LIFE

13 Mei 2025

Marthella Sirait Mengubah Paradigma Disabilitas dan Membangun Ekosistem Inklusif


PHOTOGRAPHY BY doc. Marthella Sirait

Marthella Sirait Mengubah Paradigma Disabilitas dan Membangun Ekosistem Inklusif

MARTHELLA RIVERA ROIDATUA SIRAIT, S.IP., MA. (Founder KONEKIN, Disability Equality Training (DET) Facilitator, Inclusive Practitioner)

Dalam lanskap aktivisme sosial di Indonesia, nama Marthella Rivera Roidatua Sirait bersinar sebagai sosok yang berkomitmen dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Sejak usia muda, ia telah menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap isu-isu keadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan aksesibilitas dan inklusivitas. Dengan latar belakang akademik yang kuat serta pengalaman luas dalam advokasi, Marthella menjadi suara yang tegas dalam memperjuangkan perubahan.

Perjalanan Marthella dalam aktivisme berawal dari pengalaman pribadinya yang menyadari ketimpangan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga kesempatan kerja. Ia melihat bagaimana masyarakat sering kali memandang disabilitas sebagai keterbatasan, bukan keberagaman yang perlu didukung. Kesadaran ini mendorongnya untuk terlibat lebih dalam dalam gerakan sosial yang berfokus pada hak-hak disabilitas. Sebagai seorang aktivis, Marthella aktif dalam berbagai organisasi yang berupaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif. Ia sering kali berada di garis depan dalam diskusi kebijakan, bekerja sama dengan pemerintah, sektor swasta, dan komunitas untuk menciptakan solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas. Dengan pendekatan berbasis data dan perspektif yang humanis, ia berusaha mengubah paradigma dan menciptakan sistem yang lebih adil. Tidak hanya dalam ruang kebijakan, Marthella juga aktif dalam membangun kesadaran publik melalui berbagai media. Ia menggunakan platform digital untuk menyuarakan isu-isu penting, berbagi kisah inspiratif, serta mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya inklusivitas. Baginya, perubahan sosial tidak hanya bisa terjadi di ruang legislatif, tetapi juga dalam pola pikir masyarakat secara luas.

Dengan rekam jejak lebih dari tujuh tahun dalam advokasi, pelatihan, dan pemberdayaan disabilitas, Marthella telah mendedikasikan hidupnya untuk menciptakan ekosistem yang lebih adil bagi penyandang disabilitas. Melalui Koneksi Indonesia Inklusif (KONEKIN), platform yang ia dirikan pada 2018, ia menggandeng berbagai pemangku kepentingan guna membuka akses yang lebih luas bagi komunitas disabilitas. Salah satu gebrakan Konekin adalah Pesta Inklusif, ajang tahunan yang sejak 2019 telah menjadi ruang perayaan sekaligus edukasi tentang keberagaman dan hak-hak penyandang disabilitas.

Dorongan Marthella untuk bergerak di bidang ini berawal dari pengalaman personalnya di Desa Adodo Molu, Kepulauan Tanimbar, Maluku. Saat menjadi pengajar muda dalam program Indonesia Mengajar, ia bertemu tiga anak dengan spektrum disabilitas yang menghadapi tantangan besar dalam mengakses pendidikan. Tidak ada guru khusus, tidak ada metode pembelajaran yang sesuai, bahkan pemahaman komunitas terhadap mereka pun minim. Pengalaman ini menjadi titik balik bagi Marthella. Ia menyadari bahwa perubahan tidak bisa terjadi tanpa adanya kesadaran kolektif dan sistem yang mendukung. Kesadaran itu membawanya melanjutkan pendidikan ke jenjang master di University of Birmingham dengan spesialisasi Policy into Practice. Di sana, ia mendalami kebijakan inklusif dengan perspektif lebih luas. Tesisnya, yang membahas jaminan ketenagakerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia, kini menjadi salah satu rujukan bagi Kementerian Ketenagakerjaan dalam menyusun kebijakan ketenagakerjaan inklusif. Marthella tidak hanya memahami teori, tetapi juga mempraktikkannya dalam advokasi nyata.

Sekembalinya ke Indonesia pada 2017, ia terlibat dalam penyusunan Peraturan Pemerintah 70/2019 yang mengatur penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Ia juga menjadi fasilitator bersertifikat dalam Disability Equality Training (DET), menginisiasi pelatihan kesadaran disabilitas bagi pejabat pemerintah dan sektor swasta. Keputusannya untuk meninggalkan karier sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Desa PDTT demi fokus membangun KONEKIN bukanlah keputusan yang mudah, tetapi ia yakin bahwa dampaknya akan lebih besar jika ia bergerak secara independen. KONEKIN kini berkembang menjadi platform inklusif yang tidak hanya menyediakan edukasi, tetapi juga mendorong pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas. Berbagai program seperti Kongkow Inklusif dan Bersiap dirancang untuk meningkatkan pemahaman publik serta memberikan pelatihan keterampilan kerja bagi komunitas disabilitas. Kolaborasi dengan APINDO dan perusahaan-perusahaan besar membuktikan bahwa inklusivitas bukan sekadar wacana, tetapi bisa diterapkan dalam dunia kerja. Melalui berbagai inisiatif ini, Marthella ingin menunjukkan bahwa inklusivitas bukanlah belas kasihan, melainkan keharusan.

Pada 2024, Pesta Inklusi yang digelar KONEKIN semakin besar, menghadirkan diskusi lintas sektor mengenai ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan yang berkaitan dengan disabilitas. Marthella juga mendapatkan hibah IVLP Impact Awards, yang memungkinkannya mengadakan lokakarya kesadaran disabilitas untuk 30 perusahaan. Ia percaya bahwa perubahan sistemik harus dimulai dari kesadaran individu hingga kebijakan nasional. Di tengah tantangan yang ada, Marthella tetap optimis bahwa Indonesia dapat menjadi negara yang lebih inklusif bagi penyandang disabilitas. Baginya, kunci utama adalah kolaborasi lintas sektor dan keberlanjutan dalam upaya advokasi. Dengan dedikasi dan semangat yang tak tergoyahkan, ia terus berjuang agar hak-hak penyandang disabilitas tidak hanya diakui, tetapi juga benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.


 

Bagaimana pengalaman di Indonesia Mengajar mengubah cara pandang Anda tentang inklusivitas?
“Awalnya, saya berpikir bahwa yang bisa bicara tentang disabilitas hanyalah penyandang disabilitas sendiri. Namun, saya kemudian menyadari bahwa justru kelompok nondisabilitas yang harus lebih memahami isu ini. Dari sekitar 8,5% populasi penyandang disabilitas, sisanya adalah nondisabilitas yang berperan besar dalam menciptakan aksesibilitas. Jika hanya mengandalkan komunitas disabilitas untuk beradvokasi, suara mereka akan terlalu kecil. Maka, saya ingin mengajak lebih banyak orang untuk peduli. Selain itu, semua manusia pada akhirnya akan mengalami disabilitas seiring bertambahnya usia—penglihatan yang melemah, pendengaran yang menurun. Perjuangan ini bukan hanya tentang mereka, tapi juga tentang kita semua.”

Apa yang bisa dilakukan individu nondisabilitas agar lebih inklusif dalam keseharian?
“Kesadaran bisa dimulai dari hal sederhana: memahami bahwa kursi prioritas di transportasi umum bukan sekadar hiasan, guiding block kuning di trotoar bukan dekorasi, dan subtitle dalam video bukan hanya untuk hiburan. Semua itu adalah fasilitas aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Sebagai komunitas, kami di Konekin juga sering menggunakan ruang publik untuk menyuarakan isu ini. Tahun 2019, misalnya, kami menggelar diskusi terbuka di M Bloc Space, mengajak masyarakat untuk mendengar langsung cerita teman-teman disabilitas. Membangun kesadaran kolektif adalah langkah pertama menuju inklusivitas yang nyata.”

Apa tantangan terbesar dalam advokasi inklusivitas di Indonesia?
“Salah satu tantangan utama adalah kebijakan yang belum sepenuhnya implementatif. Banyak regulasi yang mendukung inklusivitas, tetapi penerapannya masih minim. Misalnya, kewajiban perusahaan untuk mempekerjakan minimal 1% penyandang disabilitas dari total karyawan sering kali hanya menjadi angka di atas kertas. Selain itu, stigma sosial juga masih menjadi hambatan besar. Banyak yang masih melihat disabilitas sebagai ketidakmampuan, bukan keberagaman. Kami di Konekin terus berusaha mengubah paradigma ini dengan edukasi dan pemberdayaan.”

Bagaimana Anda melihat peran pemerintah dan sektor swasta dalam mendukung inklusivitas?
“Pemerintah memiliki peran kunci dalam menciptakan regulasi yang mendukung hak-hak penyandang disabilitas. Sementara itu, sektor swasta juga harus lebih proaktif dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, mulai dari perekrutan hingga aksesibilitas di tempat kerja. Kolaborasi antara kedua sektor ini sangat penting untuk mencapai perubahan yang berkelanjutan. Sektor swasta memiliki peran strategis, terutama dalam membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Salah satu program kami, Bersiap, berfokus pada pelatihan kerja dan telah berhasil menempatkan peserta di perusahaan-perusahaan seperti Unilever, Bank DBS, dan Godrej. Kesadaran akan inklusivitas dalam dunia kerja perlu terus didorong. Saya percaya, semakin banyak perusahaan yang melihat nilai dari keberagaman ini, semakin cepat kita bisa mewujudkan ekosistem yang lebih inklusif.”

Apa harapan Anda untuk masa depan inklusivitas di Indonesia?
“Saya berharap inklusivitas bukan lagi menjadi pilihan, melainkan kebiasaan dan budaya yang tertanam dalam setiap aspek kehidupan. Pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga kebijakan negara harus benar-benar mencerminkan semangat keberagaman ini. Saya juga ingin melihat lebih banyak penyandang disabilitas menduduki posisi strategis di berbagai sektor, karena perubahan yang berkelanjutan harus datang dari mereka yang mengalami langsung tantangannya. Saya percaya, Indonesia bisa menjadi negara yang benar-benar inklusif jika kita bergerak bersama.”

Seberapa penting peran media dalam membentuk narasi tentang penyandang disabilitas, dan apa kritik Anda terhadap pemberitaan media saat ini?
“Media memegang peran krusial dalam membentuk persepsi publik dan meningkatkan kesadaran tentang berbagai isu, termasuk disabilitas. Saat ini, meskipun pemberitaan telah berkembang ke arah yang lebih inklusif, masih banyak media yang cenderung menyoroti disabilitas dari sudut pandang charity atau belas kasihan, alih-alih menampilkan penyandang disabilitas sebagai individu yang berdaya dan setara. Narasi semacam ini secara tidak langsung menanamkan anggapan bahwa disabilitas identik dengan kelemahan dan ketergantungan, bukan dengan potensi dan kontribusi. Jika media terus-menerus menggambarkan penyandang disabilitas hanya sebagai penerima bantuan, publik akan semakin terbiasa dengan pola pikir bahwa mereka semata-mata membutuhkan pertolongan, bukan kesempatan untuk berkembang. Padahal, peran media seharusnya lebih dari sekadar mengangkat kisah keterbatasan—media juga perlu menyoroti inisiatif-inisiatif positif, seperti perusahaan yang menerapkan kebijakan inklusif atau institusi pendidikan yang menyediakan akses setara bagi mahasiswa disabilitas. Ketika penyandang disabilitas diberi kesempatan bekerja secara layak, mereka dapat menjadi aset berharga bagi perusahaan. Begitu pula dalam dunia pendidikan—dengan aksesibilitas yang memadai, mahasiswa disabilitas dapat berkembang dan menjadi sumber daya manusia yang kompeten. Oleh karena itu, penting bagi media untuk memperbanyak pemberitaan tentang langkah-langkah progresif dan pencapaian nyata dalam gerakan inklusivitas. Jika kisah-kisah kecil yang menunjukkan kemajuan tidak dipublikasikan, ada risiko bahwa gerakan ini akan berjalan di tempat dan tetap eksklusif, padahal setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian dari perubahan besar menuju kesetaraan.”