LIFE

8 September 2025

Maria Moe Soge Membangun Wirausaha Hijau yang Berakar Pada Kemandirian Desa


Maria Moe Soge Membangun Wirausaha Hijau yang Berakar Pada Kemandirian Desa

photo DOC. Maria Moe Soge

Di sebuah desa desa kecil bernama Hewa, di kaki Gunung Lewotobi, Flores Timur yang sunyi, seorang perempuan muda memilih berjalan melawan arus zaman. Maria Mone Soge, atau yang akrab disapa Shindy, meninggalkan ruang kelas tempatnya mengajar matematika selama sembilan tahun. Ia memutuskan kembali ke tanah, ke benih, dan ke akar budaya yang perlahan terpinggirkan. Di saat dunia berlomba mengejar modernitas dan kemudahan, Shindy justru memeluk tradisi dan keanekaragaman hayati sebagai jalan hidup. Keputusan itu bukan sekadar soal profesi, melainkan soal makna—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita memberi makan di masa depan dengan lebih bijaksana.

Di Flores Timur, seperti di banyak wilayah lain di Indonesia, pangan lokal dahulu merupakan jantung kehidupan. Jagung, jewawut, pisang, singkong, dan aneka umbi-umbian adalah sumber karbohidrat yang dulu mendefinisikan isi piring keluarga desa. Namun, seiring berjalannya waktu, pola konsumsi masyarakat bergeser. Ketergantungan terhadap beras dan pangan impor meningkat, seiring dengan menjamurnya program bantuan yang tidak mengindahkan kekayaan hayati setempat. Alih-alih menjadi solusi, bantuan pangan justru memperdalam keterputusan antara masyarakat dan warisan kuliner leluhur mereka. Bagi Shindy, ini bukan hanya soal kehilangan cita rasa, tapi juga hilangnya relasi manusia dengan tanah, budaya, dan jati dirinya sendiri.

Kisah Shindy adalah kisah tentang kedaulatan—tentang bagaimana sebuah komunitas bisa bangkit dan berdiri di atas kaki sendiri. Bersama Komunitas Wetan Helero, ia dan puluhan petani muda, mayoritas perempuan, menjalankan kerja sunyi yang penuh makna: menelusuri kembali benih-benih pangan lokal, membudidayakan padi ladang, jagung, hingga jewawut, serta mengolah hasil panen menjadi produk bernilai ekonomi yang dijual di pasar lokal maupun dipromosikan melalui media sosial. Wetan, nama lokal untuk jewawut, bukan sekadar tanaman, tetapi lambang perlawanan terhadap homogenisasi pangan sekaligus penanda identitas dan rasa yang hendak dipulihkan.

Bukan perkara mudah menjadi petani di era ini terlebih sebagai perempuan muda. Pandangan bahwa bertani adalah pekerjaan berat, kotor, dan tidak menguntungkan masih melekat kuat. Namun bagi Shindy, menjadi petani justru membuka ruang untuk berdaulat atas waktu, keputusan, dan masa depan. Ia tidak hanya menanam sayur di pekarangan rumahnya, tetapi juga menanam harapan di hati para tetangga dan murid-muridnya. Murid yang datang terlambat tak ia hukum dengan kemarahan, melainkan dengan tugas merawat tanaman di pekarangan sekolah. Di sela pelajaran matematika, ia menyisipkan edukasi tentang pentingnya pangan lokal. Di posyandu, ia menggugat logika menu bantuan yang hanya mengenal ayam beku dan wortel impor, padahal desanya memiliki ayam kampung, ikan segar, dan kelor—lebih bergizi, lebih dekat, dan lebih masuk akal.

Kedaulatan pangan, bagi Shindy, bukan hanya tentang swasembada, tapi tentang kemandirian dan keberlanjutan. Di tengah dunia yang kian terancam oleh krisis iklim, kepunahan biodiversitas, dan jurang ketimpangan ekonomi; gerakan akar rumput seperti yang dibangun Shindy dan komunitasnya menjadi harapan nyata. Dari ladang kecil yang ia kelola secara organik, ia menunjukkan bahwa bertani tidak harus merusak alam demi produksi, dan bahwa perempuan bisa menjadi garda terdepan dalam menjaga Bumi, sambil memberi makan komunitasnya sendiri. Maria Mone Soge, lahir di Hewa pada 8 Oktober 1989, adalah lulusan Universitas Flores jurusan Pendidikan Matematika. Kini, ia dikenal bukan sebagai mantan guru, tetapi sebagai penggerak pangan lokal dan simbol perempuan petani muda yang memilih jalan pulang untuk membangun masa depan.

Apa yang menjadi titik balik dalam hidup Anda hingga memutuskan meninggalkan profesi sebagai guru dan menjadi petani?

“Awalnya, saya mengajar selama sembilan tahun. Menjadi guru adalah cita-cita orangtua saya, dan saya pun bangga menjalaninya. Tapi ketika saya terlibat sebagai local champion dari Koalisi Pangan BAIK (Beragam, Adaptif, Inklusi, dan Kokreasi), perspektif saya berubah. Kami mulai memetakan potensi di desa kami yakni lahan tidur yang luas, keberagaman pangan lokal yang tak dimanfaatkan, dan masyarakat yang kian tergantung pada bantuan pangan impor. Saya merasa, jika tak ada yang bergerak, kami akan benar-benar kehilangan pengetahuan leluhur, peluang ekonomi, bahkan hubungan spiritual dengan tanah sendiri. Maka saya memutuskan berhenti mengajar, dan memilih bertani sebagai jalan pengabdian.”

Apa tantangan terbesar yang dihadapi petani lokal di Flores Timur?

“Perubahan iklim sangat memengaruhi kami. Musim tanam menjadi tidak menentu, membuat prediksi tanam jadi keliru dan berdampak pada gagal panen. Selain itu, minimnya akses terhadap teknologi dan modal membuat pekerjaan petani semakin berat. Alat pertanian kami masih tradisional, dan pengetahuan masyarakat soal pertanian berkelanjutan sangat terbatas. Belum lagi kebijakan pangan yang sering kali tidak berpihak pada petani lokal di mana anggaran untuk ketahanan pangan ada, tapi tidak tersentuh oleh masyarakat di desa.”

Seperti apa proses Komunitas Wetan Hewa Lewo Rotan dalam mengumpulkan benih dan membudidayakannya kembali?

“Kami mulai dengan pemetaan dengan mengenali kembali jenis-jenis pangan lokal yang dulu pernah dibudidayakan. Misalnya, kami menemukan ada 17 jenis padi ladang di masa lalu, tetapi sebagian besar telah punah di lahan kami. Kami mencari tahu ke desa-desa pesisir, bertukar cerita, bahkan barter benih, seperti nenek moyang kami dahulu. Setelah berhasil menanam dan panen, kami mulai mengolah hasilnya dengan membuat keripik, kolak, hingga jewawut yang dikemas agar langsung bisa dimasak. Produk-produk ini dijual secara lokal dan dipromosikan melalui media sosial. Usaha ini kami sebut wirausaha hijau karena tak hanya mengejar omzet, tapi juga menyeimbangkan nilai ekonomi, ekologi, dan sosial budaya.”

Apa pelajaran penting dari bekerja bersama perempuan muda dalam komunitas ini?

“Kami percaya bahwa warisan pengetahuan nenek moyang harus dilestarikan, tapi juga harus relevan dengan zaman. Para perempuan muda di komunitas kami menjadi ujung tombak pelestarian ini. Mereka belajar, bertani, memasarkan produk, dan mengolah hasil panen. Kami tidak hanya menanam pangan, tapi juga menanam kebanggaan. Kami melatih mereka agar tidak hanya bertani, tapi juga memahami nilai dari apa yang mereka tanam—bahwa ini tentang gizi, budaya, dan masa depan.”

Apa harapan Anda untuk masa depan pertanian lokal dan generasi muda?

“Saya membayangkan satu masa ketika masyarakat tidak lagi bergantung pada pangan impor, ketika anak-anak desa bangga makan hasil kebunnya sendiri. Saya ingin semakin banyak generasi muda menyadari bahwa bertani bukan pilihan terakhir, tapi jalan yang mulia dan menjanjikan. Kedaulatan pangan bukan mimpi, tapi pilihan yang bisa kita wujudkan asal ada kemauan untuk kembali ke tanah, dan merawatnya dengan hati.”

Bagaimana Anda melihat keterkaitan antara pangan lokal, kesehatan masyarakat, dan isu stunting yang masih tinggi di desa-desa seperti Hewa?

“Isu stunting bukan semata soal gizi buruk, tapi juga tentang ketimpangan akses dan pengetahuan. Banyak keluarga petani justru tidak mengonsumsi hasil kebun mereka sendiri. Ironisnya, mereka menghasilkan pangan, tapi anak-anak mereka mengalami kekurangan gizi karena lebih sering makan mi instan, telur, atau makanan pabrikan yang cepat saji. Padahal di sekitar mereka ada kelor, pisang, labu, ikan segar, dan ayam kampung. Sayangnya, intervensi dari luar sering kali tidak menyesuaikan dengan potensi lokal. Di posyandu misalnya, bantuan makanan tambahan yang disalurkan sering kali berbasis menu standar nasional—pakai wortel, tahu, ayam beku—padahal bahan itu tidak tumbuh di sini dan harus dibeli. Saya terus mendorong agar warga kembali memanfaatkan pekarangan, menanam sayur sendiri, dan memasak dari bahan lokal. Saya percaya, kedaulatan pangan dimulai dari dapur rumah tangga.”

Sebagai perempuan, bagaimana Anda melihat peran dan tantangan perempuan petani dalam membangun kedaulatan pangan?

“Perempuan adalah tulang punggung pertanian, terutama di desa-desa. Mereka menanam, memanen, memasak, sekaligus menjaga tradisi dan resep-resep leluhur. Tapi peran mereka sering kali dianggap remeh atau tidak dihitung dalam sistem ekonomi formal. Di komunitas kami, saya melihat bagaimana perempuan muda justru menjadi agen perubahan yang paling progresif—berani mencoba, berani gagal, dan berani bicara. Mereka membawa nilai baru: bahwa pertanian bukan soal bekerja di lumpur saja, tapi tentang inovasi, edukasi, dan regenerasi. Tantangannya, tentu banyak. Perempuan masih dibatasi oleh peran domestik, akses pendidikan yang minim, dan beban ganda. Tapi saya percaya, ketika perempuan diberi ruang, pangan lokal akan kembali dihargai, dan kemandirian desa bisa lebih cepat terwujud.”

Kepada generasi muda Indonesia hari ini, apa yang ingin Anda sampaikan?

“Saya ingin bilang: jangan pernah anggap remeh hal-hal yang tumbuh di sekitar Anda—apa yang Anda makan, apa yang Anda tanam, dan nilai-nilai yang diwariskan leluhur Anda. Dunia terus berubah, tapi kita tidak boleh kehilangan arah. Generasi muda hari ini memegang kekuatan besar untuk menciptakan perubahan, tapi perubahan itu tidak selalu harus datang dari kota besar atau panggung yang gemerlap. Kadang, revolusi dimulai dari ladang kecil, dari secangkir jagung titi, dari keberanian memilih jalan yang sunyi namun bermakna. Kalau kita mau melihat ke dalam, ke akar, dan ke tanah yang kita injak, kita akan menemukan bahwa masa depan itu bisa dibangun dari hal yang paling sederhana—dan paling jujur.”