5 Maret 2025

Dibalut Gaun Danielle Frankel, Tiffany Mediana Menikahi George Stopczynski Dalam Latar Estetika Abad Ke-19 Sebuah Hotel Di Maroko


Dibalut Gaun Danielle Frankel, Tiffany Mediana Menikahi George Stopczynski Dalam Latar Estetika Abad Ke-19 Sebuah Hotel Di Maroko

photo courtesy Tiffany Mediana & George Stopczynski (photography by Bernadeta Kupiec)

Tiffany Mediana tak pernah menyangka bilamana ia akan dilamar, dan menikah sebelum usianya genap mencapai 30 tahun. “Jangankan menikah, berangan-angan tentang pernikahan saja tidak terbesit dalam benak saya kala itu,” ungkap perempuan yang beberapa tahun belakangan ini sibuk mewujudkan visinya membidani sebuah platform gaya hidup terkurator yang menitikberatkan personalitas serta etika keberlanjutan, Space&. Pikiran akan pernikahan muncul berangsur-angsur usai keluarga silih berganti mempertanyakan arah jalinan asmaranya bersama George Stopczynski, laki-laki kelahiran Cambridge, Inggris, yang telah menemaninya menjalani hari-hari sejak sama-sama duduk di bangku perkuliahan S2 King College London di Inggris pada 2018. “Sebetulnya bukan saya tidak ingin menikah, apalagi antipati terhadap pernikahan. Simply, perihal tersebut—pada saat itu—belum menjadi fokus utama saya,” ceritanya tergelak, “Awal berkenalan dan menjalin hubungan bersama George pun saya tidak menetapkan target. Tahu-tahu hubungan kami telah berjalan hampir enam tahun, lalu sekarang telah resmi berumah tangga.”

Pembicaraan tentang rumah tangga mengalir secara kasual antara Tiffany dan George mulai tahun 2022, hingga bermuara dengan momen lamaran nan manis di Portonovi, Montenegro. “Kesibukan pekerjaan saya dan George membuat kami terkadang menjalankan hubungan jarak jauh. Travelling bersama menjadi salah satu bentuk quality time bagi kami. Suatu ketika, setelah lama tak bertemu, ia mengajak saya pergi liburan ke Portonovi. Sebenarnya saya sudah punya firasat, kalau ajakan itu sekaligus ia tujukan buat lamaran. Tapi saya tidak tahu akan bagaimana, di mana, dan kapan waktunya,” kata Tiffany. Tahu betul bagaimana Tiffany mengagumi arsitektur dan seni, George merancang tur pribadi mengunjungi Tito’s Villa Galeb, rumah peristirahatan milik presiden ke-2 Republik Sosialis Yugoslavia, Josip Broz Tito; kemudian membawa sang kekasih makan malam romantis di sebuah perkebunan anggur yang ia tutup sepanjang malam khusus buat menjamu mereka berdua; di mana ia telah mempersiapkan spot romantis di bawah langit berbintang untuk meminang Tiffany. Sayangnya, alur yang (semestinya) romantis itu dikacaukan oleh komplotan nyamuk.


The vineyard was so beautiful, and very peaceful as there were only the two of us. Setelah makan malam, ia menggandeng saya jalan-jalan menuju ke tengah vineyard. Tapi belum lama kami jalan-jalan, tubuh saya digigit nyamuk banyak sekali sampai akhirnya memutuskan kembali ke dalam lounge. George panik, tapi saya tetap meninggalkannya masuk ke dalam. Hahaha. Yang saya tidak tahu, ternyata George telah mempersiapkan spot, lengkap dengan fotografer yang menyamar di balik semak belukar. Hahaha, namun saya benar-benar tidak berpikiran kalau dia tengah merencanakan sesuatu,” ceritanya tergelak.

Ketakpekaan Tiffany membuat George harus berimprovisasi keesokan harinya. Ia mengatur rencana lamaran romantis di sebuah pulau tak bertuan berlatarkan reruntuhan historis desa Montenegro. Tetapi lagi-lagi rencananya menghadapi tantangan. Tiffany berkisah, “Again, I have no clue! Saat menyebrang dengan kapal, tiba-tiba perut saya sakit sehingga kami harus putar balik kembali ke main square.” Dua kali menuai kegagalan tak lantas mematahkan tekad George. Sehari menjelang akhir liburan mereka, George bangun pagi-pagi sekali. Kali ketiga itu, ia tidak menyusun rundown romantis. Saat Tiffany menemuinya, ia hanya membawa cincin di tangan dengan berlutut satu kaki di balkon kamar hotel. Tak ada makan malam romantis, tak ada pemusik bersenandung yang mengiringi, tak ada fotografer bersembunyi. Cuma ada mereka berdua di momen itu. “George sangat memahami saya sebagai pribadi yang privat jika menyangkut love and relationships. Saya bukan penggemar public engagement. Makanya dua kali percobaan lamaran sebelumnya juga sangat privat. Dan pagi hari itu, benar-benar hanya ada kami berdua. Therefore it’s so perfect, and of course I immediately said yes,” cerita Tiffany berseri-seri.


Kendati mengaku tak terlalu memikirkan pernikahan, Tiffany selalu bermimpi bahwasanya ia akan mengikat janji sehidup- semati menggunakan tata cara adat. “Everyone can have a ‘white wedding’, you know; jalan ke altar dengan mengenakan gaun putih di antara dekorasi bunga-bunga serba putih. Tapi tidak semua orang bisa menikah menurut adat. Buat saya pribadi, itu adalah sesuatu yang sangat sakral, dan saya ingin melakukannya sekaligus untuk menghormati budaya keluarga. George pun sangat suportif,” katanya. Tiffany Mediana adalah putri tunggal pasangan Diana dan Jeffrie Geovanie. Ia lahir dari ibu yang berdarah Jawa; sementara sang ayah berasal dari Padang, Sumatera Barat. Apa yang Anda lakukan ketika merancang pernikahan dengan lebih dari satu kebudayaan sebagai akar tradisi keluarga? Anda berkompromi, sebagaimana halnya Tiffany. Sang pengantin memutuskan untuk menggelar prosesi akad dalam tata cara adat Jawa. “Budaya keluarga ayah kami representasikan lewat rangkaian foto pra-nikah berbusana tradisional Padang,” ujarnya.

15 Oktober 2023 meresmikan babak baru kisah asmara Tiffany dan George. Mengenakan kebaya dan beskap Jawa berdesain klasik modern besutan Eddy Betty, kedua mempelai melangsungkan akad bertempat di Rancamaya, Bogor, dengan disaksikan keluarga besar. Akad digelar diiringi upacara paesan, panggih, midak tigan, kacar-kucur, sungkeman, hingga dulangan. Orangtua Tiffany jugat tidak melewatkan upacara bubak kawah dan tumplak punjen untuk merayakan hari bahagia putri tunggal mereka, sebagaimana tradisi tersebut menjadi simbolis bagi orangtua yang mantu kali pertama sekaligus wujud syukur telah menunaikan tanggung jawab mengantarkan semua keturunan sampai ke pelaminan. “Pantangan menjalankan wedding rehearsal menjadi tantangan tersendiri ketika merancang seremoni pernikahan adat. Apalagi saya juga tidak memiliki saudara yang bisa dijadikan referensi, sehingga tidak ada gambaran akan gempita prosesnya. Saya beruntung memiliki keluarga, dan segenap tim pelaksana yang membantu proses ini berjalan sempurna,” kenang Tiffany.



Resepsi dipecah ke dalam dua gelaran berbeda lokasi. “Saya, juga orangtua, tidak menyukai ide pesta besar berskala ribuan tamu; dan rasanya egois untuk meminta segenap kerabat kami yang tinggal di benua berbeda untuk bepergian jauh ke Asia sekadar meluangkan waktu merayakan pernikahan kami. Sebab itu, kami memutuskan menggelar resepsi hingga dua sesi,” ujar Tiffany. Usai menjamu sekitar 700 tamu meliputi undangan kerabat dan kolega keluarga dalam perjamuan ballroom nan megah berkonsep internasional di Singapura, pasangan mempelai bertolak ke Maroko untuk menghelat pesta kecil yang hanya dihadiri oleh sahabat-sahabat dekat. “Maroko adalah negara terakhir yang kami singgahi sebelum pandemi dan meninggalkan residensial S2 di Eropa; So, that place holds special memories for us. Sebagai wedding destination sendiri, Maroko begitu magical; plus tidak begitu memberatkan para tamu karena bisa dijangkau tanpa perlu visa,” ungkapnya. (Sebuah tip wedding destination yang penuh pertimbangan!)

Pernikahan Tiffany dan George di Maroko merupakan perjalanan tiga hari yang menggetarkan hati, mencakup welcome dinner, matrimony, makan malam resepsi, hingga after-party di tengah gurun. Namun, di balik perayaan ekstravaganza itu, konsep gala sarat intimasi yang menitikberatkan kenangan sepanjang masa menjadi prinsip yang dijunjung tinggi. “Alih-alih mengirimkan foto-foto rancangan pernikahan impian, George dan Tiffany menyusun inspo-moodboard atas berbagai hal yang mengilhami pribadi mereka. Keduanya lebih ingin menciptakan memori abadi bersama orang-orang terkasih,” ungkap Nesrine Boulahcen dari Philocaly Weddings yang dipercayakan kedua mempelai untuk merancang pelaksanaan pernikahan mereka di Maroko.


Kekaguman Tiffany akan arsitektur dan seni mengantarkan mereka merayakan pernikahan di El Fenn Hotel Marrakesh, yang megah dengan arsitektur rumah tradisional Maroko khas abad ke-19, garis interior buatan tangan artisan, dan ratusan rupa-rupa seni karya seniman ternama Eropa dan Afrika seperti Hassan Hajjaj dan Leila Alaoui, menyemarakkan tiap sudutnya. Kedua mempelai menggelar matrimony di area courtyard beralaskan ubin warna hitam dan putih. Dibalut gaun berpotongan sabrina rancangan Danielle Frankel, sang pengantin perempuan berjalan anggun menghampiri suaminya yang berdiri di bawah relung dinding pintu yang telah disulap kian megah dengan aksentuasi surealis rangkaian tumbuhan hijau berpadu elemen bunga eksotis.



“Ketimbang mentransformasikan sesuatu yang sifatnya masterpiece, dan secara visual sudah menakjubkan, kami lebih suka gagasan memberikan sentuhan personal lewat sejumlah statement pieces dalam detail,” tutur Tiffany terkait konsep dekorasinya yang cukup minimalis. Salah satu bentuk statement pieces yang digagas tim Philocaly, yaitu rangkaian bunga. “Ia tidak begitu menggemari warna-warni pastel. Karakteristik eksotis dalam visual elegan lebih menarik hatinya,” ujar Boulachen. Mempelajari selera kliennya, tim Philocaly kemudian menggandeng florist Atelier Nude dan menciptakan berbagai rupa rangkaian bunga dekoratif meliputi eucalyptus, bunga ivy, amaranthus (biji bayam), serta sejumlah bunga yang diimpor khusus seperti hortensia ruby red, tulip Queensland, dan anggrek Gloriosa.


Selepas matrimony, meja makan panjang ditata dengan berbagai elemen dekoratif berpalet warna senada rangkaian bunga. Taplak rona ungu gelap menyelimuti permukaan meja makan; di atasnya, piring charger warna keemasan diletakkan bersama serbet hijau; bersanding magis dengan 600 lilin-lilin (sebagian di pesan khusus berwarna merah burgundi dan hijau zamrud) yang menyala dalam wadah-wadah cantik khas Maroko; serta rangkaian bunga diwadahi vas cokelat gelap.

Alih-alih sesi potong kue pernikahan, agenda berlanjut dengan menuang sampanye memenuhi gelas-gelas yang disusun selayaknya menara. Tiffany mengganti gaun putihnya dengan busana pesta berdetail sequin rancangan desainer Yefta Gunawan, dan menari bersama sang suami di antara para sahabat. After party tidak berakhir sekadar di situ. Semua tamu dibawa untuk menyesap cocktail sembari bersantai menikmati panorama matahari terbenam dalam tenda eksklusif yang dipasang di area perkemahan Gurun Agafay. Tak jauh dari tenda, berdiri sebuah panggung kecil di mana DJ memainkan musik dansa dan memacu adrenalin pesta sepanjang malam. “Everything was so magical. Sebuah penutup yang sangat sempurna,” pungkas Tiffany.