CULTURE

12 Mei 2020

Ines Katamso Genggam Visi Seni Ramah Lingkungan


Ines Katamso Genggam Visi Seni Ramah Lingkungan

Tergugah sains atas siklus kehidupan manusia di bumi, Ines Katamso melepaskan gaya merupa lama dan merangkul etos ramah lingkungan.

Salah satu seniwati muda yang potensial. Usai menamatkan edukasi bidang mode di sebuah sekolah seni dan desain di Marseilles, Prancis, di tahun 2012 perempuan kelahiran Yogyakarta tahun 1990 itu kembali ke Indonesia—kini bermukim di Bali—dan memulai perjalanan artistiknya. Namun alih-alih berjalan sesuai gelar yang diperoleh, Ines Katamso malah menemukan dirinya bergelut di ranah seni murni. Keterlibatannya berawal dari menggambar mural hingga akhirnya beralih merupa di atas kanvas.

Karya Ines mengeksplorasi materi-materi organik dan menyajikan keindahan geometris lewat permainan tekstur serta permainan warna-warna lembut. Jauh di baliknya merupakan jendela terbuka yang mengizinkan mata Anda memasuki memori pribadi dan pemikiran terdalamnya. Narasi artistik tersebut mencuatkan nama Ines Katamso dalam jajaran perupa kontemporer Indonesia yang menjanjikan.

Meski belum menggelar pameran mandiri, publik mulai sering menikmati seni rupa Ines sejajar karya seniman-seniman lokal dan mancanegara di berbagai ekshibisi kolektif. Tetapi di tengah popularitasnya, perupa keturunan Prancis tersebut merasakan suatu kekeliruan dalam karyanya. Lalu, pada awal Maret tahun ini, Ines mengambil keputusan penting. Ia mendalami hakikat alam semesta dan mengubah prinsipnya dalam berkarya menjadi ‘lebih aman’.

ines katamso - artists indonesia - elle indonesia interview - editor anovalia

Di titik apa, Anda merasakan ada sesuatu yang salah dari konsep kreativitas Anda?
“Saat fisik terganggu oleh kreasi yang saya buat. Bahan-bahan seperti terpentin, white spirit, atau gesso, yang sering saya gunakan untuk merupa rupanya memengaruhi kesehatan. Saya mulai mempelajari lebih dalam struktur kehidupan seperti sel, molekul, dan partikel, kemudian menyadari bahwa tubuh saya bereaksi menolak penggunaan bahan-bahan yang tidak alami."

Apakah itu satu-satunya alasan yang meyakinkan Anda untuk akhirnya mengubah prinsip kreativitas menjadi, yang Anda sebut , 'lebih aman'?
“Sebagai penduduk kepulauan (Bali) yang bergelut dengan minimnya infrastruktur pengelolaan limbah, saya pun tak lagi bisa acuh menanggapi permasalahan lingkungan. Hal ini mendorong saya untuk merancang bingkai yang terbuat dari plastik daur ulang, serta mengembangkan pewarna alami buatan sendiri.”

Sebenarnya apa maksud Anda dengan ‘seni yang lebih aman’?
“Lebih aman untuk lingkungan dan diri saya. Jadi jika ada, saya harap tidak, seseorang membuang lukisan saya di ladang atau laut, lukisan tersebut akan terurai secara alami. Partikel selulosa hasil penguraian pun akan menjadi bagian dari lingkungan tanpa menyakiti makhluk hidup.”

ines katamso - artists indonesia - elle indonesia interview - editor anovalia

Ines, apa kini Anda menyebut diri Anda sebagai seniman yang berkelanjutan?
“Jika itu berarti menyumbang perspektif kepada dunia di tengah situasi saat ini, meningkatkan kesadaran masyarakat, menyarankan solusi potensial, meningkatkan penggunaan bahan alami, bertindak lebih memperhatikan lingkungan, dan lebih bertanggung jawab dalam konsumsi.”

Bagaimana Anda memaknai hubungan dengan Bumi?
“Saya pikir, alam dibutuhkan untuk kesejahteraan fisik dan mental manusia. Yang jadi permasalah utama, saat ini, ialah kita melihat manusia sebagai dominan ketimbang sesama organisme biologis yang saling berinteraksi.”

Karya seni Anda kaya akan tekstur, kombinasi materi dan warna-warna lembut. Bagaimana karakteristik ini akan hidup di bawah prinsip berkarya yang baru?
“Sekarang sudah beberapa bulan sejak saya beralih dari lukisan minyak ke lukisan gouache. Untuk menciptakan lapisan tumpang tindih yang nyata, saya mencairkan gouache dan menggunakan banyak air. Lewat cara inilah, saya mendapatkan warna-warna pastel yang memegang peranan utama dalam palet melukis. Saya masih mencari jalan mengembangkan Sementara karakter tekstur bukan berasal dari lukisan, melainkan perihal medium.”

ines katamso - artists indonesia - elle indonesia interview - editor anovalia

Anda pernah menyebut bahwa memori pribadi sarat mengilhami karya. Apakah Anda masih mengandalkannya sebagai esensi seni?
“Sekarang saya menjauh dari pengalaman pribadi. Sains adalah akar baru saya.”

Benar, Anda tengah mempelajari astronomi, fisika, dan biologi. Ceritakan pendekatan baru ini untuk karya seni terbaru Anda.
“Saya telah terpesona oleh struktur kehidupan dan elemen-elemen di dalamnya, terutama dalam evolusinya yang terus-menerus. Pencarian saya berawal dari kutipan Carl Sagan, ‘Alam semesta bersemayam dalam diri kita. Seluruh manusia terbuat dari debu bintang.’ Hidup di zaman modern membuat manusia cenderung berpikir berada di rantai teratas kehidupan; dan karenanya, saya percaya bahwa kita kehilangan koneksi dengan raga hingga secara keliru menganggap tubuh sebagai entitas yang bisa dikendalikan sepenuhnya. Tubuh manusia tersusun atas triliunan sel dengan organisasi yang kompleks sebagaimana makhluk hidup lainnya. Secara kasatmata, karya saya hanyalah ‘manusia’, lebih jauh adalah tentang apa yang terlihat di bawah lensa mikroskop; untuk mengingatkan manusia bahwa kita tidak absolut. Wujud sederhana dari benda hidup dan transparansi lukisan gouache membantu saya untuk menerjemahkan kerapuhan struktur entitas manusia.”

ines katamso - artists indonesia - elle indonesia interview - editor anovalia

Anda menamatkan gelar pendidikan fashion design. Bagaimana Anda kemudian memandang perjalanan karier yang lebih sukses secara profesional sebagai seorang perupa?
“Sukses tidak lebih dari sekadar sebuah persepsi.”

Bukankah Anda sempat meluncukan sebuah lini sepatu, Seni-K, yang cukup berhasil hingga dipasarkan di Jepang?
“Seni-k adalah pengalaman yang singkat dan intens. Setelah menjalani alur produksi bisnis mode yang penuh tekanan, saya menyadari bahwa bidang ini bukan tempat saya. Walau begitu, para desainer mode selalu mengilhami kreativitas saya dalam berkarya. Warna-warni Dries Van Noten dan Jacquemus, kecerdikan Iris Van Herpen, tekstur dalam desain Mme Gres, seni artisan dari Dior dan Schiaparelli.”

Jika Anda tetap berjalan sesuai gelar yang diperoleh, apakah visi Anda dalam berkarya akan tetap sama?
“Saya pikir begitu. Saya belajar di sekolah seni dan mode yang berpandangan terbuka. Kami belajar bagaimana mengembangkan ide, konsep, dan menghabiskan lebih banyak waktu mengolah diri untuk melampaui pikiran dan proses kreatif daripada sekadar menjahit. Pengetahuan itu yang kemudian membentuk karakter artistik diri saya.”