16 Juni 2025
Meiline Tenardi Menjunjung Tinggi Nilai Kesetaraan dan Keterbukaan dalam Kepemimpinan
PHOTOGRAPHY BY Norman Fideli

Sebagai pebisnis andal, Meiline Tenardi dikenal lewat kiprahnya membangun PT Barindo Trimitra Mandiri. Ia menjabat sebagai Direktur Eksekutif PT Graha Mitra Sukses Bersama—perusahaan yang bergerak di bidang manajemen perhotelan—dan komisaris PT Glenindo Citra Mandiri, perusahaan konstruksi dan engineering. Meiline Tenardi adalah seorang perempuan berposisi tinggi di industri yang dominan oleh peran laki-laki. Dalam dunia bisnis yang kompetitif, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin bertiup. Sentimen menyoal kredibilitasnya pun tak jarang mengiringi langkahnya. Namun, alih-alih unjuk diri punya tangan besi, perempuan kelahiran Pangkalpinang, Bangka Belitung, tahun 1962 ini memimpin dengan keberdayaan perempuan. Tentu saja sikap tegas dan profesional dijunjung tinggi; di saat yang sama, penerapannya merangkul seluruh orang di bawah organisasinya. Meiline percaya kombinasi tersebut mampu menciptakan keseimbangan, dan perihal itulah yang membuat perempuan berpotensi menjadi figur pemimpin yang berbeda.
Kepekaannya terhadap potensi besar seorang perempuan turut memantik aksinya mendirikan Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi (KPPB) pada 2023. Melalui KPPB, Meiline menyoroti kemajuan pemberdayaan perempuan di Indonesia. Ia meyakini bahwasanya perempuan memiliki peran krusial dalam membentuk masa depan bangsa, dan untuk itu, setiap perempuan berhak mendapatkan dukungan serta akses yang setara agar dapat berkembang secara maksimal.
Lewat KPPB, Anda memfokuskan perhatian terhadap pemberdayaan perempuan. Bagaimana upayanya?
“Saya mendirikan KPPB—bersama dua sahabat saya, Ria Glenn dan Trivida Wong—atas dasar kesadaran akan kenyataan masih banyak perempuan dengan daya berkemampuan tinggi yang geraknya kerap terkungkung tradisi, norma, maupun sistem sosial. KPPB hadir sebagai ruang aman dan inspiratif, sekaligus memberikan dukungan kepada para perempuan untuk bersamasama tumbuh lebih kuat. Kami menjalankan program pelatihan, workshop edukatif, juga kampanye berkesadaran melalui cara-cara yang kreatif. Misalnya dengan menyelenggarakan acaraacara kesenian. Kami mengangkat berbagai topik perempuan dan sosial secara luas, di mana kami turut melibatkan kaum-kaum minoritas, disabilitas, dan termarginalkan. Saya berharap upaya-upaya tersebut dapat mendorong mereka—khususnya perempuan—untuk tidak takut berdiri mandiri serta berkontribusi lebih aktif di berbagai lapisan lingkungan.”
Mengapa Anda memilih jalur kesenian?
“Saya pikir, seni bisa menjadi medium yang dapat menyentuh sisi kemanusiaan tanpa membuat seseorang defensif. Lewat seni, saya bermaksud membuka ruang yang setara bagi siapa saja bersuara, begitu pula kesempatan agar mereka dapat didengar.”
Ketika menyuarakan isu sosial, tidak jarang kita berbicara persoalan yang bersifat sensitif. Apa tantangannya?
“Beberapa waktu lalu, kami menggagas kampanye kesadaran Dunia Tanpa Luka yang mengangkat persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bicara isu kekerasan membutuhkan keberanian, sekaligus kehati-hatian. Kita harus berhatihati agar tidak memperdalam trauma yang telah dialami para penyintas. Perihal ini menimbulkan tantangan dua arah; dari budaya serta norma yang sudah terlalu lama menempatkan perempuan di posisi diam; serta psikologis perempuan yang menganggap kondisi tersebut sebagai “kewajaran”, karena merasa seolaholah tak ada lagi pilihan. Sebab itu, penting untuk menggalakkan kampanye berkesadaran agar perempuan sadar bahwa kita punya kendali penuh. Tanpa kesadaran kolektif, luka ini akan diwariskan lintas generasi—menghambat potensi masa depan bangsa.”
Apa yang pertama kali membangkitkan semangat Anda untuk memberdayakan perempuan?
“Pada satu titik di kala pandemi Covid-19, saya melalui sebuah kontemplasi yang membuat saya lebih peka terhadap realitas kehidupan di sekitar. Banyak perempuan yang memilih diam saat mengalami kekerasan; mereka merasa tidak berdaya, atau hilang harapan sebab sudah lama hidup dalam norma sosial yang membungkam. Dari proses refleksi itu, saya bertanya pada diri sendiri: apa yang bisa saya perbuat agar hidup saya bermanfaat dan berdampak bagi orang lain. Sebagai perempuan, kita seharusnya menjadi subjek yang aktif menciptakan pengaruh. Bagi saya, KPPB bukan semata-mata semangat pribadi, melainkan panggilan hati untuk mendorong perubahan.”
Anda bergerak di dunia usaha yang dominan peran laki-laki. Bagaimana Anda mendorong pemberdayaan perempuan di lingkungan kerja, sekaligus menciptakan ruang yang setara bagi kedua pihak?
“Kepemimpinan tidak ditentukan oleh gender, tapi integritas, kemampuan, dan keberanian membuat keputusan yang adil dan progresif. Nilai-nilai tersebut yang saya tunjukan. Tidak dipungkiri, banyak tantangan yang mengiringi gerak seorang perempuan manakala ia di posisi memimpin—saya sendiri melaluinya. Perihal itu sejatinya adalah sebuah persepsi. Menurut saya, perempuan memiliki kekuatan untuk membangun hubungan profesional yang sehat dengan keseimbangan antara ketegasan, objektivitas, serta empati. Saya tidak ragu membuka dialog dengan seluruh tim. Dari berinteraksi langsung itu, saya belajar memahami dinamika tim, sekaligus membangun kepercayaan. Saya percaya, kepemimpinan bukan hanya perihal membuat strategi, tapi juga tentang kesediaan bertumbuh bersama seluruh tim. Budaya kerja yang setara itu mampu menciptakan organisasi—komunitas—yang solid dan inovatif.”
Bagaimana Anda menilai manifestasi prinsip ‘solidaritas perempuan’ dalam realitasnya?
“Saya percaya solidaritas perempuan merupakan wujud kekuatan kolektif, yang lahir dari kesadaran. Tidak mudah membangun solidaritas antar perempuan. Kita tumbuh dalam sistem yang secara tidak sadar sering membuat kita saling membandingkan, menghakimi, bahkan menjatuhkan. Jadi, ketika ada perempuan yang memilih untuk berdiri bersama perempuan lain—terutama dalam situasi yang tidak nyaman—tindakan tersebut mewujud keberanian yang nyata. Prinsip ini merupakan bagian misi yang berusaha kami wujudkan melalui KPPB.”