LIFE

18 November 2021

Manoj Punjabi Merevolusi dan Memajukan Perfilman Indonesia


Manoj Punjabi Merevolusi dan Memajukan Perfilman Indonesia

Menjadi bagian dari pertumbuhan industri film dan hiburan Tanah Air, Manoj Punjabi terus berlari agar tetap menjadi nomor satu merajai perfilman Indonesia.

Nama besar di dunia film dan pertelevisian Indonesia. Kendati wajahnya tidak tampil di depan layar, tapi namanya kerap muncul di akhir berbagai judul tayangan dan film. Manoj Punjabi adalah produser sekaligus pendiri MD Entertainment, salah satu perusahaan film terbesar di Indonesia yang memproduksi sinetron dan film yang beberapa kali memecahkan rekor jumlah penonton terbanyak, seperti Cinta Fitri (2007-2011), Ayat-Ayat Cinta (2008), Habibie dan Ainun (2012), dan Surga Yang Tak Dirindukan (2015). Ia juga mempelopori judul-judul film horor Indonesia yang diproduksi secara berkualitas, diantaranya yakni Danur dan Asih.

Lahir 7 Desember 1972 di Jakarta, Manoj anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Dhamoo Punjabi, merupakan salah satu produser yang ikut membangun industri hiburan di Indonesia. Tahun 1980-an, Manoj dan keluarganya pindah bermukim di Surabaya. Laki-laki ini kemudian menyelesaikan studinya di bidang Administrasi Bisnis dan Manajemen di Universitas Eropa Indonesia, Surabaya. Setelah lulus, ia menjadi karyawan di perusahaan kertas namun dipecat setelah 3 bulan bekerja. Manoj berkelana di beberapa pekerjaan sebelum akhirnya menempati posisi dalam bisnis keluarga. Atas keinginannya untuk hidup mandiri, Manoj lantas membuka toko tekstil di Plaza Indonesia. Namun ia tak bisa mengabaikan cintanya pada dunia film.

Pada 2002, Manoj Punjabi mendirikan MD Entertainment. Berawal dari sebuah ruangan kecil dengan 5 orang karyawan, MD telah berkembang dan berhasil meneguhkan posisinya sebagai pionir dalam industri perfilman. Sinetron Cinta Fitri (2002) kerap dianggap sebagai lambang keberhasilan dalam peta pertelevisian Indonesia. Manoj kemudian mengembangkan sayap ke industri perfilman (MD Pictures) dan melahirkan film Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Habibie Ainun (2012), salah dua film Indonesia dengan perolehan jumlah penonton tertinggi.

Dari kurasi tayangan televisi dan film, Manoj Punjabi bergerilya lewat sejumlah inovasi. Ia melakukan improvisasi bisnis yang kemudian melahirkan jajaran karya visual berupa sinetron, film, serial, dan animasi. Seiring dengan karya-karya yang lahir darinya, Manoj Punjabi gigih merevolusi sekaligus memajukan industri perfilman di Indonesia.

photography AGUS SANTOSO YANG
styling ISMELYA MUNTU

Ada pebisnis yang hanya sekadar berbisnis. Meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa betul-betul mencintai bidang pekerjaannya. Tidak demikian dengan Anda. Bagaimana kisah lahirnya kecintaan Anda pada dunia film?

“Sejak usia 7 tahun, saya sudah terobsesi dengan film-film James Bond yang pada akhirnya membuat saya sangat senang menonton film. Saya sangat menyukai film-film James Bond,  sampai-sampai satu film bisa ditonton berulang sampai 70-80 kali. Dari yang bentuknya VHS Betamax, laserDisc, dan kini saya menyimpan koleksinya di Blue-ray disc. Sehabis lulus kuliah tahun 1992, saya berencana masuk bisnis perfilman. Tapi kemudian dilarang oleh orangtua karena waktu itu awal 1990-an perfilman Indonesia sedang mati suri. Akhirnya saya bekerja di bidang lain. Sempat jadi karyawan di industri pulp & paper, tapi 3 bulan kerja dipecat karena kurang perform. Saya kemudian masuk ke bisnis orangtua di bidang ekspor impor, tapi tidak bertahan lama dan saya resign. Akhirnya saya mencoba bisnis tekstil. Saya beli kain, bikin desain dan jahit sendiri dipabrik, lalu jual ke toko-toko. Berjalan 2-3 tahun, bisnisnya cukup bagus dan tidak ada kerugian. Namun saya tetap tidak betah. Tahun 1995, saya memaksa ayah dan paman saya agar memberi saya kesempatan untuk masuk bisnis film. Akhirnya dikasih, tapi bukan untuk membuat sinetron. Saya menjual LaserDisc dari beberapa judul sinetron Indonesia yang tayang pada waktu itu. Sampai saya bisa membuktikan kemampuan diri, barulah saya memperoleh kesempatan membuat sinetron. Karya pertama saya sinetron Jin & Jun, di mana saya bertindak sebagai produser pelaksana. Satu tahun kemudian, saya menutup toko tekstil saya di Plaza Indonesia, kemudian fokus menekuni bisnis film.

Dalam berbisnis, profit memang penting tapi saya juga perlu memastikan bahwa saya melakukan apa yang memang saya suka. Film itu sendiri passion buat saya. Tanpa gairah dan semangat, sulit untuk kita menciptakan kesuksesan. Modal saya adalah keberanian dan keyakinan. Ibarat kuda, saya terus berlari tidak mau melirik kanan dan kiri. Menatap lurus mengejar apa yang saya yakini sebagai sebuah keberhasilan.”

Lebih dari 2 dekade berkarier, berbagai karya di bawah MD Entertainment nyaris selalu jadi pionir di industri pertelevisian. Dalam perspektif Anda, elemen apa yang harus diperhatikan untuk memajukan pertelevisian dan perfilman di Indonesia?

“Konsistensi dan kualitas. Sering kali kita masih melihat bisnis film sebatas isu perdagangan. Memang tidak ada yang salah dengan mencari keuntungan, tapi jangan melupakan aspek kreativitas dan inovasi. Selain itu, bicara soal kesuksesan industri hiburan di Korea Selatan, pemerintah setempat memberi dukungan yang luar biasa besar. Bukan soal dukungan uang, tapi promosi dan kampanye besar-besaran. Lihatlah bagaimana tayangan-tayangan Amerika, India, dan Korea Selatan, membentuk pola yang membuat banyak orang mengadopsi budaya mereka. Apabila pemerintah tidak turun tangan, maka selamanya kita mengikuti arah negara lain. Tanpa dukungan pemerintah, mustahil kita bisa memajukan industri ini. Saya mungkin bisa sukses sendiri, tapi tentu kita lebih ingin satu negara bisa berhasil. Saya menyadari, film memang bukan industri yang menghasilkan banyak uang. Anda bisa jauh lebih makmur dengan mengerjakan bisnis sawit atau tambang, ketimbang menggeluti film. Tapi satu hal yang tidak dimiliki industri lain, film punya kekuatan tersendiri. When it comes to shaping public opinion, film can be a powerful medium and movie is really a weapon. Film itu luar biasa besar kekuatannya. Memengaruhi cara berpikir, mengubah tren, dan menciptakan gaya hidup,”

Dengan besarnya dampak sebuah tayangan, pengaruh apa yang ingin Anda hasilkan dari karya-karya MD?

“Sesuatu yang positif yang punya nilai kebaikan. Kami menampilkan karakter-karakter yang berjuang dari nol, from zero to hero. Saya ingin penonton tayangan-tayangan MD terinspirasi untuk menjadi cerdas, hebat, dan sukses. Tidak ada yang salah dengan menjual mimpi karena semua orang perlu punya cita-cita, tapi kombinasikan mimpi dengan harapan dan tampilkan juga sisi realita agar penonton merasa terhubung dengan apa yang dilihatnya. Jika tayangan-tayangan MD bisa berdampak positif untuk masyarakat luas, saya mendapat doa baik dari banyak orang. Buat saya, itu kesuksesan yang luar biasa.”

Di Indonesia, sinetron sering kali menerima stigma dianggap memiliki kualitas lebih rendah dibanding film. Anda sempat bermain di dua wilayah tersebut, lalu kini meninggalkan salah satunya. Apakah langkah ini sebagai strategi Anda untuk memajukan bisnis?

“Dulu karya-karya MD juga sering dicaci maki, itu sesuatu yang tak bisa terhindarkan. Tapi soal sensor dan regulasi, kami berusaha seminim mungkin membuat kesalahan. Sebab ketika saya bikin sesuatu, saya selalu punya kesadaran untuk bertanya, tayangan ini pantas untuk siapa dan umur berapa? Saya meninggalkan sinetron lebih karena saya sekarang melihat revolusi digital telah terjadi di Indonesia. Penonton beralih ke internet untuk hiburan mereka. Saya buat My Lecture My Husband, Kisah Untuk Geri, Antares, Cinta Fitri, Teluk Alaska, Mozachiko, Layangan Putus, semuanya berkelas. Hanya 8-10 episode, maksimal 15 episode. Kami juga menjalin kemitraan dengan Disney+Hotstar, WeTV, Iflix, Viu, Netflix, Vidio, dan lainnya. Kalau mau cari duit yang banyak, memang benar di sinetron. Tapi saya melihat ke arah masa depan. Kalau kita tahu sesuatu sedang menuju terbenam, buat apa kita berada di tempat itu? Saya harus berani menuju matahari terbit, meskipun menantang tapi menyenangkan.”

Sebagai pebisnis di industri kreatif, seberapa jauh profesi ini menuntut keberanian dan menguji insting?

“Suatu waktu saat sedang berada di Amerika, saya menerima telepon dari salah satu karyawan kantor yang mengatakan ada buku judulnya Ayat-Ayat Cinta. Dia bercerita kisahnya tentang laki-laki Indonesia yang sedang bersekolah di Al-Azhar Kairo, orangnya saleh dan religius, kemudian berpoligami. Detik itu juga saya langsung bilang, ‘Ambil dan kerjakan proyek ini’. Semenjak itu, Ayat-Ayat Cinta (2005) menjadi salah satu film bersejarah dengan jumlah penonton tertinggi di Indonesia. Versi bajakannya tersebar hingga mencapai 5 juta keping. Ketika hendak membuat sesuatu, saya bisa ‘mencium baunya’. Termasuk keyakinan menjadikan Fedi Nuril sebagai satu-satunya aktor yang paling tepat untuk Ayat-Ayat Cinta.  Dan rasanya saya bisa bertahan di industri ini barangkali salah satunya karena kekuatan insting. Mengambil proyek dan memilih pemain memang kadang perlu insting. Meskipun tidak jarang juga memakai intuisinya orang lain, dalam hal ini casting director.”

photography AGUS SANTOSO YANG
styling ISMELYA MUNTU

Dengan segala pencapaian dan prestasi Anda, sebanyak apa Anda gagal?

“Tidak terhitung berapa kali rencana saya gagal berantakan. Tapi bagi saya, kegagalan adalah motivasi untuk sebuah keberhasilan. Sebab biasanya sehabis salah dan gagal, setelah itu kita benar dan berhasil. Ada kalanya saya bikin film yang tidak menguntungkan. Apa sebabnya? Bukan soal insting yang keliru, melainkan overconfidences. Saya bikin Di Bawah Lindungan Ka’Bah karena saya yakin akan mengulang kesuksesan Ayat-Ayat Cinta. Ternyata gagal, saya belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak terlalu percaya diri. Hidup saya di bisnis ibarat yoyo. Dari bawah saya naik, lalu dilempar jatuh dari atas, kemudian lompat dan bangkit. Ada satu kalimat di film Batman Begins, ‘Why do we fall Bruce? So we can learn to pick ourselves up’ yang sampai detik ini selalu menjadi filosofi hidup saya. Waktu di awal karier, saya sulit sekali mendapat kepercayaan. Tidak ada mentang-mentang keponakan dan keluarga lalu dikasih kemudahan. Namun saya bersyukur, jika dulu jalannya gampang, barangkali saya tidak terbiasa dengan kegagalan dan kesulitan. Saya tidak takut gagal, tapi saya tidak mau jadi pengecut. Saya mesti berhasil dan ketika sudah sukses, saya harus menjadi nomor satu.”

Menurut Anda, apa syarat untuk menjadi pebisnis yang andal dan tangguh?

“Ada dua hal yakni persistensi dan konsistensi. Dua-duanya formula sukses buat saya. Yang kerap kali dilupakan adalah soal persistensi atau kegigihan. Sifat mudah menyerah itu nyaris selalu menjauhkan kita dari kesuksesan. Selain juga penting bagi pebisnis untuk melakukan apa yang memang ia sukai, mencintai bidang yang dijalani. Pada posisi saya saat ini, tentu lebih mudah di tempat dan bidang lain jika saya mau mencari uang sebanyak-banyaknya. Namun saya cinta dengan dunia perfilman. Dan dunia hiburan harus dilihat dari perspektif yang lebar. Jangan melihatnya hanya dari satu cara pandang. Ada 280 juta jiwa penduduk di Indonesia. Jumlah penduduk sedemikian banyak itu sebuah potensi. Dan satu hal yang tidak bakal mati yakni industri hiburan. Ada atau tidak ada bioskop, punya atau tidak punya televisi, ada atau tidak ada platform streaming, yang pasti adalah orang-orang akan selalu butuh hiburan. Dan orang akan selalu mencari cara untuk menonton di medium apa pun di mana pun mereka berada.”  

In your position now, what’s the most challenging part of being a businessman?

“Maintaining my position. Ketika kita sudah berada di atas, tentu kita tidak ingin belok dan jatuh. Kita mau terus-menerus naik. Sedangkan makin tinggi kita naik, maka makin berat beban yang dipikul. Makin tinggi posisi keberadaan kita, makin besar dan berat pula tantangannya. Well climbing is really hard. Dari titik nol, sulit sekali untuk naik. Seperti yang saya alami sewaktu mengawali diri masuk industri film. Saya ingat betul bagaimana sulitnya memperoleh kepercayaan. Saya harus membuktikan kemampuan diri sendiri. Tidak ada nepotisme, mentang-mentang keponakan dan keluarga lalu dimudahkan jalannya.”

Ada sebuah anekdot, “Generasi pertama merintis, generasi kedua mengembangkan dan meneruskan, generasi ketiga menghancurkan” yang konon sering menghantui pebisnis atau perusahaan keluarga di Indonesia. Bagaimana Anda menerapkan nilai dan didikan kepada anak-anak Anda?

“Menarik dan ada benarnya anekdot itu. Saya sendiri selalu bilang kepada anak-anak saya, ‘Kecuali kalian memohon dengan sungguh-sungguh, saya tidak akan kasih posisi ke kalian’. Tapi saya juga tahu, sampai detik ini mereka tidak tertarik masuk bisnis film. Namun yang membuat saya terharu, walau mereka tidak tertarik dengan bidangnya tapi mereka mengagumi dan mencontoh work ethics saya. Dan yang paling bikin saya kagum sekaligus bangga, ketiga anak saya jauh bisa lebih menghargai uang ketimbang saya. Saya adalah orang yang cenderung paling boros dibanding istri dan anak-anak saya. Sedangkan mereka jauh lebih berhati-hati dalam menghabiskan uang. Dan kepada dua anak perempuan saya, saya selalu menekankan tentang pentingnya menjadi perempuan baik sekaligus perempuan pintar. Tidak cukup sekadar baik tanpa punya kepintaran. Dan hanya pintar tapi tidak baik juga berbahaya. Mengombinasikan keduanya adalah kunci untuk menjalani hidup.”

How do you want to be remembered?

“Saya ingin apa yang saya lakukan bisa menjaga nama baik keluarga. Saya juga ingin MD Entertainment bisa berkontribusi secara positif dan signifikan untuk kemajuan Indonesia. Well I hope I can do more. Saya ingin menginspirasi banyak orang sekaligus ikut memajukan perekonomian Indonesia dan membuat negara ini menjadi semakin membanggakan lewat film-film dan tayangan-tayangan yang berkualitas.”