LIFE

17 Februari 2022

Marthino Lio Merefleksi Jati Diri Lewat Setiap Peran


Marthino Lio Merefleksi Jati Diri Lewat Setiap Peran

Di balik setiap kisah keberhasilan selalu ada narasi kerja keras dan perjuangan menaklukkan segala tantangan. Marthino Lio bercerita tentang pergumulannya merangkul kebahagiaan hingga bagaimana seni peran membebaskan hidupnya.

Profesi keaktoran menyandang sebuah privilese bagi para pelakunya untuk berkesempatan ‘mencicipi’ hidup orang lain. Melalui karakternya, seorang pemeran dapat mengecap kejayaan di barisan pemenang hingga menyelami getir dunia mereka yang terpinggirkan dan tertindas oleh ketidakadilan sistem kehidupan. Hampir semua aktor yang pernah saya ajak bicara menyetujuinya—meski pelafalannya diiringi analogi berbeda-beda. Namun ketika bertemu Marthino Lio, saya mendapatkan tafsiran seni peran yang jauh lebih personal. Marthino Lio tidak sekadar mengenakan sepatu orang lain saat sedang berperan. Ia sekaligus menapak tilas hidupnya sendiri. Saya menyimpulkannya demikian sebagaimana ia baru saja mengutarakannya. “Setiap menerima tawaran akting—terlepas dari naskahnya yang kuat—saya kerap menemukan, well, terkadang juga secara sengaja mencari kedekatan emosional antara karakter yang bakal saya perankan dengan diri sendiri,” kata Lio (begitu ia menyebut dirinya sewaktu berkenalan) sembari menyeruput kopi di meja hadapannya. Itu adalah gelas kedua yang ia minum sebelum bersantap siang.

Ia menyambung, “Ketika berdiri di depan kamera, itu adalah momen seorang aktor harus bersikap jujur. Sebab pada hakikatnya berperan merupakan tentang ketulusan.” Samuel Goldwyn pernah berucap, bahwasanya seseorang dapat menjadi aktor setelah ia mampu belajar memalsukan kejujuran, karena itu adalah hal terpenting dalam akting. Tapi alih-alih bersandiwara, Lio memilih untuk menyiratkan keterbukaan. “Berperan selayaknya remedi bagi saya. Masing-masing karakter menawarkan ruang bersandar di mana saya bisa mencurahkan seluruh perasaan dalam diri yang menuntun pada pembebasan hati. Selesai syuting, ada suatu perasaan lega yang saya rasakan; seolah beban yang memberatkan pundak terangkat, dan itu bukan karena pekerjaan yang akhirnya tuntas,” ujarnya. Saya menemui pemeran utama film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas itu di penghujung tahun 2021 silam. Di tengah kesibukan syuting proyek terbarunya bersama sutradara Timo Tjahjanto, The Big Four, Lio meluangkan waktunya untuk berkisah tentang kiprahnya memaknai panggung sinema Indonesia yang telah melampaui satu dekade.

Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man
Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man photography Hilarius Jason styling Ismelya Muntu makeup Tannya Tirmidzi

Menjadi aktor sesungguhnya bukan cita- cita lelaki kelahiran Surabaya, 26 Januari 1989 itu. Lio kecil pernah memimpikan dirinya berseragam militer. “Lebih tepatnya, marinir. Saya selalu mengagumi konsep persaudaraan di luar keluarga, seperti yang dijunjung tentara. Menurut saya, saat sekumpulan orang yang tidak memiliki hubungan darah berikrar untuk menjadi sebuah kesatuan dan ada bagi satu sama lain, itu sama dengan cinta,” ungkapnya. Lalu apa yang menghentikannya? “Restu orangtua,” jawab Lio lugas. Saya tersenyum. Jika pernah berada di situasi serupa, maka Anda dapat memahami bahwa adakalanya seorang anak harus berkompromi dengan harapan orangtua, dan tidak selalu menang.

Merelakan sebuah impian cukup membuat semangat mudanya meredup. Tetapi Lio memutuskan untuk tidak berlama-lama terjerumus rasa kecil hati, dan mulai menata asa baru. Animo yang begitu mengambil alih atensinya ialah seni peran. “Meski dulu tidak berpikir ingin menjadi aktor, sejak kecil saya selalu memiliki passion tersendiri terhadap seni; terutama peran. Setiap kali nonton film, saya menyadari betapa akting menggenggam power yang begitu besar, yang dapat memengaruhi pemikiran orang yang menontonnya. Dan saya berharap mempunyai power tersebut. Saya ingin mampu menginspirasi orang lain,” ceritanya dalam membuka jalan hidup sebagai seniman. Adalah gagasan sang ibu yang kemudian mengawali langkah Lio mewujudkan hasrat seninya dari ajang pencarian bakat. Tahun 2004, ia mengikuti pemilihan Model Indonesia. Wajahnya turut menghiasi sampul majalah remaja kala itu, sebelum beranjak menginjak layar televisi, dan akhirnya mendapat peluang berperan di layar lebar untuk pertama kalinya pada 2009.

Kendati sejenak melirik ranah musik, bahkan membangun sebuah band—yang kini telah bubar—di mana ia menjadi vokalisnya, hasrat Lio pada seni peran terlalu besar untuk selamanya ia duakan. “Tolong jangan tanya apa nama band-nya, hahaha!” Lio tergelak, “Ketika itu saya sedang melalui sebuah fase yang membuat saya merasa tidak yakin jika eksistensi saya dibutuhkan oleh industri perfilman,” tutur laki-laki yang dahulu kerap memperkaya diri dengan berlatih sinematografi dari mahasiswa Institut Kesenian Jakarta itu. “Tidak ada penyesalan atas keterlibatan saya dengan dunia musik. Saya selalu mencintai dan menikmati bermusik. Bahkan, jalan saya menuju ranah perfilman justru terbuka semakin lebar berkat musik.” Yang ia bicarakan adalah momen duetnya bersama Melly Goeslaw untuk lagu Ratusan Purnama, soundtrack film Ada Apa dengan Cinta? 2, pada 2016.

Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man photography Hilarius Jason styling Ismelya Muntu makeup Tannya Tirmidzi

Talenta berperan Lio mulai banyak dibicarakan tatkala ia terlibat proyek biopik Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta (2018). Berbagai ajang penghargaan film Indonesia menominasikannya sebagai aktor pendukung terbaik. Pemeran Raden Mas Rangsang itu pun meneguhkan kredibilitasnya dengan memenangkan Piala Maya 2019.

Lio telah bertransisi. Dari membintangi lima judul film sepanjang windu, kini ia merilis lima judul film—plus dua serial web populer—hanya dalam kurun 2021. Satu di antaranya ialah Kadet 1947, di mana ia memerankan seorang taruna sekolah penerbangan Angkatan Udara yang turun ke medan perang dalam upaya melindungi kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda. Saya menggodanya dengan berkata bahwa impiannya semasa kecil akhirnya tercapai. Lio tertawa, “Menjadi Bambang Saptoadji (tokoh yang ia perankan) benar-benar memulihkan patah hati masa kecil karena melepaskan cita-cita yang telah saya ikhlaskan.” Ini adalah contoh tapak tilas yang membuat seni peran bersifat personal untuk Lio. Di titik ini, naluri saya pun terdorong mengulik cerita di balik karakter perannya yang lain.

Sebagai Ajo Kawir (tokoh utama film Seperti DendamRindu Harus Di Bayar Tuntas besutan Edwin), Lio menjelmakan pemuda impoten yang menggunakan kekerasan sebagai tameng maskulinitas dan demi bertahan hidup di dunia yang mengglorifikasi supremasi kejantanan laki- laki. Jika setiap karakter memiliki kedekatan emosional sebagaimana pengutaraannya membuka pembahasan kami; saya terusik untuk mengetahui perihal yang membuat jiwa maskulin Lio impoten (baca: tak berdaya). “Seumur hidup saya banyak bersinggungan dengan power; dari sistem kemasyarakatan atau pun orang-orang yang merasa berkuasa atas hidup orang lain,” kata Lio.

Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man
Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man photography Hilarius Jason styling Ismelya Muntu makeup Tannya Tirmidzi

Apakah ia diintimidasi? Kali ini Lio tidak menjawab secara gamblang, melainkan aliran narasi meliputi dominasi power dalam hidupnya. Lahir dari orangtua yang berpisah sejak Lio balita, ia dibesarkan oleh figur kuat sang ibu yang merupakan penyintas kekerasan rumah tangga. Tumbuh besar, kegelisahan menjejaki alur leluhur membayangi Lio. “Begitu mencurahkan energi pada rasa takut akan suatu kemungkinan yang belum tentu terjadi, tanpa disadari kita malah bergerak menuju ketakutan itu. Kita enggak bakal mengetahuinya sampai kemudian menengok ke belakang,” laki-laki yang sedang berbahagia menanti kelahiran putri pertama dari pernikahan keduanya bersama Delia Husein itu berujar tenang. “Barangkali tangan saya tidak, dan tidak akan sampai menyentuh kulit seseorang— sebab saya tahu itu menyakitkan—tapi bersikap acuh juga tak lebih baik. Pada akhirnya, keresahan saya berhasil menaklukkan pernikahan pertama saya.”

Benak saya seketika teringat pada tokoh Djarot dalam Losmen Bu Broto. Saya terdiam seiring jeda tarikan napas si pemerannya. Lio seolah menangkap raut keraguan di wajah saya untuk meneruskan topik ini. “It’s okay. Kesalahan manusia adalah bagian dari pengalaman hidup yang membuat kita bejalar menjadi individu yang lebih baik. Ketimbang menyalurkan energi pada rasa bersalah, malu, atau— kembali lagi—takut sejarah terulang, lebih baik fokus pada pemikiran dan kepercayaan akan kemungkinan yang sifatnya positif,” katanya.

Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man
Marthino Lio for ELLE Indonesia February 2022 ELLE Man photography Hilarius Jason styling Ismelya Muntu makeup Tannya Tirmidzi

Di episode lain riwayat hidup Lio, power membelenggu daya berkiprah sang aktor. “Saya adalah sosok yang mana akan disapa tanpa diingat namanya,” ia mengawali cerita dalam suatu reka raga jenaka, “It’s truehahaha! Sering kali saya menerima perlakuan itu.” Suatu waktu di sebuah premier film, seseorang menghampirinya untuk permintaan foto bersama, “Kemudian setelah berfoto, ia bertanya nama saya,” kenangnya memecahkan tawa. “Begini, saya bukanlah figur sang pilihan utama. I’m an underdog, yang tidak jarang dipandang sebelah mata di tiap kompetisi,” kata Marthino Lio, aktor yang telah berkontribusi mengharumkan wajah sinema Indonesia di kancah internasional lewat kemenangan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas meraih piala Golden Leopard di Locarno Film Festival 2021.

Tumbang dalam audisi, kehilangan peran karena dicurangi otoritas dan “tergulung algoritma” dunia maya, pernah menjadi makanannya. Namun satu hal yang Lio pelajari selama 12 tahun bergelut di industri perfilman: mengutuki keadaan hanya membuang energi sia-sia. “Saya lebih memilih mengubah rasa sakit tersebut menjadi bahan bakar semangat untuk terus melaju,” ujarnya. Anda tahu apa yang berkorelasi dengan impresi underdog? Elemen kejutan yang menguntungkan.

“Hal terbaik dari menjadi underdog ialah tidak ada yang benar-benar mengawasi gerak Anda. Dengan begitu, saya bisa fokus menyusun strategi dan gesit berlari menuju posisi pertama sampai di finis tanpa disadari,” Lio tersenyum. Ia belajar untuk lebih mengenali lingkungan tempatnya berpijak; berusaha menjaga jarak dari pusaran energi negatif yang akan menyeretnya ke lubang hitam, demi memperjuangkan tujuannya sedari awal menjejakkan kaki di dunia sinema. Apakah itu? “Saya tidak ingin sekadar dilihat sebagai bintang; sinar bintang bisa padam. Saya ingin menjadi legenda; sosok inspiratif bagi seseorang, terutama mereka yang juga merasakan berjalan memakai ‘sepatu’ yang saya kenakan,” pungkasnya.