LIFE

14 Februari 2019

Nadine Chandrawinata: Lumba-lumba Bukan Hiburan dan Laut Bukan Tempat Sampah


Nadine Chandrawinata: Lumba-lumba Bukan Hiburan dan Laut Bukan Tempat Sampah

“Maaf saya agak terlambat. Karena tadi ada sedikit urusan yang enggak bisa ditinggal,” Nadine Chandrawinata mengirim pesan singkat yang seolah menjawab kegelisahan saya di tengah kemacetan. Beruntung, saya tiba lebih dulu. Disusul Nadine yang datang lima belas menit kemudian. Usai memesan secangkir kopi, ia bercerita tentang kabar dan kehidupan barunya sebagai istri. Tiga belas tahun lalu, sosok Nadine Chandrawinata mulai dikenal publik. Terpilih sebagai Puteri Indonesia 2005, kemudian mewakili Indonesia di ajang Miss Universe 2006. Kini Nadine justru lebih dikenal sebagai traveler sekaligus aktivis lingkungan. Kita bisa melihat salah satunya lewat akun Instagram Nadine. Menyelam di Arborek di Raja Ampat, melepas anak penyu di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, jalan-jalan bersama teman di Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur, kemudian menyelam bersama suami di Raja Ampat, Papua. “Saya sering mendapat pertanyaan ‘Sudah ke mana saja?’ saking seringnya bepergian. Saya bisa seminggu di pegunungan, satu minggu kemudian di lautan, lalu sepekan lagi di daratan,” cerita Nadine membuka obrolan. Sebuah hobi yang kemudian melahirkan buku-buku. Setelah Pantaskah Aku Mengeluh: Diary of Nadine Chandrawinata, Nadine: Labour of Love, NADRENALINE, tahun 2019 ini Nadine kembali meluncurkan buku berjudul Art of The Ocean. “Buku ini memuat karya fotografi underwater di mana saya bekerja sama dengan fotografer Muljadi Pinneng Sulung budi dan penulis Ardian Purwoseputro. Bercerita tentang keindahan bawah laut dengan tulisan puisi-puisi yang aku bikin agar pembaca ikut merasakan momen saat berada di bawah laut,” ceritanya. [caption id="attachment_6306" align="aligncenter" width="685"]nadine chandrawinata interview elle indonesia Busana: TOTON (gaun)[/caption] Kondisi dan situasi perairan yang tidak sama membuat Nadine pun selalu kesulitan jika ditanya daerah mana yang paling berkesan. “Kalau mau lihat tebing bawah laut, maka menyelam di Pulau Weh di Aceh. Jika ingin mencari ikan-ikan kecil, pergilah ke perairan Sulawesi. Di Labuan Bajo, kita akan menemukan banyak ikan pari manta. Nah, kalau mau berenang bersama ubur-ubur yang tidak menyengat, lokasinya di perairan Kalimantan. Seru sekali!” Hobi menyelam membawa Nadine pada satu isu penting yang kini mengubah hidupnya. “Saya sangat mencintai laut beserta kehidupannya. Rasa peduli yang pada akhirnya bikin saya selalu ingin berbuat sesuatu demi menjaganya,” kata Nadine. Sejak tahun 2004, Nadine gemar bepergian dan mulai senang menyelam di laut. Satu tahun kemudian, yang ia lakukan tidak hanya sekadar jalan-jalan yang tujuannya menghibur. Saat menyelam, Nadine mendokumentasikan ekosistem bawah laut kemudian menunjukkan hasil dokumentasi kepada masyarakat setempat.  “Ternyata, kebanyakan penduduk lokal tidak menyadari kondisi bawah laut di daerah tempat mereka tinggal. Mereka tidak tahu bahwa terumbu karang dan paus kondisinya tidak baik-baik saja. Sebagian bahkan hanya mengetahui keberadaan lumba-lumba yang memang membantu para nelayan dalam mencari ikan. Nelayan mendeteksi ribuan ikan lewat keberadaan dan perilaku lumba-lumba. Sebab lumba-lumba memakan ikan-ikan kecil yang juga jadi makanan tuna dan cakalang, dua jenis ikan yang sering diburu para nelayan. Dokumentasi kehidupan bawah laut ini saya lakukan terus-menerus sampai akhirnya saya mendirikan Sea Soldier,” ungkap Nadine. ea Soldier merupakan gerakan ramah lingkungan yang bertujuan memerangi dan mengurangi sampah di laut. Meski berarti ‘tentara laut’, kegiatan Sea Soldier justru terpusat di daratan. “Dari mana sampah laut berasal? Kami bergerak di daratan termasuk daerah perkotaan untuk menyebarkan misi penting agar laut kita bebas sampah. Karena menjaga laut bukan hanya tugas mereka yang hidup di dekat laut. Perilaku kita sehari-hari bisa jadi penyebab banyaknya sampah di lautan Indonesia”. [caption id="attachment_6308" align="aligncenter" width="685"]nadine chandrawinata interview elle indonesia Busana: Sapto Djojokartiko (atasan dan rok), TOTON (sepatu).[/caption] Salah satu keberhasilan Sea Soldier ialah mencegah sirkus lumba-lumba di Karimun Jawa. Pasukan Sea Soldier juga memantau pertumbuhan mangrove di Banyuwangi yang amat penting untuk mencegah erosi. Di Padang, Sumatera Barat, relawan Sea Soldier ikut memonitor perdagangan telur penyu yang kini secara perlahan mulai berkurang. “Kami ingin ikut berperan dalam mengedukasi publik bahwa atraksi sirkus lumba-lumba bukanlah hiburan yang patut untuk ditonton. Lumba-lumba sejatinya harus berada di laut lepas, bukan di kandang sempit yang justru akan memperpendek usia mereka”. Melalui Sea Soldier, Nadine juga ingin mengajak banyak orang untuk segera menerapkan pola hidup ramah lingkungan. Mengurangi pemakaian sedotan plastik dan membiasakan diri untuk selalu bawa botol minum, misalnya. “Sea Soldier didirikan sebagai perpanjangan tangan, sebab saya tidak bisa selalu berada di dekat laut setiap hari. Melalui gerakan ini, saya ingin setiap orang punya kecintaan pada ‘rumah’nya sendiri yakni bumi beserta lautnya”. Sebuah gelang pun dijadikan simbol pemersatu. Merah, putih, dan biru dipilih menjadi tiga warna yang menyiratkan makna cinta negeri Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri atas daratan dan lautan. “Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti, juga telah mendapatkan gelang Sea Soldier dengan nomor urut 330,”. Gelang dibentuk berupa anyaman tali yang bermakna gotong royong untuk kerjasama demi menjaga bumi Indonesia. Bahwa mencintai lingkungan bukan semata-mata hanya tugas pemerintah dan para aktivis. “Saya tidak ingin kampanye ramah lingkungan hanya terjadi musiman. Ia mesti mengalir dalam perilaku kita semua sehari-hari.  ‘Kebersihan pangkal kesehatan itu bukan slogan belaka, tapi hukum sebab akibat yang seharusnya membuat kita berpikir,” Nadine menegaskan. [caption id="attachment_6305" align="aligncenter" width="685"]nadine chandrawinata interview elle indonesia Busana: TOTON (gaun)[/caption]   Saat saya temui, Nadine terlihat membawa sedotan stainless dan tas kain lipat. Ia lakukan bertahun-tahun sampai akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. “Bicara soal ramah lingkungan artinya membahas tentang perilaku manusia. Ketegasan untuk menolak memakai sedotan plastik. Kesadaran untuk selalu membawa tas belanja agar tidak menimbun sampah plastik. Melakukan sesuatu bukan karena ingin dilihat orang lain. Bagi saya, perilaku ramah lingkungan adalah saatnya kita belajar untuk berbuat hal baik demi generasi masa depan,” ujar Nadine. Saya mendengar ia berbicara sambil teringat pada perkataan Mahatma Gandhi yakni ‘Seseorang bisa dinilai dari caranya memperlakukan hewan’ serta sebuah kutipan ‘Bumi memberikan banyak hal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak cukup untuk memuaskan keserakahan manusia’. Cinta pada lingkungan sesungguhnya tidak bisa dianggap perkara enteng. Kemanusiaan kita bahkan bisa ditakar dari seberapa besar keinginan untuk berbuat baik pada bumi dan lingkungan. “Kata ayah dulu waktu saya kecil, kerjaan saya di pantai bukan mengumpulkan kerang tapi memungut sampah. Hahaha! Kemudian suka traveling dan diving, saya menyaksikan sampah-sampah plastik nyangkut di terumbu karang. Ikan-ikan mati karena menelan banyak plastik. Saya pikir saya harus berbuat sesuatu. Ayah lantas menyarankan saya untuk ikut ajang Puteri Indonesia. Katanya, lewat Puteri Indonesia, saya bisa lebih ‘keras’ menyuarakan isu lingkungan,” kisah Nadine. Sejak itu, ia semakin aktif mengulik pengetahuan tentang isu-isu lingkungan dan hidup keberlanjutan. Nadine gemar menghabiskan hari di laut. Ia menikmati setiap momen di dalam air dan selalu ingin mengulang pengalamannya tanpa pernah merasa jenuh. “Dibutuhkan gairah tinggi dan semangat yang terus menyala untuk berkecimpung di bidang lingkungan. Sulit bagi saya untuk menjelaskan lewat kata-kata. Namun rasa-rasanya saya sepertinya ‘utang’ untuk selalu menjaga bumi dan lingkungan." [caption id="attachment_6307" align="aligncenter" width="685"]nadine chandrawinata interview elle indonesia Busana: TOTON (gaun dan sepatu).[/caption] “Dukungan keluarga menjadi sangat penting dalam menjaga konsistensi saya. Ayah adalah partner menyelam dan sahabat terbaik saat traveling. Sementara dari ibu, saya belajar kemandirian. Kami saling menguatkan dan mendukung satu sama lain. Saya sangat beruntung sebab kedua orangtua enggak pernah mendikte jalan hidup seperti apa yang mesti saya jalani,” ungkap perempuan kelahiran 8 Mei 1984 ini. Dukungan itu semakin membesar dengan kehadiran suami, Dimas Anggara, yang ia nikahi pertengahan 2018 silam. “Sejujurnya, kami saling merasa cocok bukan karena sama-sama suka traveling. Dimas punya tingkat toleransi sangat tinggi. Dia juga pintar mengatur waktu sehingga bisa menyeimbangkan urusan pekerjaan dan keluarga. Tentu aspek-aspek ini bikin saya merasa nyaman sebagai istri,” pungkas Nadine seraya tersenyum.   (Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography VICKY TANZIL styling ISMELYA MUNTU styling Assistant MARISSA YUDINAR makeup DHIRMAN PUTRA hairdo RERE)