LIFE

30 Maret 2023

Lisabona Rahman Melestarikan Sejarah Sinema Indonesia Lewat Upaya Restorasi Film-Film Klasik


Lisabona Rahman Melestarikan Sejarah Sinema Indonesia Lewat Upaya Restorasi Film-Film Klasik

photography by Imelda Taurina Mandala; courtesy Lisabona Rahman

Seorang aktivis pengarsipan, arsiparis film, sekaligus pegiat studi film yang kini menekuni profesi langka untuk merestorasi film-film Indonesia demi kelestarian sejarahnya. Sejak kecil sampai usia 17 tahun, anak sulung dari tiga bersaudara ini pengalaman hidupnya berpindah-pindah negara mengikuti tugas ayahnya sebagai seorang diplomat. Lisabona Rahman terpapar karya sinema Indonesia ketika ia banyak tinggal di luar negeri. Suatu waktu ia menyaksikan pemutaran film Tjoet Nja’ Dhien di salah satu bioskop di Jepang. Buat Lisabona, film menjadi salah satu medium untuk menjaga keterkaitannya dengan bahasa dan budaya Indonesia, ia kemudian tak pernah memandang film sebatas hiburan melainkan erat hubungannya dengan identitas dirinya sebagai orang Indonesia. 

Lisabona Rahman meraih gelar sarjana studi Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. “Saya kuliah pada zaman pergerakan mahasiswa mengakhiri rezim Orde Baru dan waktu itu belum berencana terjun ke dunia restorasi film, meski memang saat itu telah terpapar isu sosial dan sudah mulai membangun kesadaran kritis soal sejarah,” kisahnya. Perempuan kelahiran Lisboa, Portugal, 1976 ini memulai kiprahnya di dunia perfilman dengan menulis resensi film sejak 2002. Ia kemudian terlibat sebagai Manager Program di Kineforum Dewan Kesenian Jakarta—salah satu bioskop alternatif di Indonesia—sekaligus menjadi editor film di portal filmindonesia.or.id dalam mendokumentasikan perkembangan industri perfilman. Tahun 2011 Lisabona melanjutkan pendidikan Preservation and Presentation of the Moving Image di Universiteit van Amsterdam, Belanda, dan lulus pada 2013. Ia kemudian mengikuti program belajar teknik restorasi film di FIAF Summer School on Analog and Digital Film Restoration di Bologna, Italia. Pada 2014 hingga 2016 Lisabona bekerja di L’immagine Ritrovata Film Restoration & Conservation Laboratory di Bologna, Italia. Saat ini Lisabona Rahman bekerja sebagai tenaga lepasan untuk berbagai proyek konservasi seluloid dan restorasi film, serta menjalankan kelompok belajar kolektif bernama Kelas Liarsip yang fokus pada studi arsip film, restorasi, dan sejarah perempuan dalam sinema Indonesia lewat penelusuran sejarah yang berperspektif kritis dan feminis. 


Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan dan penyelamatan sebuah film? 

“Ada dua alur kerja dalam upaya penyelamatan sebuah film. Pertama, pelestarian atau preservasi yang artinya menyimpan dengan sebaik-baiknya agar film tersebut berumur panjang dan bisa ditonton oleh generasi berikutnya. Kedua, restorasi film yaitu memulihkan kondisi film dan memperkenalkannya kembali ke publik. Cara ini dilakukan apabila sebuah film gagal untuk diawetkan. Perkembangan teknologi membuat karya film tidak semudah itu untuk bisa diputar kembali. Dulu film diproduksi dengan bahan baku pita seluloid. Sedangkan zaman sekarang, tidak ada atau jarang sekali bioskop yang masih bisa memutar film seluloid. Maka film-film lama harus dipindah mediumnya ke dalam bentuk digital. Tujuan utama restorasi adalah untuk memutar kembali film-film lama di zaman sekarang dengan teknologi yang kontemporer sehingga kita yang hidup di masa kini bisa memahami berbagai kecenderungan seperti kecenderungan artistik, politis, sosiologis, dan historis yang terjadi di masa lalu. 

Preservasi dan restorasi kerap terjadi secara bersamaan dan tidak bisa saling dipisahkan. Preservasi adalah sebuah langkah preventif, ibarat pemeriksaan dan pemeliharaan kesehatan gigi yang dilakukan secara rutin di dokter gigi. Sedangkan restorasi lebih seperti tindakan operasi. Sesuatu diobati dengan prosedur serta pengetahuan yang intensif, dan kerap kali lebih mahal dan lebih rumit dibanding preservasi. Persoalannya menjadi kompleks ketika film-film tua ini tidak terawat. Ada pelapukan dan kerusakan yang membuat proses restorasinya tidak bisa hanya sekadar pindah medium dari pita seluloid ke digital. Kita harus terlebih dahulu melakukan riset untuk mengetahui seperti apa sejarahnya ketika dulu film ini diproduksi dan kalau mau diperbaiki, diperbaiki seperti apa supaya mendekati kondisi aslinya?”


Secara teknis, seperti apa proses preservasi? 

“Kalau medium seluloid, maka harus disimpan di tempat yang temperatur dan kelembapannya stabil. Film yang belum terlalu lapuk, maka temperatur yang ideal antara 12 sampai 16-17 derajat konstan. Sebenarnya yang paling penting sekaligus paling sulit adalah menjaga kestabilan kelembapan. Kelembapan ideal untuk menyimpan film adalah skala 40-50% Relative Humidity. Sedangkan di Jakarta, kelembapannya 75% Relative Humidity dan kalau hujan bisa mencapai 100%. Maka secara alamiah Jakarta tidak kondusif untuk menyimpan seluloid tanpa adanya infrastruktur untuk menjaga agar kelembapannya stabil. Kondisi penyimpanannya jauh di bawah kondisi ideal di mana film harus ditaruh di sebuah ruangan yang temperaturnya sejuk dan kelembapannya relatif rendah.

Sinematek Indonesia sebenarnya direncanakan untuk menjadi tempat penyimpanan film yang cukup ideal. Suhunya rendah, bahkan bisa mencapai 11 derajat. Namun tingkat kelembapannya tetap tinggi 60% Relative Humidity. Ada upaya yang dilakukan agar dia bisa menyimpan film dengan kondisi lebih baik, namun dengan cara menaruh AC (air conditioner). Temperatur diturunkan tapi kelembapan relatifnya tidak diintervensi. Ini praktik keliru yang masih terjadi. Padahal sebenarnya, materi film bisa lebih bertahan apabila temperaturnya tinggi tapi Relative Humidity-nya terjaga. Jadi kalau kita menerapkan skala prioritas, seharusnya bukan menambah AC, melainkan menaruh dehumidifier.” 


Bagaimana dengan teknik restorasi film? 

“Ada dua kemungkinan untuk merestorasi film. Pertama, film tetap dalam medium aslinya yakni pita seluloid. Semua proses restorasi harus diawali dengan riset. Mengenai versi mana yang mau direstorasi, apa yang rusak, bagian mana yang harus diperbaiki, tujuan apa yang mau dicapai. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, selain riset, arsiparis dan pelaku restorasi film kerap harus bekerja sama dengan sejarawan film. Kemudian masuk ke proses reparasi. Kalau filmnya tidak terawat, ada pelapukan yang bikin film itu menyusut sehingga sudah tidak mungkin untuk merestorasi dalam bentuk manual. Kalau memakai teknologi digital, dari tahap riset kita mengalihmediakan ke medium digital agar bisa diurut kembali. Mengisi atau menambal bagian-bagian yang rusak dan hilang. Kemudian hasil scan film digital diedit lalu dibersihkan, kemudian melakukan grading dan mastering yang menghasilkan output digital dalam bentuk file atau CD. Sebagai arsiparis, kita juga mesti setia dengan hasil riset. Kalau ada ‘bocor’ dalam proses syuting—semisal kabel yang terlihat dan sebagainya—dalam proses restorasi, kebocoran itu tidak boleh diedit. Dan kalau mau dihapus harus atas persetujuan si pembuat filmnya.” 

Apa tantangannya? 

“Saat ini sekolah untuk mempelajari restorasi dan preservasi moving image hanya ada di beberapa negara Eropa dan Amerika yang artinya pengetahuan mengenai preservasi dan restorasi film masih sangat Eropa dan Amerika-sentris. Tentu tidak selalu cocok apabila diterapkan untuk memahami konteks sejarah film Indonesia. Ada kompleksitas yang membuat perkembangan budaya sinema Indonesia menjadi cukup berbeda. Sebagai orang Indonesia yang belajar di Belanda—yang merupakan tempat penjajah Indonesia—menjadi tantangan buat saya dalam mengadopsi pengetahuan untuk membuka subjektivitas sebagai orang yang mewarisi budaya yang terjajah. Tentu saya tidak ingin hanya menyitir dan menghapal apa-apa yang dianggap penting oleh kebudayaan Belanda.

Kita juga perlu kritis dan membangun kesadaran untuk menghormati intellectual property, serta menyadari bahwa kita ini dikolonisasi Hollywood. Silakan bertanya pada sekitar Anda, ada berapa orang yang tahu Marilyn Monroe dan berapa orang yang kenal Chitra Dewi? Saya ingin mengajak Anda agar lebih curious dan menantang diri sendiri untuk tidak hanya menikmati film-film luar negeri, tapi juga menonton film-film Indonesia.” 

Apa pentingnya upaya menyelamatkan dan merawat arsip film-film lama Indonesia? 

“Saya percaya, membangun identitas bangsa tidak hanya melalui pengetahuan hari ini tapi juga harus ada sejarah yang ditulis. Kita perlu mencari dan merumuskan sejarah yang demokratis dan terbuka. Termasuk perihal sejarah film Indonesia yang juga penting untuk melacak artefaknya, melestarikannya, meneliti sejarahnya, sampai merestorasinya. Kalau kita tidak berpikir kritis, maka sulit untuk melihat bahwa sejarah Indonesia terdistorsi oleh bermacam kepentingan dan mitos-mitos yang sering kali merugikan. Semisal, film tentang Pengkhianatan G30SPKI, salah satu yang cukup monumental dalam sejarah film Indonesia. Di satu sisi, film tersebut memang elemen sejarah film. Tapi di sisi lain, dia dipakai sebagai justifikasi sejarah dalam bentuk film. Dan tidak sebatas film G30SPKI, ada banyak sekali elemen dalam sejarah Indonesia yang diterima begitu saja dan kita tidak dikasih perangkat untuk mengenal kembali masa lalu Indonesia dan merumuskannya dengan pemahaman sejarah yang demokratis.

Contoh lainnya, Indonesia punya Usmar Ismail sebagai sosok Bapak Perfilman Nasional. Tentu kita dapat menelusuri karya-karya beliau, tapi apa mungkin hanya ada Usmar Ismail dalam sejarah film Indonesia? Bagaimana dengan kaum perempuannya? Sebagai perempuan Indonesia saya selalu penasaran, kenapa setiap saya melihat masa lalu isinya laki-laki melulu. Mustahil sejarah kita hanya disusun oleh laki-laki dan tidak mungkin selama ini perempuan Indonesia tidak melakukan apa-apa. Terbukti ketika kita membaca dengan riset, nyatanya ada perempuanperempuan yang juga berkarya di masa yang sama ketika kita membicarakan figur-figur lakilaki. Lewat penelitian sejarawan Umi Lestari, saya berkenalan dengan karya-karya penyutradaraan Ratna Asmara dari tahun 1950-an. Ratna terkenal sebagai aktor, penari dan penyanyi di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara sejak akhir 1930-an. Inilah pentingnya tindakan restorasi dan preservasi artefak sejarah film. Memiliki kesadaran kritis untuk mendemokratisasi sejarah dengan mengeksplorasi dan mempelajari sejarah film agar pemahaman kita mengenai masa lalu lebih ‘kaya’. Sebab kalau tidak, maka warisan sejarah film Indonesia lagi-lagi akan sangat maskulin dan patriarkis.”