22 Oktober 2024
Paham Risiko Vape dan Pentingnya Deteksi Dini Kanker Paru
Rasanya vape kini bukan sekadar alternatif rokok, namun kerap menjadi simbol status sosial. Menurut data Global Adult Tobacco Survey tahun 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, menunjukkan kenaikan jumlah pengguna vape di Indonesia mencapai 10 kali lipat dengan presentase 0,3% tahun 2011 menjadi 3% di tahun 2021.
Ini menjadi perhatian dr. Jaka Pradipta, Sp.P (K)Onk, Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan Konsultan Onkologi dari Mayapada Hospital Kuningan, Jakarta. Ia merasa hadirnya vape malah menghilangkan rasa tabu merokok, padahal vape bukanlah bagian dari gaya hidup sehat.
Dokter Jaka mengungkapkan, "Normalnya, saluran pernapasan kita menyaring kotoran serta toksin dari udara yang kita hirup. Tetapi saat merokok atau vaping, kita secara sadar memasukkan toksin langsung ke dalam paru-paru. Kadar toksin yang tadinya berjumlah kecil, justru secara sengaja kita menambahkannya ke saluran pernapasan kita. Ini akan menyebabkan kerusakan struktur paru-paru, dan menimbulkan peradangan jangka pendek hingga jangka panjang. Yang lebih berbahaya lagi, alat vape terbuat dari logam, yang turut terhisap ke dalam tubuh."
Penggunaan vape berpotensi menyebabkan popcorn lung, sebutan lain untuk bronkiolitis obliterans sebagai kondisi langka akibat kerusakan saluran udara kecil di paru-paru. Ini menyebabkan iritasi dan peradangan pada jalan napas, menyebabkan jaringan parut yang mempersempit saluran napas sehingga penderitanya kesulitan bernapas.
Penyakit ini awalnya ditemukan pada para pekerja pabrik popcorn yang banyak menghirup bahan kimia. Menurut data, beberapa perasa vape mengandung diacetyl penyebab popcorn lung. Gejalanya seperti batuk kering tidak kunjung sembuh, sesak napas, mengi, demam, sakit kepala, hingga penurunan berat badan yang signifikan.
Lebih lanjut dr. Widhy Yudhistira, Sp.P(K)Onk, Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan Konsultan Onkologi dari Mayapada Hospital Bandung, mengatakan, "Dampak vape dan rokok yang sangat berbahaya adalah kanker paru, di mana kanker paru menempati kasus kanker tertinggi pertama di Indonesia untuk laki-laki, dan tertinggi ke-2 pada perempuan. Angka kematiannya cukup tinggi karena gejala muncul pada stadium lanjut sehingga pengobatan semakin sulit."
Menurut Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan Mayapada Hospital Jakarta Selatan, dr. Naindra Kemala Dewi, Sp.P, kemajuan teknologi kedokteran saat ini mampu mendeteksi potensi kanker lebih dini. "Untuk kanker paru, menurut panduan internasional, dapat dilakukan skrining Low Dose CT Scan (LDCT) untuk mendeteksi tumor paru yang ukurannya sangat kecil. LDCT adalah pemeriksaan CT Scan dengan dosis radiasi yang kecil, tapi lebih baik daripada ronsen dada, pemeriksaannya tidak invasif dan relatif cepat. Dianjurkan untuk para perokok atau bekas perokok, perokok pasif, riwayat kanker paru di keluarga, usia 45 tahun ke atas, tinggal atau bekerja di lingkungan yang terpapar zat pemicu kanker, setidaknya setahun sekali." tuturnya.
Dokter Jaka menekankan, "Menghentikan kebiasaan merokok dan vaping memang butuh proses, berkonsultasi dengan dokter spesialis paru dan obat khusus dapat membantu berhenti merokok. Jika Anda belum bisa berhenti, paling tidak lakukan skrining LDCT secara rutin sebagai pencegahan dan deteksi dini kanker paru."
Sebelum terlambat, Anda dapat mencegahnya dan berkonsultasi bersama tim dokter multidisiplin di Pulmonology Center dan Oncology Center Mayapada Hospital yang memberikan layanan komprehensif terhadap kesehatan paru, termasuk pencegahan dan deteksi dini kanker paru, yang dilengkapi oleh layanan biopsi paru dengan teknik advanced, sampai pengobatan terkini lainnya untuk kanker paru. Ditunjang dengan fasilitas lengkap dan hadirnya Tumor Board untuk mendampingi pasien kanker di Oncology Center Mayapada Hospital, akan dapat memberikan penanganan teliti menuju outcome yang lebih baik bagi pasien kanker.