8 April 2019
Lukman Sardi: Berani Alih Profesi Demi Kejar Mimpi

Sosok laki-laki yang populer di industri perfilman Tanah Air ini datang tepat waktu, pukul 10 pagi. Ia datang sambil memegang segelas kopi Americano, mengenakan kaus putih polos dan celana jins biru, kemudian segera mengambil posisi di samping saya. Ia memang tidak bisa dibilang muda, tapi dari cara ia berjalan dan menyapa orang, lelaki ini terlihat begitu matang dan berdaya tarik tinggi. Lukman Sardi bukan orang baru di dunia perfilman Indonesia. Ia mulai berakting saat usianya delapan tahun.
Tahun 1977, Lukman Sardi ikut beradu peran di film Kembang-Kembang Plastik, karya sutradara Wim Umboh yang turut dibintangi Cok Simbara dan Yati Octavia. Lukman mengaku ia memulai karier di dunia film karena peran sang ayah, pemain biola legendaris Indonesia, Idris Sardi. Sebagai komponis, ayahnya kerap menangani scoring dan ilustrasi musik untuk sebuah film. Beberapa di antaranya yakni Pengantin Remaja (1971), Perkawinan (1973), Cinta Pertama (1971), dan Doea Tanda Mata (1985). “Ayah banyak terlibat di industri perfilman Indonesia. Beliau mengenal banyak sutradara film, salah satunya om Wim Umboh. Bisa dibilang karena beliau, saya memulai perjalanan karier, dimulai dengan ikut berperan di Kembang-Kembang Plastik. Waktu itu Om Wim sedang butuh pemeran untuk anak laki-laki. Saya menerima tawarannya dan terus main film sampai sekarang,” kisah Lukman.
Lukman kecil bermain film sebatas untuk bersenang-senang. Katanya, “Saya pikir, orang tua sudah berkecimpung di seni dan film. Begitu pun keluarga saya yang lain juga beberapa ada di wilayah film. Masa saya di sini-sini lagi? Akhirnya lulus SMA, saya pilih kuliah jurusan hukum”. Pria kelahiran tahun 1971 ini menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Lukman sempat menjalani aktivitas sebagai pekerja kantoran, lalu bersama sahabatnya sekaligus pendiri Sekolah Cikal, Najeela Shihab, Lukman ikut mengajar di sekolah tersebut.
Beberapa tahun ia tidak menyentuh dunia film hingga akhirnya pada suatu hari, seorang teman sedang mengerjakan film pendek dan mengajak Lukman ikut berperan di dalamnya. Tahun 2003, film pendek berjudul Durian itu rupanya dilihat oleh sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana. “Saat itu Mbak Mira dan Mas Riri sedang berencana menggarap film Gie. Mereka minta saya ikut casting. Padahal saya waktu itu enggak tahu, siapa Soe Hok Gie?” kisahnya.
[caption id="attachment_6983" align="aligncenter" width="685"]
Busana: DIOR MEN[/caption]
Tahun 2005, Lukman memerankan Herman Lantang di film Gie. Mahasiswa Antropologi di Universitas Indonesia, sekaligus salah satu pendiri Mapala (Mahasiwa Pencinta Alam) UI. Sahabat Soe Hok Gie ini juga pernah menjadi penggerak demo mahasiswa untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca peristiwa 30 September. Dan karena memerankan sosok inilah, Lukman Sardi jatuh cinta pada film. “Dulu banget saya memang pernah main film. Tapi setelah main di film Gie, gairah itu semakin kuat. Ngobrol bersama mbak Mira dan mas Riri sekaligus mengenal para kru film itu membuka pikiran saya. Mereka semua orang-orang yang punya komitmen tinggi dan passion begitu besar saat perfilman Indonesia sendiri saat itu sedang proses bangkit dari kondisi mati suri. Sejak itu saya berpikir bahwa main film bukan lagi sekadar mengisi waktu dan senang-senang. Enggak ada keraguan, film adalah dunia saya.”
Lukman kemudian keluar dari Sekolah Cikal, tempat ia mengembangkan pendidikan Taman Bermain sekaligus mengajar anak-anak muridnya. “Meskipun saya lumayan nekat waktu itu, memberanikan diri melepas pekerjaan di Cikal padahal film Gie sendiri baru tayang satu tahun kemudian”. Berani mengambil keputusan dan tegas pada pendirian rupanya mempercepat kesuksesan muncul di depan mata. ‘Fortune favours the bold’, sebuah adagium yang rasanya tepat saya tujukan ke laki-laki ini. Setelah berperan di film Gie, Lukman tidak pernah absen menampilkan eksistensi dan performanya di perfilman Indonesia. Semakin lama, namanya justru semakin kokoh seolah tak terhempas aktor-aktor muda dan baru yang bermunculan.
Setelah film Gie, Lukman Sardi tercatat berperan di banyak karya film Tanah Air, beberapa di antaranya yakni Janji Joni (2005), Berbagi Suami (2006), Quickie Express (2007), Laskar Pelangi (2008), Sang Pemimpi (2009), Jakarta Maghrib (2010), Soekarno (2013), 7/24 (2014), Kulari Ke Pantai (2018), dan 27 Steps of May (2018). Konsistensi berakting yang turut ia lakoni sambil menjalani kegiatan di MNC Pictures, tempat di mana Lukman berkarier sebagai produser, salah satunya untuk film 7/24. Film yang ‘mengembalikan’ Dian Sastrowardoyo ke dunia perfilman setelah aktris tersebut sempat berhenti main film dan memilih kerja kantoran.
“Saya merasa film itu kalau ngomongin cinta kenapa harus selalu karakternya remaja? Mengapa enggak dikaitkan dengan cintanya orang dewasa, suami-istri di kota besar. Saya kemudian menggarap 7/24 dan menginginkan Dian yang memerankan tokoh utama perempuannya. Dia perempuan, menikah, punya anak, dan berkarier. Persis seperti yang digambarkan di naskah film 7/24,” cerita Lukman.
[caption id="attachment_6985" align="aligncenter" width="685"]
Busana: MASSIMO DUTTI[/caption]
Bukan sebuah keisengan jika beberapa hari sebelum pertemuan kami, saya menyaksikan penampilan Lukman di dua medium berbeda: panggung teater dan layar bioskop. Setuju atau tidak, paling enggak bagi saya, nama ‘Lukman Sardi’ seolah menjadi jaminan mutu sebuah karya. Rasanya kecil kemungkinan kita pulang dengan kecewa dan menyesal. Happy Salma menjadi perempuan yang berperan dalam keterlibatan Lukman di panggung teater. Titimangsa Foundation, yayasan nirlaba daam bidang budaya dan seni pertunjukan yang didirikan Happy Salma, sukses menggelar Bunga Penutup Abad, pementasan teater yang diperankan Lukman Sardi bersama Reza Rahadian dan Chelsea Islan.
Berkisah dari roman karya Pramoedya Ananta Toer, pementasan Bunga Penutup Abad sukses mendatangkan 1.500 penonton dalam tiga hari pementasan di Jakarta, tahun 2016. “Awalnya Happy ngajak saya untuk mengisi bagian monolog di acara peluncuran Tulola Designs, merek perhiasannya dia. Saya monolog sebagai Mingke, salah satu karakter di buku Bumi Manusia. Dan ternyata waktu itu Happy memang sedang merencanakan Bunga Penutup Abad. Maka jadilah saya ikutan di pementasan teater itu kemudian lanjut ke pementasan Nyanyi Sunyi Revolusi yang diproduseri Happy,” ceritanya.
Lagi-lagi, Lukman bukan tipe laki-laki yang mengerjakan sesuatu hanya demi faktor finansial.”Sebagai aktor yang telah memutuskan bahwa film adalah dunianya, maka saya harus selalu belajar, salah satunya lewat teater. Jika atlet latihan bertanding di lapangan olahraga, maka aktor berlatih di panggung teater. Teater itu dasar dari akting. Melatih gerak tubuh, artikulasi, menyampaikan apa yang sifatnya tersirat dan tersurat, sekaligus menggali karakter yang diperankan. Teater membantu memperkuat apa yang telah ada dalam diri saya,” Lukman mengungkapkan.
Melalui pementasan bertajuk Nyanyi Sunyi Revolusi, Lukman memerankan Amir Hamzah, seorang penyair era pujangga baru yang namanya menjadi legenda di dunia sastra Indonesia. Aktor ini sukses menjawab tantangan dengan mampu menyelami rasa sunyi dan duka seorang Amir Hamzah. Sang aktor juga mendalami karakter sastrawan tersebut yang seumur hidupnya mempertahankan rasa cinta sekaligus memaafkan di tengah hasrat membenci yang menggebu-gebu. “Sosok sastrawan yang mengajarkan saya tentang arti memaaafkan.
Lewat peran sebagai Amir Hamzah, saya juga jadi belajar banyak kosa kata dan diksi dari puisi-puisi Amir Hamzah. Senang sekali, ternyata Bahasa Indonesia sangatlah indah dan menarik,” kata pria usia 48 tahun ini. Dan benar perkiraan saya. Meski menyaksikannya usai beraktivitas seharian di kantor, saya nyaris tidak mengecek handphone selama pertunjukan teater berlangsung. Malam itu, penampilan Lukman Sardi bersama Prisia Nasution, Sri Qadariatin, dan Desi Susanti, di Gedung Kesenian Jakarta menyedot perhatian banyak orang di kursi penonton, termasuk saya.
[caption id="attachment_6984" align="aligncenter" width="685"]
Busana: DIOR MEN[/caption]
Kesenangan yang nyaris sama saya rasakan saat keluar dari bioskop usai menonton Orang Kaya Baru, film layar lebar karya sutradara Ody C. Harahap dengan naskah yang ditulis Joko Anwar. Lukman Sardi berperan sebagai ayah dari tiga orang anak yang hidupnya pas-pasan. Tetapi ternyata dia pura-pura miskin demi mendidik ketiga anaknya agar lebih menghargai uang dan memberi makna tinggi pada kehadiran keluarga. Dikemas dalam bentuk komedi, film drama keluarga ini menjadi tontonan yang menyegarkan sekaligus ‘menampar’ lewat kalimat-kalimat skenario yang kocak, tetapi bernas. “Begitu lihat naskahnya Joko, enggak pakai mikir lama saya langsung tertarik dengan film ini. Meski sebetulnya main film komedi itu enggak bisa dibilang mudah ya. Kalau menurut saya sih, lebih gampang bikin orang lain nangis daripada bikin orang ketawa,” kata Lukman.
Di film Orang Kaya Baru, saya terkesima melihat cara seorang laki-laki kaya dan mapan dalam mendidik tiga anaknya tentang uang, keluarga, dan cinta. Bagaimana dengan Lukman Sardi, ayah dari tiga orang anak laki-laki? “Apa yang selalu saya tekankan kepada anak-anak ialah tentang menjadi orang baik. Saya enggak menuntut mereka jadi juara kelas. Saya juga tidak menentukan profesi apa yang kelak mereka jalani. Dan mereka sendiri pula yang menentukan apa cita-cita dan pilihan hidup masing-masing. Tapi, satu yang harus anak-anak saya patuhi, mereka mesti jadi orang baik. Apa itu menjadi baik? Punya toleransi yang tinggi, selalu ingin membantu orang lain, menghormati setiap manusia tanpa kecuali, dan menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.”
Lukman tampak serius menyampaikan poin-poin tersebut. Usai ia berbicara, saya kembali teringat karakter bapak di film Orang Kaya Baru yang nyeleneh dan mengundang tawa. Keduanya mengingatkan kita pada nilai kebajikan yang sama tentang mendidik anak. Etos kerja keras, pentingnya kejujuran, memperlakukan orang dengan baik, dan bangkit dari kegagalan. Bahwa penting bagi orangtua untuk meninggalkan anak-anak yang terdidik dengan baik ketimbang sekadar meneruskan warisan harta kekayaan tanpa diiringi kebijaksanaan.
Berbincang Lukman Sardi, saya seperti dipaksa mencerna apa yang disebut tulus menjalani hidup. Yakni tidak menuntut berbagai peristiwa agar terjadi sesuai keinginan, tetapi justru membiarkan hidup agar terjadi seperti apa adanya. Bahwa sebuah jalan akan baik-baik adanya jika kita mencintai apa yang telah terjadi dan sedang terjadi.
(Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography HAKIM SATRIO; styling CHEKKA RIESCA)



