28 Juni 2024
Di FU House Bali, Tradisi Masa Lalu Menginovasi Rasa Kuliner Thailand
photo DOC. FU House
Restoran Thailand di Bali bukan fenomena baru. Keberadaannya tersebar luas menempati berbagai wilayah Pulau Dewata; dari warung sederhana di pinggir jalan atau tepian pantai, sampai restoran fine dining di distrik hiburan paling populer. Tapi jika bicara cita rasa Thailand, persoalannya hampir sama ketika kita ingin makan warung nasi pedas Bali: itu adalah comfort food. Apa yang berkorelasi dengan comfort food? Kita cenderung kembali pada tempat yang telah akrab di lidah. Lalu muncul FU House, portofolio teranyar milik grup Project : Black yang membawa penawaran cita rasa inovatif atas resep kuliner tradisional Thailand. Sebagai awalan, Anda tak akan menemukan Tom Yam atau Pad Thai (sebagaimana biasa Anda makan) dalam daftar menunya.
FU House berlokasi di bilangan Seminyak, salah satu kawasan hit untuk hangout di mana butik-butik desainer mode dan aksesori premium, restoran, bar, hingga beach club bintang lima berbaris semarak. Paras FU House tampil kontemporer dengan dinding bata kaca berformat melengkung. Jalur masuknya melalui sebuah pintu kayu besar. Di dalam, arena bersantai FU House dipecah ke dalam tiga zona. Bar yang menggandeng lounge; ruang makan utama; dan area makan privat di sisi belakang. Material kayu tampil dominan membalut garis rancang interiornya yang bergaya mid-century. Beberapa sudutnya tampak hijau dengan aksentuasi pot-pot tanaman. Di dinding, lukisan-lukisan berbagai aliran menghidupkan estetika modern. Kontradiksi dengan kursi-kursi susun berkaki stainless yang memenuhi lantai ruang makan bersama meja kayu. Komposisinya sejenak mencuatkan kilasan nostalgia akan warung makan era awal ‘90-an, namun dalam atmosfer kontemporer masa kini.
Penampilan tamu FU House turut mencerminkan karakter jukstaposisi: kombinasi necis dan kasual yang chic khas urban island. Dibalut gaun, atau sekadar kaus dan jeans (segelintir orang bahkan mengenakan celana pendek), Anda bakal disambut ramah. Sandal juga boleh masuk. “Atmosfer kaku adalah hal terakhir yang kami inginkan bagi para tamu. Kami ingin orang yang datang ke FU House merasa nyaman untuk menikmati waktu mereka. Jadi barangkali kalau harus memberi gambaran besar, we dress in smart casual attire,” kata Sandra Eglinton, sang manajer restoran.
Jam makan FU House mulai dari pukul 18:30 waktu setempat. Dapurnya yang dipimpin oleh duet Executive Chef Lance Mueller (dari E.P Los Angeles dan Hawker Hall Lucas Group di Melbourne) dan Head Chef I Putu Agus Armen (yang pernah menangani Bikini Restaurant dan Sisterfields Seminyak) menjanjikan kuliner Thailand dalam palet rasa inovatif. Contoh, tom yam—yang umumnya berkuah—disajikan “kering” sebagai padanan menu pembuka Pork Wonton, Dried Tom Yum. Kanom Krok berisikan kepiting bakau juga lezat dicicip. Jangan lewatkan mencicipi resep kari Thailand yang menginspirasi Braised Beef Cheek Red Curry dari opsi hidangan utama saat Anda berkunjung. Dari sisi bar, eksplorasi terkait resep tradisional Thailand menginspirasi Mixologist Arey Barker meramu resep cocktail Mango Coconut yang mencampur rum, mangga, kelapa, sticky rice dan thai tea.
Terlalu eksperimental untuk inovasi resep comfort food? Menariknya, rasa familiar itu tidak hilang dari lidah saat saya mencicipinya. FU House menyuguhkan kami lebih dari sekadar pengalaman bersantap. Di sini, kami menemukan kebaruan rasa yang muncul berlandaskan tradisi warisan budaya masa lampau—sebagaimana penuturan dua dalang pencetus di baliknya Adam McAsey (yang menggagas konsep restoran serta kuliner) dan Tai Graham (selaku perancang visual estetika brand) kepada kami.
Beri tahu kami, asal muasal nama FU House. Apakah FU merupakan singkatan atas sesuatu?
Tai: “Kami sempat berencana menggunakan nama “Shophouse.” Lalu dalam perjalanan keliling Bangkok di suatu hari, kami melihat kata “Fufu” tertulis pada sebuah bangunan. Kami berpikir bagaimana jika mengadopsinya dengan ejaan yang berbeda, “Foo Foo”, namun tidak terasa tepat. Kami kemudian kembali pada “Shophouse.” Tetapi kami tak bisa berhenti memikirkan “Fufu”. Artikulasinya terngiang-ngiang menyenangkan di telinga setiap kali kami mengucapkannya. Akhirnya kami putuskan untuk menggabungkan “Fufu '' dan “Shophouse '', maka tercetuslah FU House. We love it; we love how it sounds fun, and doesn't mean much.”
It sounds fun, sebagaimana kisah di baliknya.
Tai: “Yeah, belakangan kami juga baru mengetahui bahwa Fufu merupakan nama anjing peliharaan kesayangan Raja Thailand ke-10, Rama X. Tapi saya akan jujur pada Anda; sebetulnya saya tidak begitu tertarik menciptakan nama merek dengan arti sangat dalam atau bersifat terlalu filosofis. Kami tidak berusaha demikian. Ketika mencari nama bagi setiap proyek kami, saya lebih cenderung berorientasi pada pilihan nama yang mencetuskan sebuah rasa. Tidak perlu selalu harus bermakna khusus. Cukup menarik dan kedengarannya menyenangkan. Kami—saya pribadi—percaya bahwa substansi atas nama tersebut akan muncul dengan sendirinya secara organik seiring perkembangan brand.”
Dalam mengembangkan FU House, tim Project : Black secara khusus melakukan perjalanan kuliner ke dua kota: Hong Kong dan Bangkok. Hasilnya membuah FU House lahir bernapaskan cita rasa modern Thai. Apa yang menarik dari Thailand hingga terpilih sebagai konsep pengalaman bersantap FU House?
Adam: “Bagaimana tidak, kuliner Thailand sangat kaya akan cita rasa. Antara satu wilayah dan wilayah lainnya memiliki ciri khas masakan yang berbeda. Setiap lokasi yang kami kunjungi kerap membawa kami pada penemuan-penemuan baru. Ini adalah bagian paling menyenangkan ketika melakukan perjalanan riset untuk memulai sebuah proyek baru; mengidentifikasi bahan dan mempelajari teknik memasak atas profil rasa masakan suatu masyarakat.”
Yang kemudian mengantarkan kalian pada penelusuran resep-resep masakan Thailand warisan masa lampau. Seberapa jauh FU House menapak tilas?
Adam: “Sulit untuk dipastikan, sebab resep tradisional Thailand merupakan warisan turun-temurun dari ribuan tahun silam. Kami mengumpulkan buku masak tua, menggali ke dalam inti sarinya, dan menerjemahkannya sebagai landasan berkreasi menciptakan hidangan-hidangan inovatif.”
Bagaimana teknik memasak tradisional Thailand memengaruhi kinerja dapur FU House?
Adam: “Kebiasaan masyarakat Thailand yang sampai hari ini masih memasak menggunakan metode-metode konvensional sangat menginspirasi kami dalam memanfaatkan instrumen tradisional. Kami menggiling bahan dalam lesung batu atau ulekan; memroses fermentasi; mengasapi daging selama berjam-jam; hingga memasak di atas serabut batang kayu. Adakalanya kami berimprovisasi sekadar untuk mengeksplorasi bilamana ada lapisan rasa yang berbeda, yang barangkali bisa menjadi sajian inovatif. Perihal itu termasuk memanfaatkan bahan-bahan lokal dalam mengadopsi profil rasa masakan Thailand.”
Adakah bahan andalan FU House dalam meramu rasa?
Adam: "Saus ikan adalah bahan esensial dalam memberikan profil rasa asin nan gurih dalam banyak masakan menu utama FU House.”
Oh yes, salah satu favorit saya adalah Steamed Grouper. Tetapi saya rasa yang menarik dari bersantap di FU House adalah keseluruhan pengalaman yang saling melengkapi satu sama lain. Pertama, mari bicara interiornya yang seolah-olah membawa tamu makan di restoran warung era ‘80-an.
Tai: “Saya punya ketertarikan pribadi pada interior bergaris rancang mid-century. Barangkali Anda juga bisa merasakan pengaruhnya mewarnai Times Beach Warung dan Skool (dua properti restoran lainnya dalam portofolio Project:Black), bahkan di rumah pribadi saya. Kami mencoba untuk menciptakan suasana kasual yang nyaman, bagaimana pun juga kita berada di Bali. It’s an island. Saya menyukai nuansa kehidupan pulau, karenanya sentuhan chic urban island selalu ada di setiap sudut ruangan. (Tampak dari penempatan tumbuhan hijau dalam spasial makan, dan aturan berbusana yang cenderung kasual). Saya tidak begitu menyukai gagasan “seakan-akan dibawa masuk ke lokasi berbeda” ketika masuk ke sebuah tempat. Saat di Bali saya ingin berada di Bali, saya tidak ingin berada di London, di Mesir, atau Jamaika. Saya suka berada di tempat di mana saya berada. Dan Bali penuh dengan kehangatan, sehingga kami memutuskan memanfaatkan material kayu dipadu sedikit sentuhan vintage.”
Saya setuju bahwasanya penting untuk tetap terhubung dengan lingkungan sekitar kita, termasuk dengan budaya setempat.
Tai: “Yeah, that’s what we in Project : Black do naturally. Itu bukan sekadar pemahaman yang kami coba serap ke dalam nilai-nilai kami. It’s just who we are. Untuk saya pribadi, Bali telah menjadi bagian dari jati diri saya. Saya telah hidup di Bali selama lebih dari 35 tahun; saya tumbuh besar di Pulau Bali dan membangun keluarga di sini. Saya pikir sama hal nya seperti yang dirasakan oleh seluruh tim. Kami hidup di Bali; berbicara dalam bahasanya; menjalankan setiap upacara dan merayakan tradisi di lingkungan kami tinggal. Kami melakukannya atas dasar cinta, bukan semata-mata sekadar memberi penghormatan. Kami tumbuh menjadi bagian dari komunitas, dan selalu terlibat secara organik di dalamnya karena mereka adalah bagian dari identitas kami.”
Apakah ada satu elemen tertentu yang disematkan sebagai ikon identitas tersebut di FU House?
Tai: “I believe that our people exemplify that best. Kami memiliki hubungan kerjasama yang sangat baik dengan komunitas lokal. Setiap tempat yang didirikan Project : Black bukan semata-mata perkara bisnis, kami membangun tempat tinggal. Sebuah tempat tinggal bersama, yang merupakan wujud kolaborasi bersama penduduk setempat. Kami bersama-sama berupaya membangun dan merawat industri pariwisata di Bali, termasuk di antara terkait pemberdayaan sumber daya manusia.”
Di semua restoran dan bar Project : Black, musik tampak selalu menjadi salah satu aspek penting. Apa yang Anda dengarkan saat merancang musik untuk melengkapi vibe FU House?
Tai: “Yeah! Anda tahu, saya hobi membuat playlist untuk di mana saja. Ketika mendengarkan sebuah lagu, saya memiliki gambaran akan suasana yang bisa ditimbulkan olehnya, entah itu cocok untuk menghidupkan suasana rumah atau restoran. Dalam beberapa tahun terakhir, daftar putar saya dominan bernuansa New Wave. Saya pikir iramanya yang membawa bernostalgia pada kegembiraan masa lampau sangat menyenangkan, mampu mencerahkan atmosfer ruangan, plus melengkapi kenikmatan masakan tim dapur Chef Armen dan Chef Lance. Bagaimana pun juga kami tidak ingin Anda makan dalam keheningan; kami ingin Anda bersantai sepenuhnya di FU House. So the music has to be uptempo, itu yang saya diskusikan dengan seluruh tim dan discjockey.”
Tai, Anda berkata bahwa Fu House merupakan pengalaman pertama Anda menyelami benar-benar budaya Thailand. Apakah perjalanan menjelajah budaya negara lain, Asia terutama, turut mengembangkan pribadi Anda secara individu?
Tai: “Tentu saja. Indonesia, juga negara-negara kawasan Asia lainnya, masing-masing memiliki ragam elemen personalitas yang sangat khas. Meski telah hidup hampir seumur hidup saya di Bali, saya pun selalu menemukan hal baru setiap harinya.”
Adam: “Yeah absolutely, agree! Kami selalu mencoba untuk mendorong batasan-batasan atas segala hal yang kami lakukan. Untuk melakukannya, kami perlu terus belajar, menggali pengalaman, dan menguasai berbagai keterampilan. Itulah yang membuat kami bersemangat.”