LIFE

16 Agustus 2024

Tatjana Saphira Bergerak Memperluas Batasan Zona Nyaman


PHOTOGRAPHY BY Andre Wiredja

Tatjana Saphira Bergerak Memperluas Batasan Zona Nyaman

styling Alia Husin; watches TAG Heuer; fashion Saamr; makeup Ryan Ogilvy; hair Firda

Tatjana Saphira seakan-akan sedang dalam sebuah misi. Targetnya: mendobrak zona nyaman. Ia terpantau lebih sering bertualang di alam, alih-alih di rumah atau larut ingar-bingar kota. Sebetulnya perihal itu bukan suatu kejanggalan, bilamana Anda menelusuri laman media sosial sang aktor, panorama pantai atau curuk hampir tampak di setiap tahun. Hanya saja, akhir-akhir ini frekuensinya jauh lebih sering. Begitu pula diakuinya, “Beberapa bulan terakhir, saya memang lagi suka banget kegiatan outdoor.”

Di ranah profesional, perempuan yang selama 13 tahun terakhir ini tampil dengan berbagai alias di panggung sinema, kini memperkenalkan diri lewat melodi suara. Proyek musiknya murni karya personal, bukan untuk kebutuhan sandiwara seperti yang pernah kita simak di film Sweet 20 (2017) dan Hit & Run (2019). Kala berjumpa bulan September 2023 silam di studio rekaman milik Aradea Barandana dan Adinda Dwimadasari (produser dan penulis lagu yang jadi kolaboratornya), Tatjana sudah setengah jalan merampungkan minialbum untuk rencana peluncuran di akhir tahun yang sama. Dua single sudah mengudara di berbagai layanan streaming musik digital sejak itu: Ke Manakah Cinta dan Menanti. Namun hingga sekarang, minialbumnya belum juga dilepas ke pasar. “Saya tidak ingin buru-buru. Musik bersifat sangat personal bagi saya, meski saya belum menciptakan sendiri lagunya. Saya ingin saat orang mendengar musik saya, mereka mendengar saya seutuhnya,” jelas Tatjana.


Segala aksi yang terkesan ‘keluar zona nyaman’ itu bisa dibilang bagian dari upaya Tatjana bertumbuh sebagai individu, juga selaku pekerja kreatif. “Penting untuk terus- menerus menantang diri mengasah skill baru agar kreativitas tidak tumpul,” katanya kali terakhir kami berbincang. Maka saat menghubungi Tatjana untuk mengatur janji temu kali ini, saya memikirkan lokasi yang sedikit ‘kreatif’ dari sekadar duduk di kafe. Rencana saya semula adalah kelas keramik. “Seru banget. Di mana?” katanya menyukai ide tersebut. Tapi rencana itu muncul sebelum saya mengetahui bahwa ia sedang disibukkan agenda workshop film Kampung Siluman Pulo Majeti yang akan mulai syuting kurang dari satu minggu. Jadwal produksi yang berlokasi di luar Jakarta selama satu bulan pun membuat rencana ini harus benar-benar kami relakan. Sebagai ganti, saya menemui Tatjana di lokasi pemotretan tim ELLE yang melibatkan sesi melukis akrilik.

Melukis bukan hal baru bagi Tatjana. Ia sempat menjajalnya demi membunuh kebosanan semasa pandemi Covid-19. “Pertama kali melukis—kalau saya ingat lagi— sepertinya saat itu saya sekadar ingin membuat sesuatu yang tampak nice, bukan berkesenian untuk menikmati prosesnya,” akunya ketika kami akhirnya duduk bersama. “Yang menurut saya, hasilnya juga enggak terlihat nice. Hahaha. Jujur saja, saya merasa apa yang saya lakukan waktu itu sedikit pretentious,” sambung Tatjana diseling gelak ringan. Kalaupun ia memang berpretensi, atau sekadar berupaya tetap terhubung dengan cara dunia bergerak di tengah kondisi diam; tak ada yang salah dari keduanya. “Tapi dari momen melukis itu, saya menemukan pemahaman bahwa cara kita menjalani kehidupan sehari-hari sebenarnya juga bisa jadi seni tersendiri.” Ia kemudian mulai bercerita berbagai pengalaman baru yang ia tempuh—sebagaimana penuturannya—berdasarkan keputusan yang dipengaruhi oleh kesempatan tak terduga di hidupnya sejak terakhir kami bertemu sembilan bulan silam.


Berawal dari keputusannya untuk kembali bermain film horor. Sesuatu yang tidak ia sangka bakal ia lakukan setelah pengalaman intens syuting Perempuan Bergaun Merah (2022)—setidaknya, tidak dalam jarak waktu sedekat ini. Apa yang lantas mendorongnya terlibat produksi Kampung Siluman Pulo Majeti asuhan sutradara Jose Poernomo ialah kegemarannya beraktivitas di alam. “Narasi kehidupan karakter saya yang tumbuh besar di kampung nelayan juga sangat menantang,” ungkapnya. Tatjana akan menjelmakan seorang perempuan warga desa sebuah pulau, di mana realitas manusia dan alam mistis saling bersinergi. Alkisah, tokohnya mewarisi tradisi perjodohan dengan entitas gaib. Konon plot tersebut berlandaskan legenda masyarakat Pulo Majeti di Kota Banjar, Jawa Barat.

Terlepas dari elemen mistis, film tersebut menyodorkan ragam pengalaman kelautan yang memotivasi semangat Tatjana. Ia dituntut untuk terampil mendayung perahu di laut lepas, memancing dengan jala, hingga free diving. Latihannya membutuhkan waktu berjam-jam selama berhari- hari di bawah sinar matahari terik—yang membuat kulitnya tak luput merona merah sampai berubah gelap. Belum lagi, ia juga harus fasih berdialek bahasa Sunda. Kendati demikian, ia merasa bersemangat untuk segera masuk ke dalam kehidupan karakternya. “Setiap kali terlibat suatu proyek, saya akan mempertimbangkan apa nilainya bagi saya. Anda tahu saya tidak berbicara soal materi di sini. Lebih kepada tantangan yang memiliki added value dalam memperkaya wawasan dan pribadi saya,” katanya.


Jika ada yang diyakini Tatjana selama lebih dari satu dekade meniti karier keaktoran, hal itu adalah bagaimana seni peran mampu menstimulus jiwanya bertumbuh secara ekstensif. Keyakinan yang sama mengantarkan ia melirik panggung indi di bawah ajakan Robby Ertanto. Perkenalan dengan sang sutradara terjadi secara tidak sengaja manakala Tatjana memenuhi undangan pembukaan Festival Sinema Prancis 2023. “Which untuk hadir di acara sosial seperti itu di luar kebiasaan saya yang berkepribadian introver,” ujarnya. Di pertemuan pertama itu, Robby mengajukan naskah Midnight in Bali, kisah drama kehidupan transgender yang berlatarkan warna-warni kesosialan Indonesia. “This could be interesting,” bayang Tatjana usai membaca naskahnya, dan langsung menghubungi Robby untuk menyatakan kesediaan. Saya sependapat, ini bisa jadi kolaborasi menarik.

Robby Ertanto terpandang akan estetikanya menyajikan isu-isu berbalut diskusi normatif ke dalam sinema independen yang frontal. Berbanding terbalik dengan rekam jejak Tatjana yang lebih dominan menginjak ranah produksi berbiaya besar. “Proses produksinya sangat berbeda,” Tatjana berkisah, “Segalanya dapat berubah seketika; timeline pengambilan gambar; skrip; dialog. Set lokasi yang terbatas. Improvisasinya benar-benar menantang! Meski begitu, semua orang yang terlibat saling bergerak dalam spirit yang sama.” Ia sangat menikmati setiap momen tak terduga itu. Dan tiap kali terkenang akan memorinya, hasratnya pun bergejolak mendambakan kembali pengalaman tersebut. “Alih-alih kapok, justru bikin saya kepingin lagi. Sensasinya mirip seperti mendaki Rinjani,” ungkanya.


Empat hari di penghujung bulan September tahun 2023 merupakan salah satu periode monumental dalam hidup Tatjana. Ia pergi bertolak ke Pulau Lombok untuk mendaki Gunung Rinjani. Sebelum Rinjani, “Jalur pendakian terjauh yang pernah saya tempuh paling hanya di kawasan Sentul,” katanya. Gunung Rinjani adalah manifestasi sebuah kekuatan afirmasi. Sebulan sebelum waktu pendakian, Tatjana—yang tengah keranjingan kegiatan outdoor—berandai dapat menginjakkan kaki di Taman Nasional Gunung Rinjani sambil memandangi foto-foto destinasinya lewat penelusuran internet. Serasa didengar oleh semesta, ponselnya menerima pesan dari Sebumi (organisasi sosial yang berfokus pada peningkatan gaya hidup sustainability) yang mengajaknya terlibat menyuarakan etika keberlanjutan dalam pendakian. “Saya terkejut, campur antusias. Daya afirmasi itu memang benar adanya, ya. Tapi saya bilang pada diri sendiri agar tidak boleh gegabah mengambil keputusan,” katanya. Tatjana membiarkan asanya beristirahat melalui malam yang panjang. Ketika bangun esok hari, nalurinya berkata bahwa ia harus melakukannya. Maka, ia wujudkan impiannya.

Kendati telah memikirkannya secara bijak, segera setelah menetapkan komitmen pada Sebumi, Tatjana tetap diserang kegelisahan akan gambaran situasi yang ia tidak familier. “Yang pertama, saya ragu apakah tingkat kebugaran fisik saya cukup untuk menghadapi medan Rinjani. Saya tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. Yang kedua, saya tidak pernah berkemah sebelumnya,” ujarnya. Lalu setelah kini mengetahui ia berhasil bertahan hidup di gunung, “Saya merasa mampu menghadapi segala tantangan yang menanti di depan mata,” katanya berseri, “Di atas sana saya benar-benar belajar melawan dan bersahabat dengan diri sendiri.” Namun jauh sebelum meraih kenyataan bahwa pribadinya bisa begitu membanggakan, ia ingat bagaimana kecemasannya semakin menjadi-jadi sampai harus berkonsultasi pada sang psikolog. “Masalah saya adalah terkadang saya bisa overthinking mengkhawatirkan hal-hal yang belum tentu terjadi,” kata Tatjana. Berbicara pada psikolog mampu membantunya menguraikan pikiran-pikiran negatif tersebut—seperti menyadarkannya tujuan awal ia mendaki. “Bukan tentang mencapai puncak, tapi untuk menambah pengalaman— sekaligus berkontribusi baik bagi alam,” ceritanya, “Sekarang saya belajar untuk tidak lagi memandang setiap pengalaman asing sebagai bentuk keluar zona nyaman, melainkan langkah memperluas zona nyaman saya.”


“Dia terdengar menyenangkan,” saya menilai psikolognya. “He’s quite good. Saya bisa merekomendasikannya,” ujar Tatjana, “Tapi menemukan terapis yang cocok hampir seperti mencari jodoh.” Ia menceritakan perjalanan berganti psikolog sebelum didampingi terapisnya saat ini. Butuh waktu baginya untuk berkomunikasi dengan orang asing. Rasa nyaman itu tak langsung ia dapat dari orang pertama. Perjumpaan kedua juga tak berjalan lama. Lalu ia sampai pada titik, “Mungkin perihal ini bukan cuma soal orangnya, tapi juga bagaimana saya menata mindset lebih terbuka.”

Dua tahun silam, saat Tatjana pertama kali mengangkat topik kesehatan mentalnya dalam perbincangan kami, ia bercerita bagaimana ia merasa mengecewakan orang banyak karena tak mampu memenuhi ekspektasi publik terkait sosoknya. Ia merasa semu, hingga malu atas dirinya sendiri. “Rasa malu adalah perasaan paling toxic,” katanya bicara atas pengalaman pribadi, “It’s worse than guilt. Itu adalah lingkaran setan yang membuat seseorang berputar-putar dalam kondisi stagnan mencemaskan diri sendiri; pikiran orang lain; hingga terpuruk ego dan sulit optimis.” Melihatnya hari ini, ia tampak telah berhasil lepas dari “lingkaran setan” tersebut. “Saya merasa sudah jauh lebih baik dalam menjalin hubungan dengan pribadi sendiri sekarang. Setidaknya, saya tak lagi berlarut- larut menyalahkan diri sendiri jika tidak mampu memenuhi ekspektasi orang lain,” tutur Tatjana, “Journaling sangat membantu saya dalam proses berdamai dengan diri sendiri.”

Ia cukup terbuka berbicara perihal kesehatan mental. Sebagai penyintas depresi dan pejuang kecemasan, ia tahu bahwasanya merawat kesehatan mental bisa membuat seseorang merasa sangat terisolasi. Sebab itu, ia memutuskan berbagi pengalaman. Komitmennya merangkul jiwa-jiwa hanyut dilanda kalut kian ditunjukkan lewat proyek penggalangan dana untuk peningkatan akses bagi layanan program kesehatan mental. Ia bekerja sama dengan organisasi non-profit Jiwa Tumbuh dalam menyediakan fasilitas konsultasi hingga terapi profesional. “Jika ada hal baik dari persoalan mental ialah tumbuhnya rasa empati dalam diri saya,” tuturnya. Ia berharap kontribusinya bisa membantu orang banyak melalui perjalanan itu.

Kami mengakhiri hari di penghujung waktu makan malam. Sebelum berpisah, Tatjana mengutarakan perasaannya mendekati usia ke-30—di saat kini ia baru menginjak 27 tahun. “Saya banyak membicarakan ini dengan orang-orang yang telah melewatinya. Hahaha,” ujarnya. Sebagai antisipasi, asumsi saya. “Ternyata mereka semua juga melalui titik yang sama. Jadi jika semua orang berpikiran serupa dan mereka baik-baik saja, saya harap, begitu pula saya nantinya,” celotehnya. Ia bertekad mengendalikan narasi hidupnya. “Saya tahu arah tujuan saya, dan setiap langkah yang saya ambil mengarah ke sana; dengan cara saya, standar saya, sesuai waktu saya. I’m a big believer bahwa segalanya akan indah pada waktunya,” katanya. Kehidupan tidak lantas selalu berbunga-bunga di jalannya, namun di antara hari-hari penuh tantangan itu ia menemukan dirinya bertumbuh kuat merangkul hari esok yang lebih positif.