LIFE

20 Desember 2021

ROSSA MEMENANGKAN HIDUP DENGAN BERSUKACITA


ROSSA MEMENANGKAN HIDUP DENGAN BERSUKACITA

Di atas kemegahan panggung ketenaran, Rossa menyederhanakan ambisi dan mendefinisikan sukses lewat jalan kesenangan dan kedamaian batin.

Menjadi jurnalis menuntut saya untuk senantiasa tahu berita terbaru setiap detiknya, termasuk tidak ketinggalan perkembangan teknologi dan mengikuti perubahan tren gaya hidup terkini. Dan menjadi perempuan kerap kali membuat saya merasakan dorongan untuk punya hidup yang sesuai norma. Barangkali orang lain juga demikian. Bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar dalam upaya mengimbangi pencapaian orang lain agar tetap relevan dan tidak tertinggal di belakang. Tekanan dari sekeliling—dunia kerja, kehidupan sosial, dan lingkungan masyarakat—yang kadang memaksa kita harus menekan tombol reset demi menemukan cara-cara baru dalam menyeimbangkan hidup. Dalam suatu percakapan antara saya dan Rossa, kami berdua setuju untuk tidak menilai diri sendiri dengan ukuran sukses menurut orang lain.

“Kita tidak perlu bersaing dengan orang lain. Ada orang yang menikah di usia 25, umur 30 tahun menjadi manager, meraih kemapanan sebelum masuk usia 40. Kemudian kita menjadi gelisah karena merasa tertinggal. Padahal timeline setiap orang beda-beda. Dan menurut saya, menjalani hidup itu sebenarnya tidak sulit. Yang rumit adalah menanggapi omongan orang lain. Dalam hal ini tentang kenapa saya belum menikah lagi. Beberapa orang menganggap perempuan yang berhasil dalam karier tapi tak punya pasangan, maka hidupnya tidak sempurna. Mungkin benar bahwa punya suami itu melengkapi tapi ada kalanya hidup tidak sesederhana itu. Kadang memang aneh, bahkan sudah berhasil sekalipun dengan sukses yang membawa manfaat bagi banyak orang, celaan masih mungkin datang. Dianggap begini, dikira begitu, ditakar macam-macam. Dan celakanya, perempuan kerap kali menyalahkan dirinya atas keadaan yang tidak sempurna. Tidak jarang malah menganggap rendah dirinya sendiri,” ujar Rossa.

Usia saya masih 12 tahun ketika Rossa merilis lagu Nada-Nada Cinta di tahun 1996. Ratusan single dan album musik serta puluhan konser tunggal yang digelar di Indonesia dan beberapa negara tetangga mengukuhkan posisi Rossa sebagai salah satu musisi perempuan berbakat yang berkontribusi bagi industri musik Tanah Air. Barangkali tidak ada orang Indonesia yang tidak tahu Rossa. Perempuan yang mengukir karier sejak 25 tahun silam ini kerap mencetak lagu[1]lagu hit dan meraih berbagai penghargaan untuk album-albumnya. Saya mengawali percakapan dengan memperkenalkan diri sambil memuji konsistensinya di dunia musik. “Saya bersyukur memiliki bakat sekaligus hobi yang juga menjadi lahan pekerjaan. Senang rasanya setiap hari bisa mengerjakan sesuatu yang saya senangi. Saya memang tidak pernah vakum dari dunia musik, tapi sebetulnya proses pembuatan album saya cukup lama sehingga bisa 2-3 tahun tidak mengeluarkan apa-apa selain soundtrack dan album kompilasi. Dan rasa-rasanya saya bisa berjerawat kalau berhenti bernyanyi. For me, singing is like breathing. Saya dan musik adalah dua hal yang tak terpisahkan,” ujarnya.

Perempuan kelahiran 1978 ini suka menyanyi sejak kecil. “Cerita dari orangtua, saat usia saya 2 tahun, saya mulai suka menyanyi mengikuti lagu-lagu yang ada di iklan televisi. Bahkan sampai menyanyi berdiri di atas meja seakan-akan sedang menyanyi di atas panggung,” kisahnya.Tahun 1988, Rossa pernah mengeluarkan album anak-anak. Sayangnya tidak mendapat sambutan positif. Ia kemudian mengentak panggung musik Tanah Air lewat lagu Nada-Nada Cinta yang diikuti album Tegar (1999) yang meraih 4 Platinum Awards.

Durasi 25 tahun jelas bukan waktu yang sebentar. Dan Rossa tidak terkenal secara instan. Dia tidak tiba-tiba masuk ruangan VVIP menduduki kursi ketenaran. Rossa memulai perjalanannya dari nol. Menyanyi dari satu panggung ke panggung lainnya di berbagai daerah saat tidak seorang pun mengenal siapa penyanyi ini. Menjajaki langkah demi langkah hingga akhirnya ia mereguk kesuksesan. Saya merasa sulit membayangkan bagaimana pengalaman sepanjang itu bisa membuahkan kesuksesan tanpa ada formula yang mengikutinya.

Kata Rossa, “Rasanya apa yang membentuk diri saya sekarang sedikit banyak dipengaruhi peristiwa-peristiwa masa lalu. Saya memulai karier dari tingkat paling bawah yang penuh tantangan dan kesulitan. Salah satunya harus belajar alat musik, termasuk sound system, karena bayaran menyanyi pada waktu itu belum cukup untuk membayar banyak orang. Soal lagu-lagu yang jadi hit, saya hanya beruntung memiliki telinga yang ‘pasaran’. Lagu dan musik yang saya senangi sering kali orang lain juga suka. Yang tak kalah penting dalam perjalanan ini, saya selalu menempatkan diri di tengah. Berusaha untuk tidak berharap banyak tapi juga ingin bisa terus mengeksplorasi kemampuan. Maka kuncinya, letakkan posisi di tengah-tengah lalu buat langkah selebar-lebarnya agar bisa melompat setinggi-tingginya. Dan supaya hati tenteram, menjauhi konflik dan menghindari konfrontasi. Termasuk tidak mau berkomentar ketika para wartawan menanyakan pendapat saya tentang masalah yang dihadapi orang lain.”

Hidup memberi pelajaran lewat kesalahan. Saat kita menerima pelajaran dengan kerendahan hati dan rasa syukur, maka kita semakin bertumbuh. Rossa kemudian menceritakan salah satu pengalaman pahitnya. “Sedih dan terluka, saya rasa kita semua pernah mengalaminya. Yang terpenting adalah ketika terjadi kekecewaan, maka tanyakan pada diri sendiri apa yang bisa kita pelajari dari kesalahan itu. Ada satu cerita, saya berencana menggelar konser pertama di Istana Budaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Ketika hendak diproses, perjalanannya penuh liku. Sulit sekali memperoleh izin mengadakan konser musik. Saya menelan kekecewaan dan melanjutkan ke rencana lainnya. Beberapa lama kemudian, pihak Stadion Bukit Jalil memperbolehkan saya konser di tempat tersebut. Dari yang awalnya rencana bikin konser dengan kapasitas 2.500-3.000 orang di Istana Budaya, ternyata berakhir dengan 14.000 penonton menyaksikan konser saya di Bukit Jalil. Sebuah acara yang konon menjadi konser solo terbesar yang pernah digelar di Malaysia. Jadi apa pun peristiwa yang harus dilewati, cukup dijalani dengan sebaik-baiknya. Saya percaya segala sesuatu dalam hidup sudah tertulis di skenario Sang Pencipta. Dan dari banyak kejadian, saya selalu yakin Tuhan pasti mengganti sebuah kehilangan dengan sesuatu yang lebih baik dan lebih besar”, ungkap Rossa.

Di film Lion King, ada satu jargon yang amat populer, ‘hakuna matata’ yang bermakna ‘jangan risau’. Kalimat ini menawarkan perspektif penting untuk menghadirkan lebih banyak ketenangan ke dalam hidup manusia dengan cara mendobrak keluar dari cangkang ketegangan yang menyelimuti kita. Bukan berarti bersikap masa bodoh terhadap setiap situasi, melainkan anjuran untuk mundur sejenak agar dapat melihat gambaran yang lebih jelas sekaligus mencegah diri dari sikap membesar-besarkan hal kecil dalam hidup.

Kata Rossa, hidup ini misterius. Tidak seorang pun mengetahui seperti apa masa depan. “Apakah makin saya tua maka karier saya makin redup? Bisa jadi. Apakah makin lama saya justru makin produktif berkarya? Bukan mustahil. Siapa tahu suatu hari saya berkolaborasi dengan Celine Dion, tidak ada yang tidak mungkin, kan? Saya tidak pernah ingin merisaukan masa depan. Apakah makin sukses atau tidak makin sukses, saya hanya ingin menjalaninya tanpa banyak cemas. Orang-orang hebat di seluruh dunia, ketika menua, ada bagian dalam hidupnya yang juga ikut memudar. Kecantikan dan ketenaran semuanya bakal hilang ditelan waktu. Yang terpenting buat saya saat ini adalah memaksimalkan kerja dan melakukan sesuatu yang bisa diteruskan oleh generasi muda,” ujarnya. Rossa lantas menceritakan kesibukannya dengan rumah produksi Inspire Indonesia yang didirikannya tahun 2020 silam. “Dibikin di tengah pandemi, yang awalnya sebatas tim manajemen Rossa, kini berkembang menjadi industri konten film dan musik. Kami mengadakan konser musik virtual, membuat film bersama aktor-aktor muda, hingga melakukan rekaman musik. Senang sekali bisa bekerja sama dengan generasi muda, menciptakan kesempatan untuk mereka yang berbakat agar memperoleh banyak pengalaman di industri hiburan,” ujar Rossa.

Sampai hari ini, jarang sekali kita mendengar hujatan mengarah ke perempuan ini. Bak media darling, Rossa mengisi halaman-halaman berita lewat karya, kiprah, dan kabar kehidupannya yang jauh dari sekadar sensasi. Tahun 2019, salah satu berita yang sempat menggemparkan adalah ketika SM Entertainment mengumumkan bahwa Rossa bergabung dengan label dan manajemen asal Korea Selatan tersebut yang juga menaungi Super Junior, EXO, NCT Dream, Red Velvet, BoA, dan lainnya. Sebuah langkah yang makin meluaskan popularitas Rossa. “Buat saya, popularity is a blessing. Ketenaran membuat saya lebih mudah untuk membantu banyak orang. Tapi di sisi lain, menjadi terkenal juga bisa meresahkan. Mengetahui seseorang tenar seolah melegalkan kita untuk sebebas-bebasnya masuk ke wilayah privat orang lain. Barangkali itu sebabnya saya cukup tertutup untuk urusan percintaan. Bukan tidak ingin berbagi berita bahagia, tapi saat ini saya belum bisa memastikan sejauh mana sebuah kedekatan bisa berlanjut ke tingkatan yang lebih serius. Selain itu, sebagai orangtua tunggal, saya sangat menghindari gunjingan khawatir dianggap sering bergonta-ganti pacar. Jadi alangkah lebih bijak jika orang-orang membicarakan karya dan kiprah saya, ketimbang membahas urusan asmara.”

Saat berbahagia, hati kita akan terbuka kepada hal-hal baru. Ketika suasana hati sedang buruk, kita tidak ingin membuka diri pada hal-hal baru, tak peduli betapa luar biasanya hal baru itu. Rossa menyadari bahwa tanpa kebahagiaan di dalam hati, kemajuan hidup terasa lambat dan menjenuhkan. “Tidak ada pikiran yang terlalu berat. Bukan berarti hidup bebas masalah. Saya hanya berusaha tenang bahkan sebenarnya cenderung kurang ambisius. Dan saya sangat menghindari sikap overconfidence. Saya tidak pernah ingin menilai tinggi diri sendiri. Bahkan ketika saya tahu berapa angka bayaran saya untuk menyanyi, saya suka khawatir sendiri jangan-jangan nilai itu terlalu mahal. Buruknya, sikap ini bikin saya terlihat tidak percaya diri,” ungkap Rossa. Alih-alih selalu merasa di atas awan, sang musisi kenamaan justru selalu berusaha menaruh kaki di atas tanah. Sikap tidak haus pujian yang lahir dari didikan kedua orangtuanya. “Sampai hari ini, saya tetap dinilai objektif oleh ayah dan ibu. Mereka tidak pernah memuji saya di depan umum. Tidak ada sanjungan yang berlebihan. Ayah dan ibu amat menyayangi dan menghargai saya, tapi kalau saya membuat kesalahan, saya tetap kena marah. Tidak ada mentang-mentang terkenal dan sukses lalu jadi diperlakukan istimewa,” cerita Rossa.

“Dengan pengalaman lebih dari dua dekade, saya masih merasa takut terjebak dalam kesombongan. Saya khawatir kalau-kalau saya jadi tidak belajar apa-apa jika menganggap diri sendiri sudah sangat hebat. Yang juga cukup menantang adalah bagaimana kita menyikapi keberhasilan orang lain. Kadang kita iri dengan pencapaian orang lain dan hal itu rasanya manusiawi. Saya kemudian belajar meraih ketenangan batin dengan cara membiasakan diri untuk menerima serta mengagumi karya dan pencapaian orang lain. Saya tidak pernah merasa ingin menyaingi siapa-siapa. Hanya merasa perlu bersaing dengan diri sendiri. Dan rasanya upaya ini cukup ampuh bikin saya jadi lebih santai, tenang, sekaligus tidak mudah kecewa pada apa pun. Sebab ketika tidak ada rasa dengki, bahkan orang paling kaya dan berkuasa sekalipun akan tampak seperti manusia biasa. Dan hanya saat kita iri dengan apa dimiliki orang lain, maka kita akan terus-menerus merasa tidak puas dan kehilangan ketenangan diri,” pungkas Rossa.