan bahasa Korea untuk mengekspresikan emosi yang sangat besar) dan juga fasih berbahasa Mandarin serta bahasa Jepang dasar (seperti yang disebutkan dalam lirik dialog Rockstaryang jenaka, “‘LISA, can you teach me Japanese’/I say, hai, hai!”). Ia juga penari yang menonjol sebagai trainee dan masih—secara objektif—penari yang paling terampil dan percaya diri di BLACKPINK. Dalam dokumenter tersebut, rekan satu grupnya, JENNIE, mengingat dengan kekaguman, “Begitu LISA masuk, di saat itulah aku berpikir, ‘Wah, ternyata memang ada orang yang terlahir untuk melakukan hal ini.’”
Dan begitulah LISA. Sementara beberapa girl group K-pop lainnya sempat meraih kesuksesan sesaat di Amerika Serikat, karena gaya polished dari genre tersebut nyatanya tidak selalu cocok di pasar Amerika. Sebaliknya, BLACKPINK memiliki gaya dan attitude yang bisa nyambung dalam setiap bahasa, serta merta latar belakang internasional dan orisinalitas LISA—seperti yang akan disetujui oleh Lilies (sebutan penggemar LISA)—penting bagi faktor X grup tersebut sejak hari pertama mereka disatukan. “Ketika berada di atas panggung (bersama BLACKPINK) saya berbagi energi dengan rekan-rekan saya,” ujar LISA. “Jika ia memberi 100, saya akan memberi 120. Kami dapat merasakan energi satu sama lain. And I love that energy.”
Bagi para penggemar BLACKPINK yang khawatir bahwa karier solo para anggota akan mengakhiri grup, LISAmemberikan kepastian. Meski ia telah berpisah dengan YG untuk merintis karier solo (begitu pula dengan JENNIE, JISOO, dan ROSÉ), keempatnya telah memperbarui kontrak mereka untuk melakukan pertunjukan di masa depan sebagai sebuah grup. Di bulan Juli silam, pendiri YG Entertainment, Yang Hyun-suk, menggoda para penggemar dengan rencana tur potensial yang akan digagas di tahun 2025 mendatang. “Tentu saja kami akan melanjutkannya,” ucap LISA penuh keyakinan. “Kami sangat bangga dengan BLACKPINK, dan saya mencintai BLACKPINK. Ini bukan hanya karena penggemar kami, tapi ini untuk diri kami sendiri.” Ia beralih ke bahasa Korea untuk mengatakan, “Tidak ada keraguan. Ini adalah hidup kami.”
LISA mengambil keputusannya sendiri dan membawa serta energinya—termasuk menghubungkan lebih banyak karya seninya dengan tanah kelahirannya di Thailand. Untuk video musik Rockstar, LISA menari di Jalan Yaowarat yang ikonis di Pecinan Bangkok. Kemudian ia mengambil akting pertamanya dengan tampil di serial The White Lotus musim ketiga yang mengambil Lokasi di Thailand. Proses syuting dilaksanakan di Bangkok, pulau-pulau Phuket, dan Koh Samui. Bagi LISA, proyek ini merupakan kesempatan yang disambut sangat baik “untuk dapat kembali ke rumah, menikmati makanan Thailand setiap hari dan untuk berada di dekat ibu di lokasi syuting”, ujarnya.
“Ya Tuhan, Mike White? I think he’s a genius,” raut LISA berseri-seri saat ia mengingat momen kala mengetahui ia mendapatkan peran tersebut. “Sepertinya saya menangis. Saat itu saya sedang bersama teman-teman, teman-teman ibu saya, dan juga ibu saya, tapi saya tidak memberi tahu mereka bahwa saya mengikuti audisi untuk mendapatkan peran itu. Saya sangat bersemangat dan gugup, karena ini adalah proyek akting pertama saya. Jadi saya sempat merasa senang namun hanya sesaat, dan seketika berpikir, “Oh, tunggu, tunggu, bagaimana saya akan melakukan ini?”
Walaupun tidak bisa membocorkan detail apa pun tentang cerita atau perannya—secara ahli ia mengelak pertanyaan ketika saya bertanya apakah ia akan bernyanyi atau menari—ia telah mengambil kelas akting dan tampak percaya diri setelah melewati keraguan pada awalnya. “Hal ini merupakan hal yang baru bagi saya, tapi saya pikir ini serupa dengan syuting video musik. Saya ingin penggemar saya bisa melihatnya.” Serial antologi ini mengikuti sekelompok wisatawan berprivilese yang berfoya-foya di lokasi yang mencengangkan dan kemudian berselisih dengan penduduk setempat, tapi kita tahu dari LISA bahwa setidaknya satu karakter utama akan tampil dengan baik: “Saya merasa orangorang akan semakin jatuh cinta dengan Thailand.”
Keuntungan besar lainnya yang didapatkan dengan mengambil kendali atas kariernya sendiri bersama Lloud adalah bahwa ia akan mempunyai hak milik atas musiknya—sebuah hak istimewa yang tampak mendasar yang bahkan harus diperjuangkan oleh bintang-bintang Amerika yang tersohor, seperti Taylor Swift. “Saya rasa tidak mudah bagi siapa pun untuk bisa mendapatkan hal tersebut,” kata LISA. “Rasanya seperti mimpi. Saya tidak yakin apakah itu nyata atau tidak.” (Namun, jangan harap LISA akan menggagas turnya sendiri saat ini. “Ia luar biasa!” kata LISA tentang Swift, yang menyaksikan tur Eras di Singapura. “Bernyanyi sendirian di atas panggung selama tiga setengah jam, itu luar biasa! Saya mungkin bisa melakukannya dengan banyak latihan”.
Tidak mengherankan jika semuanya terasa sedikit seperti mimpi. Mengubah nasib dari trainee K-pop yang menyendiri menjadi maestro yang telah mendapatkan hak penuh atas suaranya sendiri adalah hal yang sangat sulit bagi seorang bintang. Saat menanyakan apa yang akan dia katakan kepada dirinya yang berusia 13 tahun, ia pun menatap langit-langit kemudian berkata dengan wajah datar, “Saya akan bilang, ‘Biarkan dia menderita.’” Ia lantas tertawa terbahak-bahak. “Saya tidak akan merusak semua ini. Saya akan berkata, ‘Jangan terlalu banyak berpikir tentang masa depan. Fokus saja pada apa yang sedang Anda lakukan saat ini. But don’t quit. Just don’t quit.’”