7 September 2018
Oka Antara: Bias Batas Dalam Sinema

Sejak 2005, Oka Antara tak pernah absen menorehkan karya setiap tahunnya. Kini, ia bicara eksklusif mengenai film terbaru, Aruna dan Lidahnya, yang direncanakan rilis pada September 2018.
“Halo,” sapanya menjabat tangan saya dengan ramah. Penampilan Oka Antara (38) ketika menemui kami hari itu begitu kasual, tidak ada beda dari lelaki pada umumnya. Tetapi–dan saya akui–ia memang punya karisma pribadi untuk teduhkan mata setiap orang yang memandangnya. Wajah tampan ala bad boy? Fisik atletis? Hmm...suara magis–mengingat Oka dulunya adalah seorang musisi? Sulit untuk dijabarkan. Namun, tiga hal tersebut sejatinya juga bukan suatu bantahan. Agenda pemotretan kami jatuh pada hari Minggu, plus bertepatan saat Ramadhan silam. Jadwal itu dipilih sendiri oleh sang aktor yang tengah disibukkan syuting film baru di luar kota. Sungguh, amat sulit mengatur janji untuk bertemu laki-laki kelahiran 8 Juli 1980 ini. Dalam satu minggu, ia nyaris hanya punya satu hari libur. Itu pun kami tidak yakin ia benar-benar libur. Buktinya, ia hadir di sini bersama kami dan menceritakan peran teranyar, hasrat berakting serta kepada makanan Bali.
Film Baru: Aruna dan Lidahnya
Oka merebahkan diri di sebuah kursi. Terbesit secercah lelah pada sudut matanya. “Saya baru pulang dari Singkawang jam tiga sore, kemarin,” ujarnya. Tidak heran. Ia melanjutkan, “Dan mobil saya sempat ditabrak orang pas hari terakhir syuting di sana.” Beruntung, ia tidak sedang di dalam mobil saat itu terjadi. Saya jadi penasaran, sekiranya ada cerita menarik lain dari produksi film barunya yang direncanakan akan dirilis pada September ini. Berjudul Aruna dan Lidahnya, film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak. Dalam buku dikisahkan perjalanan Aruna–diperankan oleh Dian Sastrowardoyo–dalam menemukan makna di setiap rasa yang tersentuh lidah dengan ditemani para sahabat. Di sini, Oka didapuk bakal memerankan tokoh Farish, seorang dokter hewan yang terlibat investigasi wabah virus flu unggas bersama Aruna ke beberapa daerah. “Jujur, saya sendiri belum baca novelnya,” katanya sambil tertawa kecil. Lalu, bagaimana cara ia mendalami karakter Farish? “Dari mempelajari skenario, saya rasa itu sudah cukup. Lagi pula, naskah adaptasi bukan berarti rangkuman novel. Ada opini serta sudut pandang para pembuat film, sehingga Anda tidak bisa memandangnya sama. Dan tugas saya adalah mewujudkan visi mereka,” jawabnya menanggapi. Oka juga mengaku tidak bersusah payah mencari tahu soal profesi dokter hewan, ataupun mengulik perihal flu unggas. Sekilas, ia terdengar seperti orang yang acuh dan minim usaha dalam berlakon. Namun, sebelum pemikiran itu kian mengembangkan persepsi negatif, Oka menjelaskan maksudnya, “Film ini lebih menekankan soal hubungan persahabatan serta cinta antara manusia. Latar isu flu burung dan kuliner hanya mengawal laju cerita. Menurut saya, suatu hal sia-sia jika memberikan perhatian lebih untuk menjiawi karakter, sementara esensi utama film terabaikan.” Mungkin, karena itu ia hampir jarang terjebak dalam sebuah peran. “Pernah, tapi saya selalu mencari formula agar setiap watak yang saya mainkan tidak terseret jauh ke dalam realita,” katanya.
Lelaki Bali Asli
Meski Aruna dan Lidahnya berlatar belakang kuliner, watak Oka dikisahkan antipati terhadap makanan. “Farish ini kaku dan prosedural. Ia menganggap wisata kuliner ala Aruna menyita waktu investigasi, sehingga Aruna memaksanya mencoba setiap makanan lokal di kota yang mereka singgahi,” ceritanya. Di kehidupan nyata, sifat ini jelas bertolak belakang dengan kepribadian Oka. Ia justru hobi makan dan favoritnya adalah ramen, “Saya juga suka masakan kaya rempah seperti tongseng atau gado-gado,” katanya. Lahir dan tumbuh besar di Bali juga membuatnya sulit melepaskan resep tradisional Pulau Dewata. Dari semua masakan Bali, yang lazim dan ajaib, ia paling suka sop sayur aren. “Itu pohon pisang yang masih muda diserut dan direbus tanpa pakai daging atau tambahan protein lain. Diberi rempah dan gula, rasanya enak banget! Oh, serobotan juga lezat. Lalu, ada buah wani. Makannya dicocol arak. Jika mau tahu seseorang asli Bali atau bukan, tanya saja soal buah ini,” tuturnya dengan sumringah. Sayangnya, tiga makanan tersebut jarang ia temukan di rumah makan Bali di Jakarta. Ketika dilanda hasrat menyantap hidangan Bali, laki-laki yang menganut kepercayaan Hindu ini pun memilih untuk pergi ke pura dan makan di kantinnya. Tiba-tiba ia tersentak, “Wah, maaf jadi bicara soal makanan padahal kalian sedang berpuasa.” Selama wawancara, Oka bersikap santun dengan tidak menyentuh makanan yang tersedia di meja. Tapi, ada momen di mana ia tak kuasa menahan dahaga lalu menenggak sebotol air minum. Tidak masalah, sebab udara hari itu benar-benar panas.Tetap Dalam Batasan
“Prioritas saya ketika membangun karier adalah saya mampu beradaptasi,” kata peraih nominasi Indonesia Movie Awards 2012 kategori “Best Actor” itu melanjutkan diskusi. Di saat aktor lain berafiliasi dengan sutradara tertentu, Oka enggan berkutat dalam lingkaran nyaman dan merasa risi ketika akhirnya harus keluar. Dunia sinema dianggapnya seperti sekolah. Di sini, tempat ia mencari ilmu untuk berkembang. Bukan agar tampil stereotip, seperti anggota tim basket yang jalan-jalan di lorong sekolah dengan Air Jordan dan seragam kebanggaannya. Prinsip itu lantas mendorongnya untuk kerap memilih genre berbeda serta peran-peran yang beragam. Tapi, jangan tanya peran mana yang paling berkesan di sepanjang kariernya. Ia tak akan memberi jawaban pasti. “Tidak adil jika saya memilih satu, sementara setiap peran berbeda karakteristik, tantangan, juga treatment sutradaranya,” jawabnya cepat. Tahun ini misalnya, sebelum mulai syuting drama Aruna dan Lidahnya, ia lebih dulu merampungkan Foxtrot Six yang banyak adegan militer. Lakonnya di film yang diproduseri oleh Mario Kassar (eksekutif produser Hollywood) itu perankah tokoh 'abu-abu'. “Perawakannya baik, tapi kepribadiannya shady,” tuturnya. Pada 2015, Oka–yang menganut kepercayaan Hindu–pernah tampil dalam Mencari Hilal (2015) sebagai anak pendakwah Islam sekaligus aktivis lingkungan hidup berpikiran liberal. Kemampuan Oka yang piawai akting beragam tersebut meraih pengakuan rekan sineas dan para kritikus. Terbukti dari rangkaian nominasi berbagai ajang penghargaan. Beberapa kali Oka dinominasikan dalam kategori ‘Best Actor’, ‘Best Supporting Actor’, dan, yang paling menarik, ‘Best Chemistry’. Ironinya, ia malah sebenarnya menjaga jarak dengan setiap lawan main–baik teman akrab maupun baru kenal. “Saya takut. Kadang, jika terlalu dekat malah bisa memicu kesalahpahaman yang membuat berpisah,” kata peraih piala Indonesia Movie Awards 2016 untuk “Best Chemistry” berkat aktingnya dengan Deddy Sutomo. Baginya, kehilangan seseorang merupakan proses penuh lara. Pengalaman hidup membuatnya sulit menghadapi situasi kehilangan. Jadi, ia lebih baik menetapkan batasan. Tidak perlu ritual khusus untuk mendekatkan diri dengan pasangan main. Itu bisa dibangun melalui proses reading atau mengobrol dan tukar pikiran yang pada porsinya di lokasi syuting. Semua ada kadar batasnya.