LIFE

16 Agustus 2023

Ni Ketut Arini Melestarikan dan Menghidupi Tari Bali di Indonesia serta Mancanegara


PHOTOGRAPHY BY GETTY IMAGES

Ni Ketut Arini Melestarikan dan Menghidupi Tari Bali di Indonesia serta Mancanegara

Seniman perempuan yang namanya dikenal melalui sejumlah karya koreografi tari yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan. Ni Ketut Arini merupakan salah satu maestro dalam tari klasik Bali yang kerap menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara. Namanya tak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan seni tari Indonesia. Ia berperan sangat signifikan dalam melestarikan sekaligus mempromosikan Tari Bali ke dunia internasional. Sejak tahun 1965, Arini aktif melakukan diplomasi budaya melalui seni tari yang ia bawa ke mancanegara. Ia juga memiliki komitmen tinggi dalam menghidupkan kembali beberapa tarian klasik Bali yang hampir punah, antara lain tarian Condong dan tari Legong. Semangat keguruan Arini telah tumbuh sejak usia dini dan kian kokoh seiring dengan kepiawaiannya menguasai tari Bali klasik yang kemudian mempertegas sosok Arini sebagai salah satu maestro seni tari Bali klasik.


Lahir di Denpasar, 15 Maret 1943, Ni Ketut Arini dibesarkan di tengah keluarga seniman yang sangat mencintai seni. Ibunya, I Ketut Samprig, seorang ibu rumah tangga, sedangkan ayahnya, I Wayan Saplug, adalah guru penabuh gamelan. Sementara itu, kedua pamannya merupakan penari sekaligus guru terkenal di Bali yakni I Wayan Rindi dan I Wayan Pogog. Ni Ketut Arini merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Keputusannya untuk memilih seni tari Bali sebagai jalan hidup tak lepas dari peran lingkungan dan orangtua yang sangat memotivasi Arini untuk belajar tari Bali. Sejak usia 3 tahun, Arini sudah menunjukkan minat dan bakat manakala ia kerap menyaksikan pamannya menari dan mengajar. Ia kemudian terlibat dalam pertunjukan tari dan tak jarang membantu pamannya mengajar.



Pada 1957, Ni Ketut Arini resmi menjadi penari Bali saat ia terpilih menjadi Sang Hyang Dedari di Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja, Denpasar, Bali. Dan sejak itu Arini resmi menjadi penari Bali. Hal ini merupakan kebanggaan bagi dirinya karena menjadi penari pada waktu itu sangat dihormati dan dianggap sakral. Bukan juga hal mudah untuk mendapatkannya karena harus memiliki kompetensi dan perilaku yang baik. Seorang penari duduk di hadapan krama banjar dan diupacarai oleh seorang Sulinggih. Penari diibaratkan bidadari cantik yang di-sunggi oleh krama banjar yang tempat menarinya dialasi dengan taburan bunga dan dikagumi masyarakat. Menjadi Sang Hyang Dedari adalah sesuatu yang sangat dihormati dan dianggap sakral.


Guna memperdalam seni tari secara akademis, Arini mendaftar di Sekolah Konservatori Karawitan (Kokar), Bali. Arini kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari teknik tari Bali secara teoretis dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni sehingga memungkinkan pemikiran-pemikirannya mengenai tari Bali makin berkembang. Sebagai Angkatan pertama di Sekolah Konservatori Karawitan Indonesia, jurusan Bali, yang berdiri pada tahun 1960, Arini kemudian bertemu dengan I Nyoman Kaler dan Bapak Kakul yang mendidiknya dengan cermat, tekun, dan keras. Debut Arini sebagai penari profesional juga tak dapat dipisahkan dari sosok I Nyoman Kaler yang banyak memberikan dorongan kepada Arini. Nyoman Kaler pula yang meminta Arini untuk menjadi pengajar tari di usia dini karena ia menilai Arini memiliki kemampuan yang mumpuni dalam hal menari.


Sepanjang kariernya sebagai penari klasik Bali, Arini telah mencipta cukup banyak koreografi tari di antaranya Tari Dharma Putri (1973), Tari Galang Kasih (1980), Tari Legong Kreasi Suprabha Duta (1990), Revitalisasi Tari Legong Bapang Durga (1996), Revitalisasi Tari Putri dan Bebancihan (2004) juga VCD enam tari Legong bagi mahasiswa ISI Denpasar, serta beberapa buku panduan tari Bali yang menjadi rujukan penting di berbagai sekolah tari.


Menjadi sang maestro seni tari Bali klasik seolah merupakan kehendak sejarah dengan menakdirkan Ni Ketut Arini sebagai perpanjangan tangan para leluhur untuk melestarikan dan membesarkan tradisi klasik Bali. Kini di usia 79 tahun, Arini tetap bertekad teguh untuk terus menari dan melestarikan seni tari Bali klasik.

Setelah melampaui rangkaian perjalanan panjang bagi raga yang pencapaiannya acapkali bersifat material, Arini boleh jadi kini tengah melakukan perjalanan jiwa yang memberinya pengalaman yang lebih sublim dengan pencapaian spiritual. Selain menari dan mengajar, meditasi merupakan salah satu laku yang tak pernah ditinggalkannya. Dalam tari dan tapa brata, Ni Ketut Arini menyembahkan seluruh pengalaman dan pencapaiannya untuk melakukan regenerasi agar tari Bali klasik terus lestari dan tak pernah mati.  

Seperti apa kisah perkenalan Anda dengan seni tari?
“Dulu sekitar usia 3 tahun, saya mulai senang memerhatikan paman saya, I Wayan Rindi, mengajar tari. Tidak butuh waktu lama, saya langsung jatuh cinta pada seni tari. Saya selalu bermimpi menjadi penari dan cita-cita itu menemukan jalannya ketika saya kelas tiga sekolah dasar, saya memperoleh kesempatan menari dan tak jarang diminta paman menjadi asisten guru tari dan membantu beliau mengajar murid-muridnya. Momen itu sangat istimewa buat saya dan sulit dilupakan karena di titik itulah saya menetapkan cita-cita bahwa saya ingin menjadi penari.”

Apa tantangan yang Anda alami ketika pertama mengenal seni tari?
“Dulu saya seringkali mendapat tanggapan yang kurang mengenakkan dari masyarakat sekitar. Terlebih karena postur tubuh saya yang cenderung pendek, warna kulit yang gelap, dan bentuk wajah yang pas-pasan. Namun tak sekali pun saya menyurutkan diri untuk mundur dan berhenti belajar menari tari Bali. Saya justru malah termotivasi untuk lebih giat belajar berbagai macam teknik tari Bali dengan baik dan benar.”

Anda tak hanya senang menari, tapi juga gemar mengajar dan mendidik generasi muda yang berminat pada tari Bali. Apa alasan di balik keputusan ini?

“Saya sangat mengagumi paman saya, I Wayan Rindi, yang seorang penari sekaligus pendidik. Selain selalu berkeinginan untuk bisa menjadi seperti beliau, saya juga memiliki rasa tanggung jawab moral agar seni tari Bali dapat diwariskan secara turun-temurun kepada generasi muda dengan membawa tongkat estafet untuk terus merawat dan menghidupkan sanggar tari paman. Ketika paman meninggal, saya menerima dengan penuh rasa tanggung jawab untuk meneruskan sanggar tarinya. Awalnya latihan menari dilaksanakan di lapangan terbuka di bawah pohon, kemudian pada 1974, kami mulai mendirikan studio tari yang berbentuk wantilan. Mengenai nama Sanggar Tari Warini, saya menambahkan ‘ni’ (Arini) di belakang kata ‘Wari’ (Wayan Rindi).”

Sejauh mana pengaruh dan peran Wayan Rindi dalam perjalanan Anda?
“Beliau seorang tokoh penting dalam dunia tari. Sejak kecil saya melihat paman mengajar tari dan seketika saya ingin seperti paman, menjadi penari sekaligus guru tari. Saya belajar banyak hal dari beliau. Salah satunya menanamkan ilmu pengajaran yang baik melalui sikap tak memarahi murid di depan umum. Sikap tidak merendahkan sesama manusia dan tidak dengki pada orang lain adalah dua hal dari beberapa nilai yang diajarkan paman dan terus saya takzimi sampai kini,”  

Seperti apa strategi Anda agar generasi muda berminat dengan tarian klasik tradisional?
“Mengajar tarian Bali bukan sekadar penguasaan teknik semata, tapi juga tentang menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap karya seni adiluhung. Untuk menjalankan misi ini, saya menerapkan strategi agar tari klasik Bali senantiasa diminati oleh kaum muda yakni menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Saya tidak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan dalam tarian. Namun dengan iringan gamelan, maka anak-anak merasa sudah menari dan hal itu membuat mereka bersemangat. Menyikapi perkembangan globalisasi, saya juga memberikan kesempatan kepada murid-murid untuk mempelajari tarian Bali modern, dengan syarat harus menguasai tarian klasik terlebih dahulu.”

Bagaimana upaya Anda untuk melestarikan tari Bali?
“Melalui tindakan pewarisan (transfer of knowledge) yakni mengajarkan teknik tari Bali kepada masyarakat Bali dan kepada ribuan murid yang tersebar di Bali, luar Bali, maupun mancanegara. Sejak 1973, teknik yang kami terapkan yaitu memaksimalkan hasil belajar tari Bali dengan menekankan cara pengajaran yang memberikan dasar tari Bali yang kokoh dan mendasar. Selain itu ada teknik pengembangan yakni dengan menciptakan karya-karya tari Bali yang baru, melakukan tur keliling Eropa untuk memperkenalkan tari Bali ke seluruh dunia. Agar berhasil mencetak penari yang berkualitas unggul disertai berbagai prestasi perlu diikuti dengan upaya pengembangan tari Bali dengan cara mencipta, menyelenggarakan pertunjukan tari, dan merevitalisasi beberapa tari Bali.”